window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Tuesday, March 04, 2008

Tangis Kemenangan Indra Brugman




INDRA Brugman kalah juga. Berkali dia mengucek, menahan cairan hangat itu jatuh, namun ketika di sudut kanan, matanya menangkap isakan Mama Mimi, tangisannya pun pecah.

Ya, Indra kalah, melawan kenangan pedih ketika melihat Mama Mimi berjualan gorengan untuk membiayai keluarga mereka. Dia tahu betul bagaimana pengorbanan Mama Mimi saat itu, tapi Indra tak kuasa membantu. Itulah sebabnya, ketika di Jakarta, setiap ada penjual gorengan, Indra selalu membelinya, kalau bisa menghabiskannya. "Karena saya selalu berdoa, di sana, di rumah, ada juga yang membeli gorengan Mama, dan menghabiskannya..."

Selasa malam itu (26/2), panggung grandfinal "Supermama Seleb Concert" jadi milik Indra. Semua penonton seperti terhisap pada kenangan masa lalunya, yang demikian pedih. Tak ada lagi akting. Indra luruh, dan mengisak, tangisan anak yang demikian sakit karena merasa dalam salah satu episode hidupnya, pernah membuat sang mama berkorban terlalu besar. Dia peluk Mama Mimi, dia abai pada ingus yang jatuh dari hidungnya. "Terimakasih Mama, terimakasih..." bisiknya.

Di belakang mereka, Eko Patrio menangis.

Di sisi kiri, di jajaran peserta, Mama Lutfia, terisak. Tangannya digenggam Adly, putranya, seakan memberikan kekuatan, untuk tak larut dalam kesedihan.

Ruben Onsu, yang selalu bercanda gila, seperti kehilangan suara. Ivan Gunawan, yang meminta Indra bercerita, memandang dengan mata berkaca. Dia juga menahan sedan. Panggung "pesta" itu senyap. Isakan, suara tangis, menjadi orkestra yang demikian indah, musik yang bercerita kasih anak dan orang tua.

Dan Eko kemudian memberi nilai yang lebih dalam lagi. Sehabis melap matanya, dengan suara yang belum bebas dari tangis, dia berkata, "Yang penting dari kita adalah bukan di posisi mana saat ini, melainkan bagaimana cara kita bisa meraih posisi itu."

Ya, Eko benar. Yang menggetarkan dari pengamanan Indra Brugman bukanlah posisinya sekarang sebagai aktor terkenal, melainkan perjuangannya meraih itu semua. Dengan kata lain, Indra meraih semua posisi itu dengan tidak menggadaikan kehormatannya, harga dirinya. Indra membayar pantas, tanpa jalan pintas.

Apa yang dilakukan Indra, dengan demikian, nyaris jadi anomali dalam dunia industri. Ketika semua orang ingin cepat populer, yang patuh pada proses, sering terlindas. Yang cepat, dapat. Jalan pintas, wajar dan benar. Industri membuat semua orang lebih menghitung posisi. Berada dalam satu status, terutama selebritis, adalah segalanya. Apa pun boleh dikorbankan untuk meraih itu.

Kita tahu berbagai rumor seram dalam hal itu, mulai membayar juri, "menjual" keperawanan, sampai menjadi istri simpanan, hanya untuk meraih sebuah peran. Dan banyak artis yang mengakuinya, kemudian. Mereka seakan mengatakan bahwa hal itu adalah harga dari sebuah popularitas, sebuah tujuan. Moral orang kebanyakan jadi tidak cocok sebagai ukuran. "Gue terpaksa melakukan itu," kata Cut Memey, ketika statusnya sebagai istri simpanan Jakcson terungkap. Alm Alda Risma pun punya "sejarah" yang sama, juga Mayangsari, tentunya. Dan yang tak terbantahkan, "si kembar" Sarah dan Rahma Azhari.

Maka, terasa ajaib, ketika di tengah tangis panggung "Supermama seleb Consert" itu, Eko menegaskan bahwa posisi tak terlalu berarti. Barangkali Eko tahu, sangat sedikit artis kini, yang meraih posisinya dengan meneteskan airmata, dan terus berjuang, tetap sebagai manusia. Eko mengerti, karena seperti Indra, dia pun melakukannya. Mereka bermimpi dan mewujudkan mimpi itu dengan sempurna, sebagai buah usaha dan doa. Tangis malam itu, adalah isakan mereka yang bahagia, tetap memilih menjadi manusia, di jalan yang menjadi binatang pun akan dianggap biasa. Tangis itu adalah perayaan kemenangan mereka....


[Telah dimuat sebagai "Tajuk" dalam Tabloid Cempaka, Kamis 6 Maret 2008]