window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Tuesday, February 05, 2008

Ketika Peranan Menjadi Diri




Seberapa dalamkah sebuah peran merasuki hidup seseorang? "Beberapa hari setelah usai syuting, aku masih merasa diriku ini orang lain. Butuh waktu lama bagiku untuk keluar dari karakter yang aku perani. Kadang aku takut diriku tak pernah seutuhnya bisa kembali."

Itulah pengakuan aktor Robert De Niro, yang aktingnya selalu berbuah pujian. Pengakuan yang menunjukkan bahwa memainkan dan masuk dalam sebuah karakter bukanlah hal mudah. Namun, keluar dari watak yang telah dimainkan ternyata lebih sulit lagi. Karena itulah, aktor "jenius" ini tak sembarangan memilih peran. Ada bagian dirinya yang harus selalu siap dipertaruhkan. Memerankan adalah mengizinkan dirinya "dibawa" watak lain, tanpa ada kepastian bisa kembali. Film bagus Being John Malkovich menunjukkan dengan manis akibat ketika sebuah peranan tak bisa keluar dari diri sang aktor.

Berperan, memainkan dan masuk dalam sebuah watak, dengan demikian adalah sebuah keberanian, dan juga pengorbanan. Dan tidak banyak aktor yang punya keberanian seperti itu, apalagi keridhaan untuk berkorban, khususnya di Indonesia, ketika sebuah peran hanya dimaknai sebagai aksi sebatas panggung.

"Apa yang ada di panggung dan televisi hanya sebuah peran, semata-mata untuk keperluan entertain. Kalau keseharian aku seperti itu, ya memang gaya aku dari sananya. Tidak bisa diubah kali," kata aming.

"Aku santai saja. Hari ini aku pakai bulu mata, mungkin besok aku tampil botak, brewokan atau klimis. Itu hanya tampilan luar saja. Tapi kalau bicara isi, sungguh sama sekali tak ada yang berubah," ungkap Ivan Gunawan.

"Dia begitu karena tuntutan peran. Ivan seorang lelaki yang berprofesi sebagai desainer. Kalau dia tampil feminin, karena itulah perannya, jualannya," bela Rossa, mantan pacar Ivan.

"Menjadi perempuan buat aku sebuah pekerjaan. Kenapa tidak? Aku dibayar karena aku tampil sebagai perempuan. Jadi sebagai wujud profesionalitas saja," tambah Olga Syahputra.

Mereka --Aming, Ivan, dan Olga, membicarakan peran dengan riang, seperti memakai make-up, yang beberapa saat kemudian bisa dihapus atau dibuang. Peran, peralihan watak, pemilihan karakter, dianggap sebagai hal yang biasa, lazim, dan dengan enteng diterima karema mereka yakin, "isi sama sekali tidak ada yang berubah." Ivan mengaku tetap lelaki sejati, Aming pun begitu, Olga apalagi. "Astagfirullah aladzim. Olga tetap laki-laki. Aku menjalani pekerjaan ini untuk mencari rejeki. yang penting halal, tidak menyakiti hati orang. aku diberi peran, ya sudah aku jalani..."

Olga, Aming, dan Ivan, barangkali tidak menyadari, ada yang selalu tinggal di dalam diri mereka setiap kali peran ditanggalkan. Itulah yang membuat Andy Garcia mengurung diri, karena peran pembunuh acap "mendorongnya" untuk melakukan aksi, justru ketika film telah selesai dibuat. Artinya, sebuah peran yang mendalam, dan lama dimainkan, akan menjejaki diri sang aktor. Membuat dirinya pelan-pelan, bukan tidak mungkin, dikolonisasi watak peranan. Christine Hakim butuh waktu tiga bulan untuk benar-benar bisa bebas dari infiltrasi peran yang dia mainkan dalam sebuah film. Pengorbanan yang besar untuk akting yang memang selalu bersinar.

Aming, Ivan, dan Olga, bisa merasa diri tetap tak berubah, atau berpura tak menyadari diri berubah. Tapi, lihatlah, sekeliling mereka pasti dapat meraba perubahan itu. Di Thailand pada saat pergantian tahun lalu misalnya, Aming yang berlibur ke Pattaya, ditolak memasuki arena hiburan karena dia dinilai ladyboy alias banci. Aming marah. Tapi kemarahannya tak mampu meyakinkan penjaga bahwa dia adalah lelaki.

Olga pun mengakui hal itu. Pulang manggung, di jalan dia digoda lelaki bule, karena dikira banci. "Mungkin aku tampak lebih cantik daripada perempuan asli ya?" katanya, bangga.

Olga, Aming, merasa terbebani dengan peran itu. "Saya pakai image banci karena memang lagi digemari. Nanti jika mereka sudah bosan, aku akan mencari ladang lain," yakin Aming. Mencari ladang lain, memerankan karakter lain, Aming mungkin bisa. Tapi, apakah dia sepenunnya bisa membuang karakter banci yang bertahun-tahun dia temani dan tumbuhkan di dalam dirinya? Bisakah Aming atau Olga memisahkan diri antara Aming yang banci dan Aming yang lelaki? Karena, sehari-hari pun, Aming telah nyaman memakai busana perempuan, berkaos ketat dan berstoking panjang.

Ivan, Aming dan Olga, seperti Tata Dado juga, tak menyadari, atau tak ambil peduli, jika peran banci yang mereka mainkan kini, suatu hari, kelak, akan menjadi diri mereka sendiri. Pengorbanan yang terlalu berani atas nama peran, yang sesungguhnya, maaf, tak terlalu berarti, karena sekadar memancing tawa.

[Artikel ini telah dimuat sebagai "Tajuk" di Tabloid Cempaka, Rabu 6 Februari 2008]