...tera di sesela gegas-gesa
Sunday, July 03, 2005
[esai] Tubuh Sosial Anny Muryadi
Barangkali, tak ada lagi misteri dalam kasus nikah Farhat Abbas dan Anny Muryadi. Tapi, berkali-kali menyaksikan tayangan tentang wanita cantik ini dalam berbagai acara infotainmen, saya menemukan kesamaan kamera "merespresentasikan" sosok Anny. Dan kembaran visual ini ternyata bukan sesuatu yang biasa. Ada "misteri" di dalamnya.
Acara "Silet" RCTI barangkali yang paling tegas menampilkan tipikalitas visual itu. Dengan bubuhan narasi, kamera menampilkan Anny dari jarak jauh, dan kian mendekat, lalu close-up pada wajah Anny, mimiknya, dan gerakan kepala yang mengibarkan rambut pendeknya. Kamera lalu turun pada lehernya, dada, pinggang, dan kaki. Dari kaki, kamera mengikuti gerak tubuh Anny, fokus pada pinggang dan dada, dan diakhiri dengan close-up pada wajah.
Meski dengan gambar yang berbeda, "Cek & Ricek" juga melakukan hal yang sama. Kamera fokus pada wajah, lalu menyusuri tubuh Anny. "Kabar-kabari" tak jauh berbeda, menampilkan Anny dan dua temannya, tapi fokus kamera pada wajah wanita itu, menelusuri tubuhnnya sampai kaki, sebelum kembali ke wajah.
Gaya visualisasi semacam ini bukan sesuatu yang baru. Saat rumor orang ketiga dalam asmara Ariel Peterpan dan Lia, kamera pun menampilkan Luna Maya dengan cara yang sama. Fokus pada wajahnya, lalu kamera menjauh, dan menangkap semua tubuhnya, dari berbagai sudut. Memberi slow motion pada beberapa gerak Luna Maya, dan tentu komentar yang agak "miring". Kamera juga bekerja dengan cara yang sama pada kasus Sri Respatini Kusumastuti alias Iin dengan Ray Sahetapy. Jauh ke belakang, Angel Lelga pun "dimakan" kamera dengan teknik yang sama saat kasusnya mencuat sebagai istri simpanan si Raja Kondang Rhoma Irama. Juga Itje Tresnawati dengan Eddy Sud, saat kamera secara lugas menjajarkan kontras tubuh keduanya. Itje yang segar, Agung yang bugar, Eddy Sud yang pudar, Eddy Sud yang layu.
Kesamaan cara kerja kamera dalam kasus-kasus semacam ini pantas membuat penonton bertanya, kenapa tubuh mereka tampil dengan cara yang sama? Mengapa dalam beberapa kasus yang lain, kamera hanya menangkap sosok yang sekilas, dan tidak memberikan jelajahan yang penuh pada tubuh? Mengapa dalam kasus Farhat, visualisasi tubuh Anny menjadi begitu mendominasi?
Tubuh alamiah
Tubuh adalah metafor, dan sebagai metafor, tubuh menyatakan lebih daripada apa yang tampak. Tubuh bukan hanya dapat dilihat sebagai sesuatu yang alamiah atau badanniah, tapi juga sesuatu yang magis. Bahkan menurut Michael Foucault, pemikir paling serius tentang tubuh, persepsi seseorang tentang tubuh adalah efek dari struktur sosial di sekitar kita. Tubuh hanya bisa dilihat sebagai sesuatu yang non-alamiah, memuat citra, tanda, dan prilaku, dan hanya dapat dipahami dalam konsekuensi perubahan sosial. Atau bahasa mudahnya, tubuh seseorang memuat dan menunjukkan tanda dan perilaku, juga situasi sosialnya. Dan dalam kaitan inilah, mata kamera dalam kasus di atas dapat kita baca.
Kamera yang melahap tubuh Anny Muryadi, Angel Lelga, dan Itje -- dan menunjukkannya kepada penonton-- sesungguhnya mengajak kita untuk melakukan tiga hal: berpikir (think), merasa (feel), dan berfantasi (fantasy). Jika tiga hal itu dilakukan, penonton akan mendapatkan sebuah "jawabab" dari semua kasus di atas, yang secara verbal tidak mungkin dinyatakan oleh infotainmen tersebut. Bahkan, untuk "membantu" penonton, kamera memberikan beberapa slow motion, sehingga gambaran ketubuhan mereka kian jelas.
Tubuh-tubuh "alamiah" mereka meminta kita berpikir seperti Farhat, Rhoma Irama, dan Itje. Wajah Anny yang masih sangat kencang, dengan pipi yang montok, tubuh yang langsing, dan kaki yang bagus di usia 45, membuat pikiran penonton membandingkan langsung dengan Nia Daniati. Tubuh Angel Lelga membuat penonton secara simultan langsung diajak membandingkan dengan Rica Rahim, dan tubuh Itje membuat kita berpikir tentang tubuh Eddy yang layu, dan membandingkannya dengan tubuh Agung --kekasih Itje saat itu-- yang masih sehat. Kamera-kamera yang secara lugas menonjolkan tubuh segar wanita-wanita itu meminta penonton merasa ada sebuah "kepantasan" badAnnyah bagi Farhat, Rhoma, dan Itje untuk melakukan pernikahan dan atau perceraian itu.
Tubuh-tubuh "alamiah" dalam kamera itu juga meminta penonton seolah merasakan dan berfantasi sebagaimana rasa dan fantasi Farhat, Rhoma, Ray, dan Agung. Di sinilah tubuh-tubuh merespresentasikan dirinya sebagai mesin hasrat, yang meminta untuk dipuaskan. Tubuh sebagai mesin hasrat inilah yang dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dapat melanggar norma dan tabu. Sebagai mesin hasrat, tubuh-tubuh itu bukan hanya meminta dipuasi, ("Sebagai suami, Bang Ray itu terlalu ganteng, makanya..." kata Dewi Yull.) melainkan juga meminta dipahami bagaimana cara kepuasan itu didapatkan. ("Ini langkah terbaik daripada kami berzinah," kata Farhat.) Kloplah!
Tubuh sosial
Lebih daripada tubuh "alamiah", tubuh sebagai metafor, menampilkan tanda sosial yang lebih jelas. Dan, berpikir dalam kerangka tubuh sosial inilah yang membuat problem para artis tersebut mendapat jawaban yang lebih lengkap. Tubuh Anny Muryadi menjelaskan lebih banyak daripada yang tampak. Seruan seorang penonton saat tahu sosok Anny, "Ohh.. pantaslah Farhat nekad..." adalah ungkapan yang paling tepat meski sederhana. Tubuh Anny memuat tanda sosial yang sangat jelas. Di usia yang 45, tubuhnya bak remaja. Pipi kencang, dan badan nyaris tanpa lemak. Tubuh Anny membuat penonton langsung berpikir tentang operasi plastik, diet yang ketat, olahraga dengan istruktur hebat, dan lingkup pergaulan yang luar biasa. Tubuh Anny bukan hanya dimuati oleh semua ikon kecantikan yang ditawarkan industri melainkan juga menjelaskan betapa adaptifnya dia dengan semua itu. Dan lebih dari itu, tubuh Anny menjelaskan status sosial-ekonomi dirinya. Hanya orang sangat kaya sajalah yang dapat merawat dirinya bak remaja di usia senja. Dengan tubuh sosialnya, Anny bak permata di usia tua, yang banyak memancing para kolektor untuk memiliknya. "Mulanya Bu Anny tidak mau, tapi saya yang agresif, sampai dia teryakinkan..." kata Farhat dengan senyum.
Membaca dalam kerangka tubuh sosial inilah yang membuat kita dapat melihat kasus Itje-Eddy Sud-Agung dengan lebih jelas. Tubuh sosial ini juga yang membuat cinta Ray Sahetapy pupus pada Dewi, dan bertaut kepada Iin, atau Angel yang memilih Rhoma.
Jadi, kamera yang bergerak menyelusuri tubuh Anny --meski berwatak partriarki-- sesungguhnya dapat kita baca sebagai upaya untuk memberikan sesuatu yang terasa ada di ujung lidah, tapi tak dapat terkatakan. Sesuatu yang mungkin berupa purbasangka, tapi mendiami teritorial ketaksadaran kita. Karena kita sampai saat ini masih sulit untuk menolak bahwa hanya faktor sosial-ekonomi sajalah yang dapat mengubur cinta. Kamera-kamera yang menampilkan kesempurnaan tubuh alamiah dan sosial para pesohor itu, setidaknya memberi kita ruang untuk membaca, merasa, dan berfantasi. Dan dengan cara ini, setidaknya, sedikit tafsir yang berbeda didapatkan. Mungkin jadi lebih gampang bagi kita untuk menerima, betapa kuatnya godaan, betapa tidak sempurnanya manusia....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 3 Juli 2005]
Acara "Silet" RCTI barangkali yang paling tegas menampilkan tipikalitas visual itu. Dengan bubuhan narasi, kamera menampilkan Anny dari jarak jauh, dan kian mendekat, lalu close-up pada wajah Anny, mimiknya, dan gerakan kepala yang mengibarkan rambut pendeknya. Kamera lalu turun pada lehernya, dada, pinggang, dan kaki. Dari kaki, kamera mengikuti gerak tubuh Anny, fokus pada pinggang dan dada, dan diakhiri dengan close-up pada wajah.
Meski dengan gambar yang berbeda, "Cek & Ricek" juga melakukan hal yang sama. Kamera fokus pada wajah, lalu menyusuri tubuh Anny. "Kabar-kabari" tak jauh berbeda, menampilkan Anny dan dua temannya, tapi fokus kamera pada wajah wanita itu, menelusuri tubuhnnya sampai kaki, sebelum kembali ke wajah.
Gaya visualisasi semacam ini bukan sesuatu yang baru. Saat rumor orang ketiga dalam asmara Ariel Peterpan dan Lia, kamera pun menampilkan Luna Maya dengan cara yang sama. Fokus pada wajahnya, lalu kamera menjauh, dan menangkap semua tubuhnya, dari berbagai sudut. Memberi slow motion pada beberapa gerak Luna Maya, dan tentu komentar yang agak "miring". Kamera juga bekerja dengan cara yang sama pada kasus Sri Respatini Kusumastuti alias Iin dengan Ray Sahetapy. Jauh ke belakang, Angel Lelga pun "dimakan" kamera dengan teknik yang sama saat kasusnya mencuat sebagai istri simpanan si Raja Kondang Rhoma Irama. Juga Itje Tresnawati dengan Eddy Sud, saat kamera secara lugas menjajarkan kontras tubuh keduanya. Itje yang segar, Agung yang bugar, Eddy Sud yang pudar, Eddy Sud yang layu.
Kesamaan cara kerja kamera dalam kasus-kasus semacam ini pantas membuat penonton bertanya, kenapa tubuh mereka tampil dengan cara yang sama? Mengapa dalam beberapa kasus yang lain, kamera hanya menangkap sosok yang sekilas, dan tidak memberikan jelajahan yang penuh pada tubuh? Mengapa dalam kasus Farhat, visualisasi tubuh Anny menjadi begitu mendominasi?
Tubuh alamiah
Tubuh adalah metafor, dan sebagai metafor, tubuh menyatakan lebih daripada apa yang tampak. Tubuh bukan hanya dapat dilihat sebagai sesuatu yang alamiah atau badanniah, tapi juga sesuatu yang magis. Bahkan menurut Michael Foucault, pemikir paling serius tentang tubuh, persepsi seseorang tentang tubuh adalah efek dari struktur sosial di sekitar kita. Tubuh hanya bisa dilihat sebagai sesuatu yang non-alamiah, memuat citra, tanda, dan prilaku, dan hanya dapat dipahami dalam konsekuensi perubahan sosial. Atau bahasa mudahnya, tubuh seseorang memuat dan menunjukkan tanda dan perilaku, juga situasi sosialnya. Dan dalam kaitan inilah, mata kamera dalam kasus di atas dapat kita baca.
Kamera yang melahap tubuh Anny Muryadi, Angel Lelga, dan Itje -- dan menunjukkannya kepada penonton-- sesungguhnya mengajak kita untuk melakukan tiga hal: berpikir (think), merasa (feel), dan berfantasi (fantasy). Jika tiga hal itu dilakukan, penonton akan mendapatkan sebuah "jawabab" dari semua kasus di atas, yang secara verbal tidak mungkin dinyatakan oleh infotainmen tersebut. Bahkan, untuk "membantu" penonton, kamera memberikan beberapa slow motion, sehingga gambaran ketubuhan mereka kian jelas.
Tubuh-tubuh "alamiah" mereka meminta kita berpikir seperti Farhat, Rhoma Irama, dan Itje. Wajah Anny yang masih sangat kencang, dengan pipi yang montok, tubuh yang langsing, dan kaki yang bagus di usia 45, membuat pikiran penonton membandingkan langsung dengan Nia Daniati. Tubuh Angel Lelga membuat penonton secara simultan langsung diajak membandingkan dengan Rica Rahim, dan tubuh Itje membuat kita berpikir tentang tubuh Eddy yang layu, dan membandingkannya dengan tubuh Agung --kekasih Itje saat itu-- yang masih sehat. Kamera-kamera yang secara lugas menonjolkan tubuh segar wanita-wanita itu meminta penonton merasa ada sebuah "kepantasan" badAnnyah bagi Farhat, Rhoma, dan Itje untuk melakukan pernikahan dan atau perceraian itu.
Tubuh-tubuh "alamiah" dalam kamera itu juga meminta penonton seolah merasakan dan berfantasi sebagaimana rasa dan fantasi Farhat, Rhoma, Ray, dan Agung. Di sinilah tubuh-tubuh merespresentasikan dirinya sebagai mesin hasrat, yang meminta untuk dipuaskan. Tubuh sebagai mesin hasrat inilah yang dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dapat melanggar norma dan tabu. Sebagai mesin hasrat, tubuh-tubuh itu bukan hanya meminta dipuasi, ("Sebagai suami, Bang Ray itu terlalu ganteng, makanya..." kata Dewi Yull.) melainkan juga meminta dipahami bagaimana cara kepuasan itu didapatkan. ("Ini langkah terbaik daripada kami berzinah," kata Farhat.) Kloplah!
Tubuh sosial
Lebih daripada tubuh "alamiah", tubuh sebagai metafor, menampilkan tanda sosial yang lebih jelas. Dan, berpikir dalam kerangka tubuh sosial inilah yang membuat problem para artis tersebut mendapat jawaban yang lebih lengkap. Tubuh Anny Muryadi menjelaskan lebih banyak daripada yang tampak. Seruan seorang penonton saat tahu sosok Anny, "Ohh.. pantaslah Farhat nekad..." adalah ungkapan yang paling tepat meski sederhana. Tubuh Anny memuat tanda sosial yang sangat jelas. Di usia yang 45, tubuhnya bak remaja. Pipi kencang, dan badan nyaris tanpa lemak. Tubuh Anny membuat penonton langsung berpikir tentang operasi plastik, diet yang ketat, olahraga dengan istruktur hebat, dan lingkup pergaulan yang luar biasa. Tubuh Anny bukan hanya dimuati oleh semua ikon kecantikan yang ditawarkan industri melainkan juga menjelaskan betapa adaptifnya dia dengan semua itu. Dan lebih dari itu, tubuh Anny menjelaskan status sosial-ekonomi dirinya. Hanya orang sangat kaya sajalah yang dapat merawat dirinya bak remaja di usia senja. Dengan tubuh sosialnya, Anny bak permata di usia tua, yang banyak memancing para kolektor untuk memiliknya. "Mulanya Bu Anny tidak mau, tapi saya yang agresif, sampai dia teryakinkan..." kata Farhat dengan senyum.
Membaca dalam kerangka tubuh sosial inilah yang membuat kita dapat melihat kasus Itje-Eddy Sud-Agung dengan lebih jelas. Tubuh sosial ini juga yang membuat cinta Ray Sahetapy pupus pada Dewi, dan bertaut kepada Iin, atau Angel yang memilih Rhoma.
Jadi, kamera yang bergerak menyelusuri tubuh Anny --meski berwatak partriarki-- sesungguhnya dapat kita baca sebagai upaya untuk memberikan sesuatu yang terasa ada di ujung lidah, tapi tak dapat terkatakan. Sesuatu yang mungkin berupa purbasangka, tapi mendiami teritorial ketaksadaran kita. Karena kita sampai saat ini masih sulit untuk menolak bahwa hanya faktor sosial-ekonomi sajalah yang dapat mengubur cinta. Kamera-kamera yang menampilkan kesempurnaan tubuh alamiah dan sosial para pesohor itu, setidaknya memberi kita ruang untuk membaca, merasa, dan berfantasi. Dan dengan cara ini, setidaknya, sedikit tafsir yang berbeda didapatkan. Mungkin jadi lebih gampang bagi kita untuk menerima, betapa kuatnya godaan, betapa tidak sempurnanya manusia....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 3 Juli 2005]