...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, November 29, 2007
Dhani dan Penggemar yang Dewasa
Di dunia industri, ide selalu berarti uang, dan bukan ideologi.
"Lagu ini benar-benar menunjukkan isi hati Dhani. Semoga nanti dikirimi Tuhan kekasih yang benar-benar baik hati." Demikianlah bunyi salah satu SMS yang menjadi teks berjalan di layar teve, Sabtu malam (17/11). Banyak sekali SMS yang ditampilkan dalam acara "Musik Spesial" itu, mulai berisi permintaan lagu, titip salam si pengirim kepada sanak keluarga dan atau kekasih, sampai pujian dan hasutan. Semua SMS selalu berkisar pada grup musik yang tampil, Matta, Nidji, The Rock, dan Dewi-Dewi, yang memeriahkan ulangtahun Marinir di Surabaya itu.
Kiriman SMS memang menjadi hal penting dari acara ini. Pemandu acara Andhara Early dan Teuku Wisnu pun berkali-kali mengingatkan penonton agar terus mengirimkan SMS untuk memilih lagu yang mereka inginkan. Karena, diakhir acara akan ada hadiah untuk penonton yang memilih lagu favorit.
Di panggung, semua band tampil antusias. Matta menghibur, Nidji memukau, The Rock memikat, Dewi-dewi memesona. Mereka bergantian unjuk piawai, berinteraksi, dan memberikan lagu-lagu terbaik dengan penampilan sempurna.
Saya, jujur saja, lebih tertarik mengamati SMS yang berjalan di layar. Saya percaya, lagu "Ketahuan" dan "Playboy" dari Matta punya peluang besar untuk jadi favorit penonton. Juga lagu-lagu Nidji yang familiar di telinga. Lagu Dewi-Dewi seperti "Dokter Cinta" dan "Begini Salah Begini Benar" sulit diharapkan dipilih penonton. Dua lagu ini memang populer dan dahsyat dalam pekikan Ina sang vokalis. Tapi gaungnya sudah terasa jauh. Bagaimana dengan The Rock?
Tak dapat dimungkiri, lagu-lagu Dhani memang selalu bagus dan bernada khas. "Munajat Cinta" dan "Kamu Kamulah Surgaku" memberi warna yang berbeda tentang cinta. Apalagi di panggung itu, layar memutar klip kemesraan Dhani dan anak-anaknya. Tapi, melihat kisruh rumah tangga Dhani selama ini, dan pernyataannya yang keras dan dingin tentang Maia, istrinya, sepertinya lagu itu akan bergaung tapi tanpa gema. Apalagi, sore sebelum naik pentas, infotainmen sibuk memberitakan penjemputan Maia pada Al, El, dan Dul, yang tengah syuting di Bogor. Dhani dikatakan telah mengeksploitasi anak-anak mereka. Perseteruan suami istri itu kembali tersulut. Lebih dari itu, di berbagai milis dan forum, "citra" Dhani telah "habis". Ratusan, mungkin ribuan opini di dunia maya telah mendudukkannya sebagai suami yang kejam, sadis, dan mau menang sendiri. Di ruang maya, Dhani nyaris tanpa pembela.
Maka, saya percaya, "Ketahuan" dari Matta akan menjadi lagu favorit di "Musik Spesial" SCTV malam itu. Semelesetnya, pasti lagu dari Nidji.
Tapi, kenyataan terkadang acap mengkhianati harapan. Kian malam, SMS dari pemirsa berkata beda. "(36) Dhani al-Haq, kami dari padepokan Syeh Siti Jenar selalu mendukungmu", bunyi salah satu SMS. Lalu, "(36) Saya sangat mengerti apa yang sedang Dhani alami dengan lagu ini. Juga, "(36) Lagu ini mengingatkanku padamu, Euis." Atau, "(36) Dhani selalu membuat lagu dengan hatinya". Dan, "(36) Lagu ini cocok untuk kaum jomblo."
36 adalah nomor urut lagu "Munajat Cinta" yang dilantunkan Dhani. Dan lepas tengah malam, Andhara Earli mengumumkan bahwa "Munajat Cinta" berhasil menjadi lagu favorit pilihan pemirsa. Di layar tertera, tembang itu meraih 39,4% dari seluruh SMS yang masuk.
Saya mengucek mata, nyaris tak percaya.
Anomali Industri
Bertahun lalu, Zainuddin MZ selalu berkata, "Saya tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana." Popularitas pun selalu mengakrabinya, juga media. Tapi kemudian Zainuddin masuk PPP, lalu kecewa, dan mendirikan Partai Bintang Reformasi. Namanya perlahan tapi pasti meredup. Media menjauh, popularitas merapuh.
Bertahun lalu, Aa Gym selalu mengajarkan bagaimana menjaga hati, memanajemen kalbu. Ia menjadi representasi kiai yang sangat mencintai keluarga. Sikap moralnya menjadi ikutan umat. Popularitas kian menguat, media pun sangat akrab. Lalu, Aa menikah lagi. Kiai ini "difatwa" media telah "melanggar" apa yang selalu dia ajarkan, tentang cinta, keluarga, dan satu istri. Dan perlahan tapi pasti, popularitas menarik diri dari kiai ini, media pun ikut pergi berlari.
Meski tidak sama persis, Dhani justru menjadi anomali dalam industri media. Jangankan kesantuan, sikap rendah hati pun tak dipunyai pentolah Dewa ini. Arogan! Arogansi ini bahkan sudah jadi sikap diri. Ketika Helmy Yahya menasihati peserta "Mama Mia" agar jangan cepat bersombong meski sudah populer, Dhani yang juga duduk sebagai juri, menggamit Helmy dan membisikinya. Helmy kemudian tersenyum, dan berkata, "Karena kata Dhani, yang boleh sombong itu hanya dia." Penonton bersorak.
Helmy, di dalam buku Manunggaling Dewa juga mengaku tak habis pikir dengan segala popularitas yang didapatkan Dhani. Ketika semua publik figur selalu membangun citra diri, Dhani bahkan seakan tidak urusan dengan hal itu. "Dhani sebuah anomali dalam industri hiburan," kata Helmy. Tak hanya Helmy, Rheinald Kasali pun mengakui pola-pola yang ditempuh Dhani nyaris tak ditemukan di dalam dunia marketing.
Uniknya, dengan segala arogansi itu, Dhani mengusung tema cinta. Cinta dengan C besar. Lagu-lagunya dibumbui petikan ucapan sufi, dan, katanya, saripati, al-Quran. Album bandnya selalu memakai kata cinta, dari Atas Nama Cinta, Cintailah Cinta, Laskar Cinta sampai Republik Cinta. Dan dia berhasil dengan kampanye cinta tersebut, setidaknya sampai perseteruannya dengan Maia, istrinya, di ujung tahun lalu. Setelah itu, arogansi Dhani mulai dibumbui kebencian, amarah, cacian, dan nista. Dhani justru menunjukkan dirinya sebagai hamba yang jauh dari cinta.
Setahun ini, media selalu berisi perseteruan Dhani dengan Maia, statemen-statemennya yang tak menunjukkan "watak" seorang suami, dan tuduhannya yang sampai kini belum terbukti. Dalam kondisi "hampa cinta" itu, Dhani justru menelurkan album Kerajaan Cinta. Lagu "Dewi" yang menjadi andalah, tetap mencetak hit. Ia pun memproduseri Andra and The Backbond, juga membesut trio Dewi-Dewi, dan meraih platinum. Terakhir bersama bule Australia, dia melempar The Rock. "Munajat Cinta" pun tetap mencetak hit.
Ada apa dengan Dhani? Mengapa, ketika "aktor" media lain diabaikan pasar karena "sikap moral" yang berbeda dari karya, Dhani masih tetap diterima?
Uang Ideologi
Melihat fenomena Dhani ini, saya "curiga", penonton teve dan penikmat musik Indonesia telah memasuki fase dewasa. Kedewasaan inilah yang membuat mereka mampu melihat Dhani dalam berbagai posisi, sebagai suami, ayah, pemusik, pencipta, produser, dan embel-embel lainnya. Dengan kata lain, penonton sadar tak selalu ada kausalitas di antara posisi-posisi itu. Gagal sebagai suami, belum tentu gagal sebagai ayah. Tak selalu ada "pertalian darah" antara karya dan penciptanya. Karena, seperti kata Pramudya Ananta Toer, setiap karya memiliki jiwa dan kehidupan sendiri. "Kehidupan yang menentukan apakah karya itu abadi atau tidak. Bukan pengarangnya."
Penonton atau penikmat musik barangkali juga mulai menyadari bahwa diri itu tidak selalu tunggal dan utuh, tapi terpecah di dan dalam proses. Yang selalu diberikan seseorang bukanlah keutuhan atau ketunggalan, tapi pecahan-pecahan dirinya yang dapat diterima, yang kelak selalu bisa berubah. Karena manusia, mengutip Goenawan Mohamad, selalu menuju dumadi, dadi yang mendapat imbuhan "um", men-jadi yang selalu dalam gerak, di arus waktu.
Menyadari diri bukan suatu yang tunggal dan utuh, menempatkan penonton pada kesadaran bahwa karya adalah idealisasi dari penciptanya, dan bukan selalu jalan hidup. Karya lebih berupa "apa yang ingin dikatakan" daripada "apa yang akan dilakukan". Karya atau lagu, adalah hasil olah pikir, kristalisasi ilmu, dan bukan laku. Dan di dunia industri, ide selalu berarti uang, dan bukan ideologi.
Diri Dhani berada dalam "kemelut" ini.
Penggemar yang dewasa akan dapat menikmati lagu-lagu Dhani lepas dari sosok Dhani. Lagu-lagu itu punya energi sendiri, misi sendiri, napas dan jiwa, yang sepenuhnya tidak dikendalikan Dhani. Para pelatun di luar Dhani-lah, yang mendengung di sisi pentas itu, dalam panas dan peluh, yang lebih menentukan warna cinta di dalam tiap lagu-lagu Dewa. Merekalah laskar cinta sesungguhnya. Dan pencipta boleh alfa.
Ketika karya tidak dibebani pencipta, penilaian pun akan berjalan adil. Pencipta boleh masuk penjara, boleh tersangkut narkoba, bercerai, berzinah atau poligami, karyanya tetaplah suci. Karena kita tahu, kehidupan terkadang memaksa seseorang untuk tidak melakukan apa yang dia katakan. Kehidupan kadang membelokkan seseorang ke jurang yang tak pernah dia inginkan. Karena kehidupan kadang hanya meminta kita berkata 'ya'. Itu saja.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 Desember 2007]
"Lagu ini benar-benar menunjukkan isi hati Dhani. Semoga nanti dikirimi Tuhan kekasih yang benar-benar baik hati." Demikianlah bunyi salah satu SMS yang menjadi teks berjalan di layar teve, Sabtu malam (17/11). Banyak sekali SMS yang ditampilkan dalam acara "Musik Spesial" itu, mulai berisi permintaan lagu, titip salam si pengirim kepada sanak keluarga dan atau kekasih, sampai pujian dan hasutan. Semua SMS selalu berkisar pada grup musik yang tampil, Matta, Nidji, The Rock, dan Dewi-Dewi, yang memeriahkan ulangtahun Marinir di Surabaya itu.
Kiriman SMS memang menjadi hal penting dari acara ini. Pemandu acara Andhara Early dan Teuku Wisnu pun berkali-kali mengingatkan penonton agar terus mengirimkan SMS untuk memilih lagu yang mereka inginkan. Karena, diakhir acara akan ada hadiah untuk penonton yang memilih lagu favorit.
Di panggung, semua band tampil antusias. Matta menghibur, Nidji memukau, The Rock memikat, Dewi-dewi memesona. Mereka bergantian unjuk piawai, berinteraksi, dan memberikan lagu-lagu terbaik dengan penampilan sempurna.
Saya, jujur saja, lebih tertarik mengamati SMS yang berjalan di layar. Saya percaya, lagu "Ketahuan" dan "Playboy" dari Matta punya peluang besar untuk jadi favorit penonton. Juga lagu-lagu Nidji yang familiar di telinga. Lagu Dewi-Dewi seperti "Dokter Cinta" dan "Begini Salah Begini Benar" sulit diharapkan dipilih penonton. Dua lagu ini memang populer dan dahsyat dalam pekikan Ina sang vokalis. Tapi gaungnya sudah terasa jauh. Bagaimana dengan The Rock?
Tak dapat dimungkiri, lagu-lagu Dhani memang selalu bagus dan bernada khas. "Munajat Cinta" dan "Kamu Kamulah Surgaku" memberi warna yang berbeda tentang cinta. Apalagi di panggung itu, layar memutar klip kemesraan Dhani dan anak-anaknya. Tapi, melihat kisruh rumah tangga Dhani selama ini, dan pernyataannya yang keras dan dingin tentang Maia, istrinya, sepertinya lagu itu akan bergaung tapi tanpa gema. Apalagi, sore sebelum naik pentas, infotainmen sibuk memberitakan penjemputan Maia pada Al, El, dan Dul, yang tengah syuting di Bogor. Dhani dikatakan telah mengeksploitasi anak-anak mereka. Perseteruan suami istri itu kembali tersulut. Lebih dari itu, di berbagai milis dan forum, "citra" Dhani telah "habis". Ratusan, mungkin ribuan opini di dunia maya telah mendudukkannya sebagai suami yang kejam, sadis, dan mau menang sendiri. Di ruang maya, Dhani nyaris tanpa pembela.
Maka, saya percaya, "Ketahuan" dari Matta akan menjadi lagu favorit di "Musik Spesial" SCTV malam itu. Semelesetnya, pasti lagu dari Nidji.
Tapi, kenyataan terkadang acap mengkhianati harapan. Kian malam, SMS dari pemirsa berkata beda. "(36) Dhani al-Haq, kami dari padepokan Syeh Siti Jenar selalu mendukungmu", bunyi salah satu SMS. Lalu, "(36) Saya sangat mengerti apa yang sedang Dhani alami dengan lagu ini. Juga, "(36) Lagu ini mengingatkanku padamu, Euis." Atau, "(36) Dhani selalu membuat lagu dengan hatinya". Dan, "(36) Lagu ini cocok untuk kaum jomblo."
36 adalah nomor urut lagu "Munajat Cinta" yang dilantunkan Dhani. Dan lepas tengah malam, Andhara Earli mengumumkan bahwa "Munajat Cinta" berhasil menjadi lagu favorit pilihan pemirsa. Di layar tertera, tembang itu meraih 39,4% dari seluruh SMS yang masuk.
Saya mengucek mata, nyaris tak percaya.
Anomali Industri
Bertahun lalu, Zainuddin MZ selalu berkata, "Saya tidak kemana-mana, tapi ada di mana-mana." Popularitas pun selalu mengakrabinya, juga media. Tapi kemudian Zainuddin masuk PPP, lalu kecewa, dan mendirikan Partai Bintang Reformasi. Namanya perlahan tapi pasti meredup. Media menjauh, popularitas merapuh.
Bertahun lalu, Aa Gym selalu mengajarkan bagaimana menjaga hati, memanajemen kalbu. Ia menjadi representasi kiai yang sangat mencintai keluarga. Sikap moralnya menjadi ikutan umat. Popularitas kian menguat, media pun sangat akrab. Lalu, Aa menikah lagi. Kiai ini "difatwa" media telah "melanggar" apa yang selalu dia ajarkan, tentang cinta, keluarga, dan satu istri. Dan perlahan tapi pasti, popularitas menarik diri dari kiai ini, media pun ikut pergi berlari.
Meski tidak sama persis, Dhani justru menjadi anomali dalam industri media. Jangankan kesantuan, sikap rendah hati pun tak dipunyai pentolah Dewa ini. Arogan! Arogansi ini bahkan sudah jadi sikap diri. Ketika Helmy Yahya menasihati peserta "Mama Mia" agar jangan cepat bersombong meski sudah populer, Dhani yang juga duduk sebagai juri, menggamit Helmy dan membisikinya. Helmy kemudian tersenyum, dan berkata, "Karena kata Dhani, yang boleh sombong itu hanya dia." Penonton bersorak.
Helmy, di dalam buku Manunggaling Dewa juga mengaku tak habis pikir dengan segala popularitas yang didapatkan Dhani. Ketika semua publik figur selalu membangun citra diri, Dhani bahkan seakan tidak urusan dengan hal itu. "Dhani sebuah anomali dalam industri hiburan," kata Helmy. Tak hanya Helmy, Rheinald Kasali pun mengakui pola-pola yang ditempuh Dhani nyaris tak ditemukan di dalam dunia marketing.
Uniknya, dengan segala arogansi itu, Dhani mengusung tema cinta. Cinta dengan C besar. Lagu-lagunya dibumbui petikan ucapan sufi, dan, katanya, saripati, al-Quran. Album bandnya selalu memakai kata cinta, dari Atas Nama Cinta, Cintailah Cinta, Laskar Cinta sampai Republik Cinta. Dan dia berhasil dengan kampanye cinta tersebut, setidaknya sampai perseteruannya dengan Maia, istrinya, di ujung tahun lalu. Setelah itu, arogansi Dhani mulai dibumbui kebencian, amarah, cacian, dan nista. Dhani justru menunjukkan dirinya sebagai hamba yang jauh dari cinta.
Setahun ini, media selalu berisi perseteruan Dhani dengan Maia, statemen-statemennya yang tak menunjukkan "watak" seorang suami, dan tuduhannya yang sampai kini belum terbukti. Dalam kondisi "hampa cinta" itu, Dhani justru menelurkan album Kerajaan Cinta. Lagu "Dewi" yang menjadi andalah, tetap mencetak hit. Ia pun memproduseri Andra and The Backbond, juga membesut trio Dewi-Dewi, dan meraih platinum. Terakhir bersama bule Australia, dia melempar The Rock. "Munajat Cinta" pun tetap mencetak hit.
Ada apa dengan Dhani? Mengapa, ketika "aktor" media lain diabaikan pasar karena "sikap moral" yang berbeda dari karya, Dhani masih tetap diterima?
Uang Ideologi
Melihat fenomena Dhani ini, saya "curiga", penonton teve dan penikmat musik Indonesia telah memasuki fase dewasa. Kedewasaan inilah yang membuat mereka mampu melihat Dhani dalam berbagai posisi, sebagai suami, ayah, pemusik, pencipta, produser, dan embel-embel lainnya. Dengan kata lain, penonton sadar tak selalu ada kausalitas di antara posisi-posisi itu. Gagal sebagai suami, belum tentu gagal sebagai ayah. Tak selalu ada "pertalian darah" antara karya dan penciptanya. Karena, seperti kata Pramudya Ananta Toer, setiap karya memiliki jiwa dan kehidupan sendiri. "Kehidupan yang menentukan apakah karya itu abadi atau tidak. Bukan pengarangnya."
Penonton atau penikmat musik barangkali juga mulai menyadari bahwa diri itu tidak selalu tunggal dan utuh, tapi terpecah di dan dalam proses. Yang selalu diberikan seseorang bukanlah keutuhan atau ketunggalan, tapi pecahan-pecahan dirinya yang dapat diterima, yang kelak selalu bisa berubah. Karena manusia, mengutip Goenawan Mohamad, selalu menuju dumadi, dadi yang mendapat imbuhan "um", men-jadi yang selalu dalam gerak, di arus waktu.
Menyadari diri bukan suatu yang tunggal dan utuh, menempatkan penonton pada kesadaran bahwa karya adalah idealisasi dari penciptanya, dan bukan selalu jalan hidup. Karya lebih berupa "apa yang ingin dikatakan" daripada "apa yang akan dilakukan". Karya atau lagu, adalah hasil olah pikir, kristalisasi ilmu, dan bukan laku. Dan di dunia industri, ide selalu berarti uang, dan bukan ideologi.
Diri Dhani berada dalam "kemelut" ini.
Penggemar yang dewasa akan dapat menikmati lagu-lagu Dhani lepas dari sosok Dhani. Lagu-lagu itu punya energi sendiri, misi sendiri, napas dan jiwa, yang sepenuhnya tidak dikendalikan Dhani. Para pelatun di luar Dhani-lah, yang mendengung di sisi pentas itu, dalam panas dan peluh, yang lebih menentukan warna cinta di dalam tiap lagu-lagu Dewa. Merekalah laskar cinta sesungguhnya. Dan pencipta boleh alfa.
Ketika karya tidak dibebani pencipta, penilaian pun akan berjalan adil. Pencipta boleh masuk penjara, boleh tersangkut narkoba, bercerai, berzinah atau poligami, karyanya tetaplah suci. Karena kita tahu, kehidupan terkadang memaksa seseorang untuk tidak melakukan apa yang dia katakan. Kehidupan kadang membelokkan seseorang ke jurang yang tak pernah dia inginkan. Karena kehidupan kadang hanya meminta kita berkata 'ya'. Itu saja.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 Desember 2007]