window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Monday, May 12, 2008

Tawa untuk Logika Janda

Susah sungguh bergelar janda, jadi rebutan dan caci-maki para tetangga


"Takut... takut... takut... Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt.... Ciut.. ciut... ciut... Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt...." Anda pasti akrab dengan potongan lagu di atas. Ya, itulah lagu yang menjadi pembuka tayangan sitkom "Suami-suami Takut Istri" setiap sore di TransTV. Dari lagu tersebut sudah jelas arah cerita komedi itu, tentang suami yang tak berdaya di depan istri.

Sitkom yang diproduseri Anjasmara dan disutradarai Sofyan de Surza itu memang populer. Selain cukup bagus dari sisi cerita, kekuatan karakter tokoh menjadi daya tarik utama, terutama karena bumbu kontradiksi di dalamnya. Tigor (Yanda Djaitov) yang berbadan binaraga misalnya, justru takluk sama istrinya, Welas (Asri Pramawati), yang lembut dan kurus. Lucu, apalagi jika mengaitkan kesukuan mereka, Tigor yang Batak dan Welas yang Jawa. Atau keluarga satu suku, Faisal (Ramdan Setia) dan Deswita (Melvy Noviza). Matrenalisme suku Padang diwujudkan secara ekstrim dalam ketaklukan suami dalam hal apa pun. Sesuatu yang hiperbolis, sebenarnya. Tapi, tanpa yang hiperbolis, komedi tentu akan kehilangan suara.

Konflik dalam sitkom ini tergolong biasa, khas permasalahan rumah tangga. Namun karena faktor ketertundukan suami, penyelesaian konflik tadi acap mengundang tawa. Apalagi, dikontraskan dengan kehadiran Dadang (Epy Kusnandar), satpam yang beristri tiga, dan satu-satunya lelaki yang tak takluk pada istrinya. Tak heran kalau akhirnya terjadi "ikatan" persamaan nasib di antara para suami itu. Pak RT (Otis Pamutih), Faisal, Tigor, dan Karyo (Irvan Penyok), jadi terbiasa ngudarasa, curhat, atau berbagi taktik mengelabui istri, meski selalu gagal. Namun, selain karena takut pada istri, ikatan sesama suami ini juga terjalin karena alasan yang sama, ketertarikan pada seorang janda. Pretty (Desy Novitasari) namanya. Bahkan, konflik akibat kejandaan Pretty nyaris menjadi menu utama sitkom ini.


Janda Omnivora

Pretty memang cantik. Kakinya panjang, dengan dada yang padat, dan acap berbusana terbuka, menantang. Bibirnya tipis, dan kalau bicara, mendesis-desis. Matanya pun bagus, terutama kalau berkedip-kedip ketika bicara. Kehadirannya menjadi magnit di komplek itu, bukan saja membuat para suami jadi punya kesamaan idola, melainkan juga menjadikan para istri punya musuh bersama. Pretty yang cantik, dan terutama janda, membuat para istri memandang dalam syak-wasangka. Karena tampaknya, sebagai kompensasi ketakutan pada istri, para suami jadi memiliki keberanian untuk menggoda sang janda.

Pretty bukan tidak menyadari ketertarikan para suami pada tubuhnya, dan kemarahan para istri akan kehadirannya. Tapi, bukannya menjaga diri, Pretty justru berlaku "jinak-jinak merpati". Akibatnya, para suami acap tertangkap basah tengah menggodanya, membantunya, atau terkunci di dalam rumahnya. Hanya Dadang yang tak begitu "memandang" Pretty. Satpam ini cuma bisa "goyang" oleh uang.

Sitkom ini memang melakukan mitos penguatan pada stigma janda. Pretty tampil dalam imaji janda yang memang bertugas menggoda. Dia memberi angin pada harapan para suami lewat lirikan, ajakan jari telunjuk, senyum, dan busana. Pretty mempersepsikan sebagai janda yang mau dan "bisa" digoda. Bahkan, ayah Tigor, Togar (Dorman Borisman) yang berkunjung, langsung melihat sinyal "kebisaan" Pretty. Dia berusaha mencuri kesempatan, namun ternyata, sama seperti anaknya, Batak tua ini pun takut pada istrinya. Hahaha...

Karena hadir dalam streotif "bisa" digoda, para istri pun memosisikan Pretty dalam stigma janda pada umumnya. Bu RT (Aty Fathiyah) terutama, sangat percaya bahwa Pretty selalu menginginkan suaminya. Meski hal itu dibantah anaknya, Sarmilila (Marissa), "Nyak, kenape sih selalu nyalahin Tante Pretty? Nggak mungkin juga Tante Pretty mau sama Babe." Tapi, bagi Bu RT, yang mewakili stigma umum itu, janda adalah omnivora, pemakan segala, tak punya kelas selera. Pria apa pun, jelek atau binaraga, lembut atau tak bekerja, akan dimamahnya.

"Suami-suami Takut Istri" tidak berusaha melakukan redefenisi pada stigma janda itu. Dalam satu seri, Pretty bahkan digambarkan begitu hausnya pada lelaki, dan berusaha menjebak Garry (Ady Irwandi), satu-satunya lajang di perumahan itu. Namun Garry menolak. Ia pun distigmakan sebagai lelaki yang lugu, yang tanpa pretensi apa pun, senang membantu. Kehadiran Garry sebagai lajang polos kian menegaskan keomnivoraan Pretty. Belum lagi posisi Dadang sebagai satpam, yang lebih banyak menjadi mata para istri, dengan imbalan uang, untuk mengawasi Pretty. Dadang hadir lebih sebagai personifikasi negara, menjadi pengawas akan status warganya.


Logika Janda

Sitkom "Suami-suami Takut Istri" adalah cermin stigmatisasi janda yang masih berlangsung dan diterima oleh warga. Keberterimaan itu dapat dilihat dari kehadiran Pretty yang tidak mendapat resistensi dari penonton. Artinya, sosok Pretty dilihat dan dinikmati bukan sebagai karakter yang terberi melainkan watak asali. Konflik dan kecemburuan karena Pretty dinikmati sebagai kewajaran dan bukan pengada-adaan. Akibatnya, jalinan cerita menjadi benar dalam "logika" janda.

Janda, "perempuan yang pernah menikmati seks", dipersepsikan sebagai ancaman rumah tangga. Karena pernah menikmati seks, janda dipercayai akan mencari lagi kenikmatan itu dengan cara apa pun. Logika inilah yang membuat, jika pun terjadi hubungan seks antara seorang lelaki dan janda, perempuan itu menjadi "tersangka" dan lelaki sebagai "korban". Anggapan yang sangat kejam, yang celakanya, justru mendapat afirmasi dari negara.

Negara "mengakui" stigmatisasi janda sebagai "ancaman" pada moralitas dan rumah tangga. Maka perempuan yang "pernah menikmati seks secara sah" itu perlu terus dilabeli. Labelisasi itu dilakukan negara lewat penyebutan di dalam KTP. Dengan pelabelan itu, seorang wanita didudukkan dalam sebuah akuarium besar, sehinnga khalayak dapat mengetahui statusnya. Dengan pelabelan itu, negara mengatakan bahwa "perempuan ini pernah menikmati seks secara resmi", dan warga harus hati-hati padanya. Label status yang menjadi "penjara" bagi si perempuan, agar dia terus tersadarkan tentang statusnya, dan menjaga sikap moralnya di depan warga.

Ironinya, pelabelan itu hanya menjerat perempuan yang pernah menikmati seks secara resmi alias menikah. Sedangkan perempuan yang pernah menikmati seks --tanpa harus menikah-- tidak masuk dalam labelisasi ini. Artinya, bui labelisasi itu justru diberikan pada perempuan yang mengikuti moralitas umum --mereka pernah menikah-- dan bukan mereka yang melawan moralitas umum --ngeseks tanpa menikah. Tanpa sadar, negara dan warga justru mengawasi perempuan yang "mengakui dan mengikuti" moralitas umum. Aneh kan?

Mengapa negara dan warga menghidupi terus stigma janda itu? Sebabnya satu, seks masih masuk ke wilayah tabu. Sebagai sesuatu yang tabu, seks hadir dan meluas secara tersembunyi, dan hidup dalam imajinasi banyak orang. Dan janda, --perempuan yang pernah menikmati seks-- adalah sebuah "wilayah kosong" yang memantik imajinasi. "Wilayah yang tak lagi tergarap" itu memancing imajinasi banyak perempuan dan lelaki, apalagi jika dia secantik dan seseksi Pretty. Karena itu, "Suami-suami Takut Istri" adalah cermin kebobrokan moral dan kesesatan pikir masyarakat ini. Kita menikmati, menertawai. Menggelikan sekali!


*)Thanks untuk Cahaya atas ide dasar tulisan ini

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 11 Mei 2008]