window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Wednesday, September 28, 2005

Reza, di Mana Berakhirnya Hati Seorang Ibu

Kehidupan memang ibarat panggung sandiwara. Dan tiap sandiwara selalu punya akhir, ketika para pemeran meninggalkan panggung, menanggalkan topeng, kembali ke diri yang asli. Reza Artamevia, tampaknya, menyadari sungguh hal itu.

Setahun lalu, Reza memainkan lakon ini: seorang ibu yang teraniaya. Ia pun menghadapi kamera selalu dengan airmata. Perselisihannya dengan suami, Adjie Massaid, melibatkan dua anak mereka, Zahwa (5) dan Aaliyah (3). "Hati ibu mana yang tidak sakit kalau harus dipisahkan dengan anak-anaknya..." lapor Reza pada banyak infotainmen. Di lain hari, ia pun berkata, "Saya tersiksa sekali. Zahwa sakit, panas... dan saya, saya tidak diperbolehkan melihatnya..." tangisnya tumpah. Kesakitan seorang ibu yang demikian menghipnosa banyak pemirsa. Reza teraniaya, Reza tersiksa. Dan Adjie, suami yang tak banyak bicara kepada media itu, lalu tampil sebagai sosok yang kejam, yang memisahkan kasih ibu kepada anaknya. Suami yang menjadikan anak-anak sebagai perisai untuk dapat kembali menarik Reza sebagai istrinya, dan mau mencabut gugatan cerai.

Tapi Reza kukuh, dan media berpihak padanya. "Akting" ini seperti mendapat tambahan bumbu, sampai Komnas Perempuan pun membela Reza, dan Kak Seto pun angkat bicara. "Psikologis anak-anak akan terganggu jika mereka sampai dilibatkan dalam perseteruan orang tuanya, apalagi sampai dipisahkan dari ibunya."

Reza pun kian ngotot untuk dapat bersama anaknya, kian sering dia tampil mengungkapkan rindu airmatanya, sedan cintanya. Dan menghadapi itu, Adjie dengan enteng berkata, "Saya tak pernah memisahkan Reza dengan anak-anak. Dia masih ibu anak-anak. Reza yang pergi meninggalkan rumah kami, meninggalkan anak-anak. Bukan kami yang menjauhinya. Pintu rumah ini selalu terbuka untuk dia...."

Cerita berikutnya kita tahu. Perceraian "damai" terjadi. Reza "terpaksa" menerima hak pengasuhan anak ada pada Adjie. Dan Adjie harus mencabut pengaduan tentang perselingkuhan Reza.


Hakim Waktu

Setelah itu, masalah tak juga selesai. Reza masih juga tampak sakit karena tak dapat bebas berjumpa dengan anak-anaknya. "Saya tetap tak bisa bebas menjumpai mereka," katanya, mengisak. Dan cerita tentang anak ini tak berlansung lama. Setelah kasus Reza "menghilang", perannya sebagai seorang ibu pun nyaris hilang. Sampai nyaris setahun ini, Reza tak pernah lagi "menangis" karena merasa haknya sebagai ibu teraniaya. Ia lebih sering tampil di teve dengan kerudungnya, bukan untuk menangis menjelaskan kerinduan pada dua anaknya, tapi sibuk menangkis gosip kedekatannya dengan Aa Gatot Brajamusti dan atau si perlente Ari Suta.

Lalu, tiba-tiba, "Peri Gosip" Minggu (18/9) menampilkan Ajie Massaid yang kuyu, mata yang kehilangan tidur, capek berjaga di rumah sakit. Zahwa diserang panas tinggi. "Iya, dia sakit. Panasnya 39 derajat lebih. Dada saya sampai sesak melihat dia begitu. Kadang airmata saya jatuh, tanpa saya sadari," ucapnya, pelan, terbata.

Kemana Reza? Tidakkah dia tahu Zahwa sakit? Demikian tanya narator "Peri Gosip", tanpa memberi jawab. Tapi, infotainmen lain memberitahu keberadaan Reza. Di saat anaknya sakit, Reza justru tengah bernyanyi, menari, menebar senyum, di bawah panggung yang melatari aksi sang guru Aa Gatot bernyanyi. Reza tengah menemani sang guru meluncurkan album perdana Kekasih, dan ikut bernyanyi dengan gairah, sebagaimana yang ditayangkan tunda Anteve, Kamis malam (22/9).

Tidakkah Reza tahu anaknya sakit? "Tidak. Dia tak pernah tahu..." kata Adjie.

Apakah setahun sudah begitu lama, Reza? Apakah waktu dapat melunturkan kasih seorang ibu? Atau bukan waktu, melainkan cinta, cinta pada yang lain?

Inilah kontras itu. Ajie sibuk menerangkan tentang sakit dan cara dia mengasuh anaknya, Reza suntuk menjelaskan kehebatan dan kekagumannya pada Aa Gatot.

"Kalau akhir pekan, saya 24 jam dengan anak-anak. Kalau nggak libur, ya 12 jam kerja, 12 jam dengan anak-anak," katanya.

"Eh, jangan salah ya? Aa yang sekarang justru menjadi guru vokal saya. Napasnya lebih panjang..." terang Reza.

Ajie menjelaskan apa yang dia lakukan, "Kami bermain ya. Bermain dengan anak-anak membuat saya mendapatkan banyak hal. Saya jadi tahu makna kegembiraan yang saya alami saat menjadi kanak-kanak. Saya juga mendapatkan kegembiraan yang dulu tidak saya dapatkan. Saya bahagia bersama mereka."

Reza menceritakan situasi pesantren, dan pilihan para penghuni agar dia membantu Aa mempersiapkan album itu, dan keterlibatan Ari Suta sebagai produser album. "Sudah dipesan 10 ribu copy," jelasnya.

Reza, dalam sebuah infotainmen, pernah mengatakan tak lagi mau mengingat masa lalu. Dan Adjie memang telah menjadi masa lalunya. Tapi, adakah masa lalu untuk Zahwa dan Aaliyah, Reza? Apakah tangis, kerinduan, ketersiksaan seorang ibu yang "dipisahkan" dari anak-anaknya, yang setahun lalu engkau alami, juga telah menjadi masa lalu, Reza? Adakah kasih yang lebih kuat dari cinta seorang ibu? Apakah pepatah "kasih ibu sepanjang jalan, kasih ayah sepanjang galah", tak terjadi untukmu? Apakah lakon barumu kini --mengaji, bernyanyi, dan hidup lebih tenang-- telah menghapus kerinduanmu untuk bertemu dengan anak-anakmu? Atau, masihkah kamu dihalangi untuk bertemu dengan mereka, Reza? Kenapa, kenapa tak pernah keluar lagi nama Zahwa dan Aaliyah dari bibirmu?

Ahh Reza, di mana berakhirnya hati seorang ibu, adakah kau tahu itu?


[Artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Kamis 29 September 2005]

( t.i.l.i.k ! )

     

Friday, September 23, 2005

Berharap pada yang Bangkit dari Kubur

CERITA tentang mayit yang bangkit dari kubur, yang kini mendominasi sinetron "religius", pernah juga merajai tema film Indonesia tahun 1980-an. Namun, bangkitnya mayit itu ternyata membawa "pesan" yang sangat berbeda.

Di tengah hujan doa pengusiran, Anita (Suzanna) masih sempat mengucapkan ancaman. "Dengar pesanku ini! Barangsiapa yang merampok, memperkosa, dan melanggar hukum, ingat, aku pasti akan datang untuk mencabut nyawanya..." Anita lalu memandang suaminya, Sandy (George Rudy), menitipkan pesan untuk anak-anaknya, lalu pergi, kembali ke alam-Nya.

Itu adalah petikan adegan akhir dari film Telaga Angker, yang entah telah berapa kali tayang ulang di teve. Penayangan itu tampaknya ingin mengiringi kemarakan sinetron "religius" yang berceritakan tentang kebangkitan mayit. Dan, menonton film-film produksi tahun 1980-an ini, nyaris seperti melihat tayangan sinetron yang saban malam "berkejaran" di tiap stasiun. Ya, secara teknik visual, tampak memang tak ada kontras jelas penggambaran mayit yang bangkit di film tahun 1980-an, dengan sinetron tahun 2005-an. Padahal, secara teknologi jelas telah terjadi lompatan besar, yang tampaknya memang tidak diimbangi dengan kemajuan kreativitas pencipta sinetron. Dan itu jugalah yang membuat cerita dan pengadeganan nyaris sama. Mayit yang bangkit dengan kostum dan make-up yang sama, kiai yang selain jago berdoa juga ahli silat, sampai ending yang sebangun. Kalau pun ada beda, cuma pada sosok kiai dan motif "pembangkitan" mayit.


Aparatus Kubur

Dalam film-film Suzanna, sosok kiai selalu mampu berdoa lantang dan berlafal benar. Di sinetron sekarang, kiai-kiai hanya berkemak-kemik, dan jika pun ada pelafalan, terdengar seperti orang yang baru melek membaca al-Quran. Barangkali karena sinetron kejar tayang, pemeran sosok kiai pun mungkin diambil sembarangan, cukup dengan modal selempangan sorban.

Namun, beda paling "serius" tampak dari motif bangkitnya para mayit. Seperti petikan pesan di atas, yang selalu ada nyaris dalam tiap film Suzanna, kebangkitan mayit selalu untuk membalaskan dendam. Mayit bangkit untuk mengejar para pembunuh, perampok, dan yang utama, pemerkosa. Si mayit biasanya dapat berubah bentuk seperti manusia normal, dan menggoda-jebak korbannya. Dan sebelum "penghakiman", sosok si mayit kembali ke bentuk yang menyeramkan, dengan lengking dan kekehan yang khas Suzanna.

Proses penghukuman itu biasanya selalu diselingi ucapan, "Inilah hukuman untuk pemerkosa..." atau, "Rasakan balasanku hai perampok..." dan meninggalkan pesan kepada para saksi dengan ucapan semacam, "Ini agar menjadi peringatan bagi para pengganggu rumah tangga orang, pejabat yang koruptor, pemerkosa...."

Dari film-film misteri tahun 1980-an itu dapat dilihat bahwa motif bangkitnya mayat adalah untuk menghukum orang-orang yang masih hidup, musuh yang membuat kematian atau kesengsaraan keluarga si mayit. Bangkitnya mayit itu seakan menjadi "aparatus" kubur, utusan Tuhan, untuk membalas dendam dan menegakkan hukum. Dengan pesan-pesan yang dibawa si mayit, aparatus kubur ini justru mempropagandakan kebaikan. Mayit hanya tampak menyeramkan bagi si terdakwa, dan bagi yang lain, hadir dalam proses menggelikan, hanya menggoda.

Dalam sinetron, bangkitnya mayit justru berkait dengan siksa kubur. Si mayit bangkit atau "dibangkitkan" secara visual --ditunjukkan siksa di dalam kubur-- sebagai penunjukan atas hukuman atas dosa yang dia lakukan selama hidup di dunia. Dalam beberapa cerita di Taubat, Rahasia Ilahi, Takdir Ilahi, Kuasa Ilahi, Misteri Ilahi, dan insyaf, tampak bagaimana siksa kubur yang diderita si mayat, yang menimbulkan kegegeran bagi lingkungan sekitarnya. Biasanya siksa menimpa pada tokoh yang memakai pesugihan, menyembah "berhala" dan berdukun, bersumpah palsu, korupsi, memakai sihir, teluh, dan susuk, bekerja sebagai pelacur, berjudi dan mabuk-mabukan, sampai yang kikir membelanjakan harta di jalan Allah. Si mayit yang "dibangkitkan" tidak perlu mengotbahi orang sekitarnya dan atau penonton, karena siksa atas dirinya telah menjadi pesan yang lebih nyata. Namun, keberbedaan "cara bangkit" mayit ini juga menunjukkan perubahan cara pandang sineis atas realitas.


Apatisme Hukum

Pesan yang dibawa si mayit di dalam film, di satu sisi dapat dilihat sebagai keterbelengguan sinema untuk membawa pesan moral, yang tampaknya merupakan pengejawantahan dari moral pancasila. Si mayit terkadang tampak menggelikan --tentu ini dilihat dari kacamata kekinian-- ketika mengotbahi para petugas yang korup dengan membawa-bawa pancasila dan atau atas nama kepentingan negara dan orang banyak. "Pesan negara" ini bahkan sangat jelas karena pengucapannya pun nyaris seperti hapalan. Atau, barangkali pengucapan gaya penghapalan ini memang menjadi "tanda" agar penonton tahu betapa terbelenggunya film itu.

Di sisi lain, bangkitnya mayit justru meruntuhkan pesan yang dia bawa. Mayit yang bangkit dan membalas dendam menunjukkan semacam ketidakpercayaan si korban pada kerja aparat. Si mayitlah yang selalu berhasil menemukan pembunuh, pemerkosa atau koruptor, dan jika tidak menghukum sendiri, dia akan menghubungi polisi, seperti di film Misteri Rumah Tua. Di film Telaga Angker dan film Suzanna yang lain, balas dendam itu memang terjadi, meski ada beberapa penjahat yang terpaksa diserahkan pada massa karena penuntasan dendam itu dihakimi kiai. Dari sini saja tampak bahwa ketakpercayaan pada aparat itu sudah demikian dalam, sehingga jika pun tak terjadi pembalasan dendam, hanya sosok kiai yang masih dapat dipercaya.

Dlam sinetron, "pembangkitan" mayit justru lebih menunjukkan --sebagaimana juga pendapat Garin Nugroho-- ketakpercayaan pada hukum. Jadi, ketakpercayaan pada hukum yang adillah yang membuat kepasrahan diletakkan pada hukum Tuhan. Apatisme pada hukum negara membuat adagium "Biar Allah yang akan membalas semua perbuatannya" mendapat titik pijak. Ketidakampuhan hukum negara untuk membuat efek jera juga yang membuat hukum Tuhan divisualisasikan dengan cara demikian mengerikan, kasar, dan di beberapa visual, justru tampak naif. Keapatisan pada hukum negara juga yang membuat Tuhan diharapkan turun tangan bukan saja sebagai sipengadil, tapi juga sekaligus sebagai Allah yang Maha Kejam dan Maha Penghukum. Dan dasar itu juga yang membuat bangun-rancang sinetron "religius" meletakkan ketakwaan tercipta dalam bungkus ketakutan atas hukuman, dan bukan karena, seperti lagu Chrisye dan Ahmad Dani, "Dia memang pantas disembah, Dia memang pantas di puja", meskipun surga dan neraka tak pernah ada.

Akhirnya, cara bangkit mayat di film dan sinetron tampaknya hanya ingin menunjukkan betapa rusaknya negara ini. Di masa Orba, film menunjukkan betapa tak percayanya masyarakat pada aparat, dan di masa tanpa orde ini, sinetron menunjukkan ketakpercayaan pada hukum. Dan untuk menghibur kesengsaraan kita sebagai anak bangsa, kita pun "memvisualisasikan" mayit semacam Suzanna, dan siksaan seperti di sinetron. Kita pun menontonnya dengan bergairah, karena tahu masih ada hukum, masih ada keadilan, bahkan terjadi setiap malam, meski cuma di televisi.


[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 25 September 2005]

( t.i.l.i.k ! )

     

Thursday, September 15, 2005

"Kok Nggak Iklan-Iklan Sih!"

"IKLAN membuat hak pemirsa untuk menikmati tayangan menjadi terkebiri. Penonton menjadi stake holder pasif: menerima apa saja yang disuguhkan. Kalau tidak suka, cuma punya kekuasaan untuk alih saluran atau mematikan televisi."

Narasi di atas saya temukan dalam artikel di rubrik "Layar" Suara Merdeka, Minggu (11/9) lalu. Dan narasi itu hanya bagian kecil dari cara pandang yang sejenis atas iklan di televisi. Iklan sebagai musuh, perusak kenikmatan tontonan, menghasut ke arah konsumerisme, dan mematikan nalar penonton. Iklan didudukkan sebagai "penguasa" tiran, dan karena itu, dipandang penuh cemooh dan umpatan. Cara pandang negatif yang membuat tayangan iklan kehilangan posisinya sebagai medium provokasi sadar diri.


Penonton aktif

Telah terlalu banyak tulisan yang mengasumsikan bahwa menonton televisi adalah sesuatu yang pasif, makna dan pesan dari teve berjalan linear dan secara mudah diterima pemirsa. Pandangan ini pula yang secara ektrim melihat korelasi statistik antara tingkat kebrutalan di masyarakat dengan tayangan kekerasan di televisi. Padahal, korelasi statistik bukan bukti kasual. Penonton televisi bukanlah massa alienatif, sejenis, dan karena itu gampang "disusupi" pesan-pesan dari teve. Menonton pada hakikatnya adalah kegiatan sosial yang merupakan proses mencari dan menciptakan makna. Karena itu, tiap penonton merupakan pencipta makna yang aktif dalam aktivitas menontonnya, dan penciptaan makna lahir dari kompetisi kultural yang telah mereka dapatkan sebelumnya dalam lingkup berbahasa dan hubungan sosial.

Stuart Hall dalam Culture, Media, Language, mengakui bahwa setiap tayangan televisi, termasuk juga iklan, di dalamnya telah terstruktur pesan yang diciptakan untuk ditembakkan kepada pemirsa. Namun, pemproduksian makna ini tidak serta merta menjamin diterimanya pesan tadi oleh pemirsa. Hal itu, selain karena pemirsa bukanlah makhluk pasif, pesan ciptaan tadi juga terkonstruksi dalam sistem tanda. Dan setiap tanda, kita tahu, selalu polisemik. karena itu, pesan yang diinginkan sampai oleh produsen selalu mengalami resistensi dan artikulasi baru, sesuai tingkat sosial penonton. Bisa jadi, penonton yang memiliki tanda budaya yang sama dengan tayangan televisi atau iklan merespon makna itu sesuai dengan yang diharapkan. Namun, otomatisasi ini barangkali sebuah anomali dalam sistem polisemik. Karena, sekali lagi, selain tingkat sosial, situasi saat menonton, juga memengaruhi proses pembacaan dan pemaknaan pesan-pesan tadi. Jadi, sesungguhnya, secanggih apa pun, pesan dari setiap tayangan di teve adalah bahan mentah, yang dimatangkan dalam proses pembacaan dan tawar-menawar kode budaya si penonton. Tak ada pemirsa yang sepenuhnya pasif.

Jadi, jika tidak ada pemisra yang sepenuhnya pasif, maka provokasi iklan, sedahsyat apa pun, bukanlah peluru yang diterima tanpa kesadaran. Bahkan, dalam konteks pemirsa aktif, iklan justru menemukan tempatnya sebagai hulu ledak penyadaran.


Jeda hipnotis

Pandangan bahwa kemunculan iklan di sesela acara, termasuk iklan running text, merupakan gangguan kepada penonton merupakan sinyal tentang hipnotisasi sebuah tayangan. Dan harus diakui, kian hebat daya hipnotis tayangan, kian kuat pula proses penyetoran makna terjadi.

Hipnotisasi semacam inilah --yang juga dilakukan di dunia teater-- mendapat penentangan oleh Bertold Brecht. Brecht yakin, penghisapan penonton ke dalam tiap adegan teater, yang membuat tak ada lagi jarak antara penonton dan panggung, antara pementasan dan realitas, membuat penonton kian terjauhkan dari realitas kesehariannya. Karena itu, dalam pemanggungan, Brecht selalu memasukkan "alat" alienasi, yang bertujuan mengasingkan penonton, menciptakan jarak antara penonton dan tontonan, menghadirkan jeda hipnotis. Dengan memberi jeda hipnotis itu, akan tercipta kesadaran situasional dari penonton, mengubah hubungan antara panggung dan penonton, dan menstimulan refleksi terhadap proses pemaknaan realitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, alienasi itu berupa turunnya layar di panggung, pembagian babak, sampai tingkah aktor yang bicara langsung pada penonton, dan konstruksi wicara yang menandaskan bahwa adegan di panggung hanya "permainan". Dan dalam kerangka semacam itu jugalah kehadiran iklan dapat dilihat.

Kehadiran iklan yang tiba-tiba ketika tayangan sinetron sedang mencapai klimaknya, atau running text yang menciderai seru pertandingan bola, menjadi mengganggu karena memberi jeda hipnotis pada penonton. Dari situasi yang tersedot pada sebuah tayangan, kemudian secara tiba-tiba dilemparkan karena kehadiran iklan. Mengganggu memang, tapi tidakkah gangguan itu menciptakan kesadaran bahwa kita sedang menonton, dan berada pada sebuah ruang domestik. Kehadiran iklan menjaraki lagi antara penonton dan tontonan. Penjarakan inilah yang secara tidak langsung menciptakan proses pemaknaan, mengaktifkan penonton. Ungkapan, "iklan lagi, iklan lagi..." atau, "Huh! terpotong iklan!" secara otomatis memberi tanda keberhasilan alienasi atau pengasingan itu. Kegembiraan, euforia, kesedihan, heroisme, yang muncul dalam proses menonton, sementara padam. Aktivitas "pemaknaan" di mulai, bukan hanya pada tayangan tersebut, tapi juga pada diri yang tengah menonton.

Kehadiran iklan membuat penonton sadar akan ruang. Ruang di sini bukan saja dalam artian fisik --ruang keluarga, kamar, atau ruang tamu sebagai tempat menonton-- melainkan ruang sebagai tempat artikulasi pengalaman, ingatan, hasrat dan perebutan dan pengembangan identitas individual dan kolektif. Kehadiran iklan membuat penonton tahu di ruang itu ada kepentingan lain, ada penonton lain, yang dengan iklan di satu acara di sebuah stasiun teve, dapat memindahkan ke stasiun lain, memenuhi kepentingan penonton yang lain. Iklan barangkali membuat demokratisasi di ruang keluarga terjadi.

Kehadiran iklan juga membuat penonton kembali ke realitas asalinya. Alienasi terhadap teve yang dilakukan iklan, menyadarkan penonton pada posisi sosialnya. Pemandangan yang lazim jika di saat iklan, para penonton kembali memasuki "ruang pribadinya". Iklan di sebuah sinetron membuat seorang ibu kembali ke tugas domestiknya, meneruskan menyetrika, memasak air, mandi, atau menelpon anak-anak, dan salat. Jeda iklan menciptakan ruang kesadaran untuk kembali ke realitas, dan sepenuhnya tercerabut dari daya hipnotis tontonan. Tak heran jika terkadang "gangguan" iklan ini begitu dinanti. Ungkapan, "Kok nggak iklan-iklan sih..." secara tegas mengindikasikan betapa jeda iklan memang dibutuhkan penonton untuk melepaskan cengkeraman hipnotis sebuah tayangan.

Tayangan televisi mengikuti pendapat pengamat media Amerika D Kellner, bukanlah "suatu lubang hitam di mana semua makna dan pesan terserap dalam pusarannya" dan disemburkan ke penonton tanpa ambang terima. Semua pesan yang diproduksi dalam setiap tayangan, mendapatkan artikulasi yang berbeda, yang diciptakan penonton berdasarkan kepentingannya. Tak ada penonton yang sepenuhnya terkolonisasi, terkuasai. Karena jeda yang dibuat iklan, membuat pesan yang disemprotkan sebuah tayangan, menemukan dinding pembatas. Penonton pun, sepersekian saat, bisa merasa bebas.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 18 September 2005]

( t.i.l.i.k ! )

     

Monday, September 12, 2005

Pencerita yang Luar Biasa

PELABUHAN Jeddah, 1923.

Kapal haji milik Chasan Imazi "Bombay" melempar sauh. Dan penumpang kapal, para jamaah haji yang akan pulang ke Indonesia, bergegas naik. Satu jam kemudian, penumpang yang naik mulai menipis. Tapi di dermaga, satu keluarga asal Rembang, Jawa Tengah, masih tak bergegas naik.

Sirena kapal berbunyi, kapal akan bergerak. Tapi, keluarga yang berjumlah enam orang itu tak juga beranjak. Semua tampak sibuk merubung sang ayah, yang sekarat meregang nyawa.

Tapi, kapal tak bisa menunggu, tangga mulai akan dilepas. Mereka panik, dan menyerah. Dengan airmata bercucur, tangis yang pecah, mereka bergerak mengejar kapal, meninggalkan sang ayah yang sudah menjadi jenazah, di tangan seorang syekh.
Keperihan itu paling mencekam bagi Mashadi dan Hj Chadidjah. Tiga adik Mashadi masih terlalu kecil untuk mengerti duka itu. Mashadi, yang sesudah dewasa nanti menjadi KH Bisri Musthofa, baru berusia 8 tahun, adiknya, Salamah 5,5 tahun, Misbah 3,5 tahun dan Ma'sum baru 1 tahun. Mereka sedang menunaikan ibadah haji.

Mereka memang dari keluarga yang berada. Tapi, usai kematian ayahnya, H Zaenal Musthofa, babak kehidupan Mashadi dimulai. Ia diasuh N Zuhdi, kakak tirinya, anak ayahnya dari istri pertama, Dakilah.

Mashadi bukanlah anak pesantren. Dia paling ogah mengaji. Seusai tamat sekolah Ongko Loro misalnya, ia dikirim ke pesantren Kajen asuhan Kiai Chasbullah, tapi tak betah. Ketika pindah ke pesantren Kiai Cholil Kasingan, di Rembang, dia tak juga senang.

Dalam biografinya, Mashadi mengaku belajar di pesantren amat sulit, terutama nahwu dan sharaf. Lebih lagi, Kiai Cholil di mata Mashadi waktu itu, sangat angker dan menakutkan. Mendingan tak usah mengaji daripada dipukuli saat mengaji, begitu batinnya.

Tapi, akhirnya Mashadi kembali ke Kasingan, meski menghindari Kiai Cholil. Dia memilih mengaji pada santri senior, Sudja'i, ipar Cholil. Dan secara nekat, Mashadi mengaji kitab Alfiyah Ibnu Malik, kitab Nahwu 1000 nazham.
Mashadi berhasil. Dia bahkan tampil sebagai santri yang paling pintar pelajaran nahwu, dan mendapat posisi lurah pondok, pengulang pelajaran kiai.

1932, Mashadi meminta restu kepada Kiai Cholil akan pindah ke Pesantren Termas, asuhan Kiai Dimyati. Cholil tak mengabulkan, bahkan meminta Mashadi menjadi menantunya.

Juni 1935, masih berusia 20 tahun, Bisri menikahi Ma'rufah Binti Cholil, yang baru berusia 10 tahun.

Menjadi menantu Kiai Cholil lebih banyak tak enaknya bagi Birsi. Ini karena para santrinya menuntut ia mengajarkan kitab, yang bentuknya saja ia tak pernah lihat. Sebagai akal, Bisri lalu mengaji di Kranggeneng bersama Kiai Kamil, dan mengulang pelajarannya di depan santrinya. Tapi acap, kalau pengajian Kranggeneng libur, ia tak mengajar, karena tak punya bahan.

Untuk menghindari beban ini, berbekal uang berjualan kitab Bijuraimi Iqna', ia "melarikan" diri ke Mekah, 1936, menunaikan ibadah haji. Di sana, Bisri menjadi khadam di rumah Syekh Chamid Said.

Saat pulang, mengingat ilmunya yang pas-pasan, ia tak kembali, bahkan bersama Suyuti Cholil dan Zuhdi dari Tuban, berguru kepada Kiai Bakir, Syekh Umah Hamdan al-Maghribi, Syekh al-Maliki, Sayid Amin, Syekh Hasan Masysyath, Sayid Alawie dan Kiai Abdul Muhaimin. Tahun berikutnya, Bisri pulang.


Menjual Gigi Emas

8 Desember 1941, Jepang mengumumkan perang melawan Sekutu, dan santri pesantren diminta siap menjadi milisi. Situasi kian mencekam, Bisri dan keluarganya mengungsi dari Rembang. 1943, Jepang mengadakan latihan alim ulama di Jakarta selama satu bulan. Angkatan pertama dari daerah Pati diwakili KH A Jalil Kudus, dan angkatan kedua diwakili Bisri Musthofa. Selain orang Jepang, KH Wahab Chasbullah, H Agus Salim dan KH Mas Mansur juga menjadi pengajar.
Setelah itu Jepang membentuk Masyumi, dan menunjuk KH Hasyim Asy'ari dari Jombang sebagai Ketua dan Ki Bagus Hadikusumo sebagai wakil. Birsi menjadi ketua daerah kabupaten.

Tapi keadaan saat itu amat mengerikan. Harga melonjak, makanan tak terbeli. Keluarga Bisri pun terpaksa makan jagung. Selain itu, kornea Bisri ternyata rusak, dan perlu dicangkok. Tapi, mereka malah ke Jombang, menemui tabib. Enam bulan mereka menunggu kornea, dan tinggal menumpang di rumah Mak Puk. Mereka papa, dan untuk menyambung hidup, Bisri menjual semua pakaiannya, kecuali satu sarung, kaos dan baju dril. Terakhir, ia mencabut dan menjual gigi emasnya, dengan harga Rp 400,-

Bisri selanjutnya membuat kerajinan tas, dari modal Rp 1000 yang diberikan Mak Puk. Tapi, PKI memberontak, dan bersama laskar Hizbullah, Bisri kembali ke Rembang. Ia kemudian berjualan garam, dan gagal. Pindah ke Sulang, Cabean, ke Trembes Gunen, lalu ke Sedan, dan menetap di Sarang, dengan amat menderita, hanya makan jagung pemberian orang. Uang Rp 200, dari Mbah Imam pemimpin Pesantren Sarang, ia belikan nasi, dan Rp 40 siasanya, ia belikan jagung, merica, yang ia goreng gosong, lalu dicampur gula dan minyak, dan ia jual dengan nama Ma'jun, jamu obat kuat lelaki. 1949, Bisri terpilih sebagai Penghulu Darurat, dengan kekuasaan meliputi seluruh kabupaten. Kehidupannya mulai membaik.

KH Bisri Musthofa adalah orator, mubaligh yang mendekati sempurna, pengarang yang amat produktif. Ia bisa bicara apa saja, dengan kemampuan panggung yang tak terbantahkan.

Di podium, dia mampu menyedot emosi massa, menghanyutkan dalam arus cerita yang luar biasa. Suaranya seakan irama gaib, yang membuat wanita, terutama jika ia bercerita tentang Ratu Bilqis yang dipecundangi Sulaiman, menarik kainnya, meniru sang ratu yang takut basah, di istana kaca Sulaiman. Ia tak sekadar orator, imajinasi dan kekayaan referensinya, membuat pendengar diajak masuk menjadi tokoh cerita.

Riwayat kiai ini amat menarik, karena ia seakan menyimpang dari jalan hidup kiai pesantren lainnya. Dia misalnya, mengatakan ikhlas adalah kondisi ketika orang merasa lega atas hasil ikhtiarnya. Ia adalah kiai yang tak risi berbicara motif ekonomi.

"Menulis dengan niat mencari nafkah untuk kehidupan keluarga adalah hal yang wajar," kata almarhum, suatu saat kepada KH Ali Ma'shum Krapyak, yang menegurnya karena sibuk berceramah, tak sempat mengajar santrinya.

"Meskipun saya tak mengajar, sesungguhnya para santri tetap mengaji pada saya, termasuk santri sampeyan," katanya, yang memang buku-buku karyanya, dipakai di Krapyak. Kiai yang lahir di Pati 18 september 1886 ini juga aktif di Partai NU, lalu ke PPP tahun 1973. Dia adalah juru kampanye yang andal. Kariernya di di NU dan partai melesat, sejak ia menanggalkan posisinya sebagai Kepala Kantor Agama Rembang.

Tapi, seminggu setelah ia memberangkatkan putranya, Musthofa Bisri, ke Arab Saudi, di masa kampanye, 16 Pebruari 1977, sakit menerjangnya. Dan karena terlalu parah, dokter angkat tangan, Yang Kuasa memanggilnya. Partai PPP pun berduka, kampanye di Jateng seperti tanpa suasana. Ia pergi meninggalkan 8 anaknya, KH Cholil Birsi, KH Musthofa Bisri, KH Adieb Bisri, Audah, Najihah, Labib, Nihayah, dan Atikah.

"Yang patah memang bisa tumbuh, yang hilang dapat berganti. Tapi seorang Bisri Musthofa? Ah, tidak mudah mendapatkan penggantinya," kata KH Saifuddun Zuhri, menggambarkan rasa kehilangannya.

( t.i.l.i.k ! )