...tera di sesela gegas-gesa
Monday, September 10, 2007
Heroes dalam Tragedi September
Heroes adalah kritik yang pedas atas tragedi 11 September.
POLITIK tak pernah punya hati. Barangkali itulah pesan tersamar serial Heroes yang setiap petang tayang di TransTV. Serial yang sangat populer di Amerika --dan kemudian di seluruh negara yang menayangkannya-- ini menggambarkan intrik politik yang membuat hubungan batin kakak-adik, suami-istri, bahkan anak dan ibu, terberai. Semua terjadi karena perbedaan pandangan terhadap bencana yang akan terjadi.
Inti cerita Heroes adalah upaya untuk menyelamatkan New York dari kehancuran. Ada manusia-bom yang akan meledak di New York. Sosok manusia-bom itu tercetak dalam lukisan Isaac (Santiago Cabrera), sang penggambar masa depan. Tak jelas siapa manusia-bom itu, karena ada tiga orang yang punya kekuatan itu, Sylar (Zachary Quinto), Ted (Matthew John Amstrong), dan Peter (Milo Ventimiglia). Namun Hiro (Masi Oka), sang penjelajah waktu, yang datang dari masa depan, menjumpai Peter dan berpesan untuk menyelamatkan seorang pemandu sorak, "save cheerleader, save the word."
Cheerleader itu adalah Claire (Hayden Panettiere), yang tidak bisa terluka. Hanya dia yang dapat membuat manusia-bom tak jadi meledak di New York. Peter pun menyelamatkan Claire dari pemangsa manusia-istimewa, Sylar. Sebuah tindakan yang membuat kakaknya, Nathan (Adrian Pasdar), calon senator, menjadi sangat emosional. Sebabnya, dalam lukisan Isaac, penyelamatan itu akan membuat Peter kehilangan jiwa. Satu yang tidak Nathan duga, kemampuan Peter yang seperti spon, menyerap kekuatan setiap orang, membuatnya juga tak dapat terluka ketika berada di dekat Claire.
Heroes memang serial yang padat, penuh intrik, dan ketakterdugaan. Setiap tokoh diceritakan dalam frame berbeda, yang kemudian lebur di dalam satu frame besar, semuanya terhubung. Siapa duga, ternyata Claire adalah anak Nathan, yang berarti keponakan Peter. Dan siapa sangka, aktor utama yang ingin New York tetap meledak adalah Linderman (Malcolm McDowel), yang sangat didukung oleh Angela (Cristine Rose), ibu Nathan dan Peter, nenek Claire. Heroes juga piawai menata konflik tiap tokoh dalam frame kecil yang seakan tak terhubung, lalu perlahan frame masing-masing tokoh lebur, dalam frame utama. Penonton dibuai dalam satu kejutan ke kejutan lain, cerita yang nyaris tak terduga, dalam skenario Tim Kring yang nyaris tanpa cacat logika.
Lorong Gelap
Mengapa Linderman dan Angela ingin New York tetap hancur? Jawabnya secara tegas dinyatakan Linderman pada Nathan, "Hanya dengan kesedihan itu engkau bisa menggerakkan dunia." Nathan, dalam lukisan Isaac, kelak akan berada di Gedung Putih, menjadi Presiden. Dan kehancuran New York-lah yang bisa membuat ramalan itu terjadi. Apalagi, kehancuran itu terjadi satu hari setelah Nathan menang dalam pemilihan anggota Konggres. kemenangan yang telah dijamin Linderman, karena dia memiliki Micah (Noah Gray-Cabay), yang dapat mengubah kartu suara.
"Kita akan berada dalam dunia kemarahan dan kesedihan yang sama. Dengan itu kita bisa mengarahkan dunia untuk mendukung cita-cita kita," jelas Linderman, sembari menunjuk lukisan Nathan di Gedung Putih. Namun Nathan tetap ragu. Apalagi Peter selalu meyakinkan bahwa terlalu banyak orang tidak berdosa yang akan jadi korban. "Kita punya kekuatan untuk menghentikan itu." Namun Nathan tak goyah, terutama setelah Angela meyakinkannya, dengan memberi contoh pada tindakan Presiden Truman yang meledakkan Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri PD II. "Itu keputusan yang penting! Mereka akan berterimakasih atas keteguhan, keuletan, dan keyakinanmu. Kau bisa percaya itu? Bisa menjadi orang yang kami butuhkan?" desaknya.
Hiro bersama Ando (James Kyson Lee), yang pernah ke masa depan ketika New York telah hancur, tahu hanya dengan membunuh Sylar bencana itu dapat dielakkan. Namun, kekuatannya belum dapat dia kuasai. Dan ketika bertemu Sylar, dia pun tak punya keberanian untuk membunuh. Ando putus asa. "Ini jalan gelap," bisiknya, lelah. Tapi Hiro tetap yakin. "Seorang pahlawan harus lalui lorong gelap sebelum sampai ke jalan terang," ucapnya. Dan dia lari ketika kalah bertarung dengan Sylar.
Seperti Ando, Claire pun tak yakin dirinya dan Peter bisa menghentikan bencana itu. "Kita masih bisa pergi dari bencana ini," teriaknya. Claire takut. Ia bahkan menangis. Namun Peter tetap yakin dengan pesan Hiro, save cheerleader, save the word. "Jika kita selalu selamatkan diri sendiri, lalu siapa yang akan selamatkan orang lain, Claire?"
Pelahap Manusia
Berhasilkah Hiro dan Peter menyelamatkan New York? Heroes musim pertama ini tak memberi jawaban yang pasti. Musim kedua baru akan tayang akhir September ini, itu pun di Amerika. Namun, lewat jelajahan waktu 5 tahun ke depan yang dilakukan Hiro, penonton diberi gambaran ketika New York hancur, ketika Hiro, Peter, dan Claire gagal. Nathan memang jadi Presiden. Dia jadi sosok pemimpin dunia, yang selalu bersandar pada bencana New York, atas nama sang korban, menunjuk dan menentukan pihal mana yang salah dan pantas dieksekusi. Dibantu Matt Parkman (Greg Grunberg), si pembaca pikiran, yang telah menjadi kepala keamanan nasional, dan tugasnya adalah memenjarakan manusia-istimewa yang memiliki kekuatan, mereka memburu para teroris yang membuat New York meledak. Dan siapakah teroris itu? Ya, Hiro, Peter, Niki, dan Claire. Dan Nathan, sang Presiden itu, tak lain adalah Sylar, tokoh jahat yang sudah menguasai kemampuan malih-rupa. Tak terduga bukan?
Dari masa depan yang dijumpai Hiro inilah dapat kita baca, Heroes adalah kritik yang tajam atas peristiwa 11 September. Heroes seakan menegaskan bahwa peledakan 11 September bukanlah sebuah rencana yang tak terbaca Amerika. Para politikus justru sengaja membiarkan peledakan itu terjadi agar bisa memimpin dunia untuk bertindak atas nama kesedihan, luka, dan korban. Hanya dengan membiarkan WTC hancur, Amerika mendapat kekuasaan dunia untuk menunjuk pihak mana yang bersalah, dan layak dihancurkan. Hanya atas nama korban, Amerika dapat menjadi polisi dunia, menghukum siapa saja, hanya dengan praduga.
Heroes menunjukkan dengan pedih bahwa kehancuran utama setelah meledaknya New York adalah hilangnya nilai kemanusiaan, rasa percaya, dan cinta keluarga. Yang tercipta adalah benci dan pembalasan dendam, yang semuanya merupakan ilusi ciptakan para pemegang kekuasaan di Gedung Putih. Gedung Putih membuat mereka yang tahu rencana pendiaman peledakan New York, dan berusaha menghentikannya, sebagai musuh dunia. Untuk mereka tertera cap teroris. Merekalah Hiro, Peter, dan Claire. Sementara, sang pemimpin dunia, sang pahlawan yang segera bangkit dari kesedihan, adalah Nathan, politikus berwajah tampan, yang sebenarnya adalah Sylar, sang pelahap manusia. Tidakkah ini sindiran untuk presiden Bush?
Sayang, tidak seperti di Heroes, kita tak punya Hiro, yang bisa kembali ke masa lalu, dan mengubah sejarah. Karena itu, kita hanya bisa menerima, setelah tagedi 11 September, betapa kebencian dan praduga adalah wajah dunia, wajah kehidupan kita kita. Ah, andai waktu bisa diputar-ulang....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 9 September 2007]
POLITIK tak pernah punya hati. Barangkali itulah pesan tersamar serial Heroes yang setiap petang tayang di TransTV. Serial yang sangat populer di Amerika --dan kemudian di seluruh negara yang menayangkannya-- ini menggambarkan intrik politik yang membuat hubungan batin kakak-adik, suami-istri, bahkan anak dan ibu, terberai. Semua terjadi karena perbedaan pandangan terhadap bencana yang akan terjadi.
Inti cerita Heroes adalah upaya untuk menyelamatkan New York dari kehancuran. Ada manusia-bom yang akan meledak di New York. Sosok manusia-bom itu tercetak dalam lukisan Isaac (Santiago Cabrera), sang penggambar masa depan. Tak jelas siapa manusia-bom itu, karena ada tiga orang yang punya kekuatan itu, Sylar (Zachary Quinto), Ted (Matthew John Amstrong), dan Peter (Milo Ventimiglia). Namun Hiro (Masi Oka), sang penjelajah waktu, yang datang dari masa depan, menjumpai Peter dan berpesan untuk menyelamatkan seorang pemandu sorak, "save cheerleader, save the word."
Cheerleader itu adalah Claire (Hayden Panettiere), yang tidak bisa terluka. Hanya dia yang dapat membuat manusia-bom tak jadi meledak di New York. Peter pun menyelamatkan Claire dari pemangsa manusia-istimewa, Sylar. Sebuah tindakan yang membuat kakaknya, Nathan (Adrian Pasdar), calon senator, menjadi sangat emosional. Sebabnya, dalam lukisan Isaac, penyelamatan itu akan membuat Peter kehilangan jiwa. Satu yang tidak Nathan duga, kemampuan Peter yang seperti spon, menyerap kekuatan setiap orang, membuatnya juga tak dapat terluka ketika berada di dekat Claire.
Heroes memang serial yang padat, penuh intrik, dan ketakterdugaan. Setiap tokoh diceritakan dalam frame berbeda, yang kemudian lebur di dalam satu frame besar, semuanya terhubung. Siapa duga, ternyata Claire adalah anak Nathan, yang berarti keponakan Peter. Dan siapa sangka, aktor utama yang ingin New York tetap meledak adalah Linderman (Malcolm McDowel), yang sangat didukung oleh Angela (Cristine Rose), ibu Nathan dan Peter, nenek Claire. Heroes juga piawai menata konflik tiap tokoh dalam frame kecil yang seakan tak terhubung, lalu perlahan frame masing-masing tokoh lebur, dalam frame utama. Penonton dibuai dalam satu kejutan ke kejutan lain, cerita yang nyaris tak terduga, dalam skenario Tim Kring yang nyaris tanpa cacat logika.
Lorong Gelap
Mengapa Linderman dan Angela ingin New York tetap hancur? Jawabnya secara tegas dinyatakan Linderman pada Nathan, "Hanya dengan kesedihan itu engkau bisa menggerakkan dunia." Nathan, dalam lukisan Isaac, kelak akan berada di Gedung Putih, menjadi Presiden. Dan kehancuran New York-lah yang bisa membuat ramalan itu terjadi. Apalagi, kehancuran itu terjadi satu hari setelah Nathan menang dalam pemilihan anggota Konggres. kemenangan yang telah dijamin Linderman, karena dia memiliki Micah (Noah Gray-Cabay), yang dapat mengubah kartu suara.
"Kita akan berada dalam dunia kemarahan dan kesedihan yang sama. Dengan itu kita bisa mengarahkan dunia untuk mendukung cita-cita kita," jelas Linderman, sembari menunjuk lukisan Nathan di Gedung Putih. Namun Nathan tetap ragu. Apalagi Peter selalu meyakinkan bahwa terlalu banyak orang tidak berdosa yang akan jadi korban. "Kita punya kekuatan untuk menghentikan itu." Namun Nathan tak goyah, terutama setelah Angela meyakinkannya, dengan memberi contoh pada tindakan Presiden Truman yang meledakkan Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri PD II. "Itu keputusan yang penting! Mereka akan berterimakasih atas keteguhan, keuletan, dan keyakinanmu. Kau bisa percaya itu? Bisa menjadi orang yang kami butuhkan?" desaknya.
Hiro bersama Ando (James Kyson Lee), yang pernah ke masa depan ketika New York telah hancur, tahu hanya dengan membunuh Sylar bencana itu dapat dielakkan. Namun, kekuatannya belum dapat dia kuasai. Dan ketika bertemu Sylar, dia pun tak punya keberanian untuk membunuh. Ando putus asa. "Ini jalan gelap," bisiknya, lelah. Tapi Hiro tetap yakin. "Seorang pahlawan harus lalui lorong gelap sebelum sampai ke jalan terang," ucapnya. Dan dia lari ketika kalah bertarung dengan Sylar.
Seperti Ando, Claire pun tak yakin dirinya dan Peter bisa menghentikan bencana itu. "Kita masih bisa pergi dari bencana ini," teriaknya. Claire takut. Ia bahkan menangis. Namun Peter tetap yakin dengan pesan Hiro, save cheerleader, save the word. "Jika kita selalu selamatkan diri sendiri, lalu siapa yang akan selamatkan orang lain, Claire?"
Pelahap Manusia
Berhasilkah Hiro dan Peter menyelamatkan New York? Heroes musim pertama ini tak memberi jawaban yang pasti. Musim kedua baru akan tayang akhir September ini, itu pun di Amerika. Namun, lewat jelajahan waktu 5 tahun ke depan yang dilakukan Hiro, penonton diberi gambaran ketika New York hancur, ketika Hiro, Peter, dan Claire gagal. Nathan memang jadi Presiden. Dia jadi sosok pemimpin dunia, yang selalu bersandar pada bencana New York, atas nama sang korban, menunjuk dan menentukan pihal mana yang salah dan pantas dieksekusi. Dibantu Matt Parkman (Greg Grunberg), si pembaca pikiran, yang telah menjadi kepala keamanan nasional, dan tugasnya adalah memenjarakan manusia-istimewa yang memiliki kekuatan, mereka memburu para teroris yang membuat New York meledak. Dan siapakah teroris itu? Ya, Hiro, Peter, Niki, dan Claire. Dan Nathan, sang Presiden itu, tak lain adalah Sylar, tokoh jahat yang sudah menguasai kemampuan malih-rupa. Tak terduga bukan?
Dari masa depan yang dijumpai Hiro inilah dapat kita baca, Heroes adalah kritik yang tajam atas peristiwa 11 September. Heroes seakan menegaskan bahwa peledakan 11 September bukanlah sebuah rencana yang tak terbaca Amerika. Para politikus justru sengaja membiarkan peledakan itu terjadi agar bisa memimpin dunia untuk bertindak atas nama kesedihan, luka, dan korban. Hanya dengan membiarkan WTC hancur, Amerika mendapat kekuasaan dunia untuk menunjuk pihak mana yang bersalah, dan layak dihancurkan. Hanya atas nama korban, Amerika dapat menjadi polisi dunia, menghukum siapa saja, hanya dengan praduga.
Heroes menunjukkan dengan pedih bahwa kehancuran utama setelah meledaknya New York adalah hilangnya nilai kemanusiaan, rasa percaya, dan cinta keluarga. Yang tercipta adalah benci dan pembalasan dendam, yang semuanya merupakan ilusi ciptakan para pemegang kekuasaan di Gedung Putih. Gedung Putih membuat mereka yang tahu rencana pendiaman peledakan New York, dan berusaha menghentikannya, sebagai musuh dunia. Untuk mereka tertera cap teroris. Merekalah Hiro, Peter, dan Claire. Sementara, sang pemimpin dunia, sang pahlawan yang segera bangkit dari kesedihan, adalah Nathan, politikus berwajah tampan, yang sebenarnya adalah Sylar, sang pelahap manusia. Tidakkah ini sindiran untuk presiden Bush?
Sayang, tidak seperti di Heroes, kita tak punya Hiro, yang bisa kembali ke masa lalu, dan mengubah sejarah. Karena itu, kita hanya bisa menerima, setelah tagedi 11 September, betapa kebencian dan praduga adalah wajah dunia, wajah kehidupan kita kita. Ah, andai waktu bisa diputar-ulang....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 9 September 2007]