window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Monday, September 24, 2007

Silat Lidah Para Dayang

"Silat lidah" tampaknya sengaja ditayangkan untuk mendapatkan kecaman. Popularitas akan mengekor kemudian.



"Untuk jadi panelis, Anda tak perlu punya otak. Asal bisa ngomong dan seksi, Anda bisa tampil di sini. Karena yang jadi panelis di sini pun tidak ada yang punya otak, tapi seksi-seksi kan?" jelas Irwan Ardian untuk seorang penanya, yang disambut tawa dan cekikikan panelis di sampingnya.

Begitulah gaya Irwan Ardian "memandu" acara "Silat Lidah" di Anteve. Kosa kata yang dia gunakan tendensius, memojokkan, kasar, dan kadang, jorok. Para panelis acap dia lecehkan, apalagi para penanya. Dan anehnya, pelecehan itu selalu disambut cekikikan dan tawa. Pelecehan yang dinikmati. Padahal, di antara panelis yang Irwan sebut tidak punya otak itu terdapat Ratna Sarumpaet, aktivis dan aktor panggung hebat, juga Sandrina Malakiano, mantan presenter MetroTV, istri Eep Saefullah Fatah, intelektual muda yang namanya harum karena kecerdasannya. Mereka berdua larut dalam suasana, tergelak, menggelengkan kepala, dan mencibir jika Irwan memuji dirinya sendiri.

"Silat Lidah" tampaknya memang diniatkan sebagai acara yang hanya mempertontonkan tajamnya lidah, tanpa perlu "melibatkan" otak. Akibatnya, acara yang tayang Selasa dan Sabtu malam ini ramai luar biasa dengan celoteh, saling bantah, baku cela, seperti keriuhan tawar-menawar ibu-ibu di pasar ikan. Dan untuk melerai percecokan para panelis, Irwan terkadang harus meniupkan peluit. Dia memang menjadi wasit.


Bukan Solusi

Sebagai ajang silat lidah, acara ini memang menampung permasalahan yang dikirimkan para penonton. Tapi, jangan harap permasalahan itu akan dibahas dengan "benar" dan fokus, apalagi mendapatkan solusi. Yang terjadi, permasalahan itu kadang tidak dibahas, para panelis sibuk mengomongkan permasalahan mereka sendiri, dan kembali saling cela dan baku bantah. Irwan tersenyum-senyum menikmatinya.

Alia, penonton dari Batam, misalnya, mengeluh karena suaminya selalu mengajak makan di luar. Bagi dia hal itu sebagai pemborosan. Tapi apa tanggapan Irwan? "lebih baik suami makan di luar daripada dia muntah makan masakan Anda, iya kan?" Djenar Maesa Ayu, bahkan membicarakan dirinya sendiri. "Gue cere karena gak bisa masak. Jadi kalau suami mau makan di luar malah senang." Dan Ria Irawan memberi "solusi" yang luar biasa. "Kalau makan di luar itu harus didukung, daripada suami jajan di luar." Dan ramailah ketawa-ketiwi, bantahan, tak terkendali, sampai, "Prriittt...." Irwan meniup peluitnya.

Nasib sama juga dialami penanya yang menyebut dirinya "ibu berdada besar". Dia yang telah memperbesar dadanya, dan kemudian mendapatkan banyak perhatian dari lawan jenis, diminta suami agar kembali mengecilkan ukuran payudaranya. Beberapa panelis mengajurkan cerai sebagai solusi. Julia Peres, panelis yang menurut Irwan berdada besar, tapi dibatah Ria Irawan sebagai dada yang besar ganjelannya, dan dibalas Julia "yang penting enak!" justru marah-marah, seperti juga Aline. Ratna Sarumpaet lupa memberi saran, malah sibuk berkali-kali mengucapkan "tetek". Perdebatan soal operasi dada ini nyaris tak menghasilkan apa pun!

Mario bahkan bernasib lebih sial daripada Alia dan "si ibu berdada besar". Bertanya melalui e-mail, Mario bercerita kalau direktur istrinya menyukai pendamping hidupnya itu. Dan ketika datang ke rumah, Mario menghadiahinya bogem mentah. Anehnya, setelah peristiwa itu, istrinya malah dipromosikan, menjadi asisten direktur di perusahaan itu. Mario bingung menghadapi situasi itu. Apalagi, dengan posisi baru, gaji istrinya naik empat kali lipat.

"Tidak usah bingung Mario. Paksa aja dia untuk diam di rumah!" saran Irwan.

"Mario, Anda tampaknya punya bakat jadi mucikari," kecam Djenar Maesa Ayu, yang didukung Mellisa Karim, dan ditimpali cekikian Julia Perez, serta anggukan Irwan.

Ratna Sarumpaet kemudian bicara panjang lebar, tapi entah apa yang dia katakan, tidak fokus dan ngelantur. Ratna tampaknya menyadari juga betapa ngawurnya dia, sehingga, "Gak mutu banget gue ngejawabnya, hahaha...." Dan langsung disergap Ria Irawan, "Memang ada yang bermutu!"

Ya, omongan para panelis memang tidak ada yang bermutu, dan tampaknya memang sengaja diarahkan agar tidak bermutu. Pameran kebodohan itu bahkan dengan riang diumbar Putri Patricia, juga Kiki Amalia ketika menjadi panelis. Kiki Amalia tampaknya bukan saja tidak tahu apa yang dia bicarakan, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara berbicara yang benar, atau cara memotong percakapan. Dengan suara yang cempreng, ucapannya seperti igauan perempuan mabuk yang kecemplung ke dalam got! Dari sekian banyak panelis yang tampil, Kiki Amalia-lah di mata penonton yang paling memalukan membawakan dirinya. Kecaman pada Kiki ini, juga panelis lain, serta Irwan, bahkan ditayangkan dengan lengkap di situs acara itu.


Antinalar

"Silat Lidah" memang berusaha menampilkan tontotan yang ringan, segar, tidak membuat penonton mengernyitkan kening. Hal itu juga dapat dilihat dari sikap panelis yang terkadang tidak bisa menyembunyikan bahwa celotehannya, tindakannya untuk memotong lawan bicara, merupakan arahan dari sutradara yang berada di samping kameramen. Mata Ria Irawan dan atau Mellisa Karim acap melihat ke "pengatur acara" sebelum menimpali. Seolah ada komando bahwa dia harus memperamai dan memperkeruh situasi itu. Acara ini mengadopsi apa yang acap dikatakan Tukul Arwana untuk acara "Empat Mata" di Trans7, bahwa "Acara itu hanya untuk hiburan semata, tidak ada maksud melecehkan. Just for laught." Inilah niatan awalnya.

Namun, dalam setiap acara apa pun, selalu terjadi bias antara apa yang diniatkan dan apa yang termuatkan. Antara representasi dan figurasi, antara yang ingin dikatakan dan apa yang benar-benar terkatakan. Dan dalam "Silat Lidah" bias itu tercipta sangat lebar.

Sebagai acara yang ringan, ramai, dan juga lucu, dan tampaknya sengaja diperlawankan dengan "Republik Mimpi" di MetroTV, "Silat Lidah" justru jatuh menjadi acara yang secara sistematis mempertontonkan argumentasi antinalar. Dan televisi memang ladang yang subur untuk membiakkan ketidaknalaran karena dipupuk oleh sikap penonton yang juga mendukung ketidaknalaran itu. Bersedianya Ratna Sarumpaet, Sandrina Malakiano, juga Tamara Geraldine menjadi panelis menunjukkan betapa akal sehat dan pertimbangan logis lainnya luntur di depan kamera. Mereka seperti abai pada reprentasi dominasi patriarki pada acara itu. Ratna, juga Sandrina, tanpa sadar menjadi pengukuh stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih bernilai karena fisiknya daripada otaknya. Stigmatisasi ini bahkan secara kental dipolarisasi dengan cerdas oleh Irwan Ardian, satu-satunya lelaki yang menjadi penengah pertengkaran antarperempuan panelis. Bahasa tubuh Irwan, pertanyaan-pertanyaan cepat yang harus dijawab oleh panelis, secara kasat mata memposisikan perempuan sebagai subordinasi lelaki. Dominasi yang diamini dengan cekikikan, tawa senang, kerdikan bahu, cibiran gemes, dan celotehan lainnya.

Irwan misalnya, menyebut para panelis menjadi para dayang-dayang. Di sini saja, terjadi loncatan pengertian yang luar biasa antara "panelis" dan "dayang". Panelis berasosiasi dengan ruang diskusi, kecerdasan, dan demokratisasi. Sedang dayang, justru berasosiasi sebaliknya, ruang rumpian, ketakberpendidikan, dan kehadiran kekuasaan raja. Irwan adalah raja, dan dia dapat dan berkuasa untuk melecehkan para dayangnya.

Di televisi, tampaknya, perempuan memang harus hanya menjadi dayang-dayang, yang mengukuhkan kekuasaan para lelaki. Karena memang perempuan menginginkannya, menikmatinya, dengan riang dan tawa. "Silat Lidah" adalah contoh yang paling kasat mata.


[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Medeka, Minggu 23 September 2007]

( t.i.l.i.k ! )

     

Monday, September 10, 2007

Heroes dalam Tragedi September

Heroes adalah kritik yang pedas atas tragedi 11 September.


POLITIK tak pernah punya hati. Barangkali itulah pesan tersamar serial Heroes yang setiap petang tayang di TransTV. Serial yang sangat populer di Amerika --dan kemudian di seluruh negara yang menayangkannya-- ini menggambarkan intrik politik yang membuat hubungan batin kakak-adik, suami-istri, bahkan anak dan ibu, terberai. Semua terjadi karena perbedaan pandangan terhadap bencana yang akan terjadi.

Inti cerita Heroes adalah upaya untuk menyelamatkan New York dari kehancuran. Ada manusia-bom yang akan meledak di New York. Sosok manusia-bom itu tercetak dalam lukisan Isaac (Santiago Cabrera), sang penggambar masa depan. Tak jelas siapa manusia-bom itu, karena ada tiga orang yang punya kekuatan itu, Sylar (Zachary Quinto), Ted (Matthew John Amstrong), dan Peter (Milo Ventimiglia). Namun Hiro (Masi Oka), sang penjelajah waktu, yang datang dari masa depan, menjumpai Peter dan berpesan untuk menyelamatkan seorang pemandu sorak, "save cheerleader, save the word."

Cheerleader itu adalah Claire (Hayden Panettiere), yang tidak bisa terluka. Hanya dia yang dapat membuat manusia-bom tak jadi meledak di New York. Peter pun menyelamatkan Claire dari pemangsa manusia-istimewa, Sylar. Sebuah tindakan yang membuat kakaknya, Nathan (Adrian Pasdar), calon senator, menjadi sangat emosional. Sebabnya, dalam lukisan Isaac, penyelamatan itu akan membuat Peter kehilangan jiwa. Satu yang tidak Nathan duga, kemampuan Peter yang seperti spon, menyerap kekuatan setiap orang, membuatnya juga tak dapat terluka ketika berada di dekat Claire.

Heroes memang serial yang padat, penuh intrik, dan ketakterdugaan. Setiap tokoh diceritakan dalam frame berbeda, yang kemudian lebur di dalam satu frame besar, semuanya terhubung. Siapa duga, ternyata Claire adalah anak Nathan, yang berarti keponakan Peter. Dan siapa sangka, aktor utama yang ingin New York tetap meledak adalah Linderman (Malcolm McDowel), yang sangat didukung oleh Angela (Cristine Rose), ibu Nathan dan Peter, nenek Claire. Heroes juga piawai menata konflik tiap tokoh dalam frame kecil yang seakan tak terhubung, lalu perlahan frame masing-masing tokoh lebur, dalam frame utama. Penonton dibuai dalam satu kejutan ke kejutan lain, cerita yang nyaris tak terduga, dalam skenario Tim Kring yang nyaris tanpa cacat logika.


Lorong Gelap

Mengapa Linderman dan Angela ingin New York tetap hancur? Jawabnya secara tegas dinyatakan Linderman pada Nathan, "Hanya dengan kesedihan itu engkau bisa menggerakkan dunia." Nathan, dalam lukisan Isaac, kelak akan berada di Gedung Putih, menjadi Presiden. Dan kehancuran New York-lah yang bisa membuat ramalan itu terjadi. Apalagi, kehancuran itu terjadi satu hari setelah Nathan menang dalam pemilihan anggota Konggres. kemenangan yang telah dijamin Linderman, karena dia memiliki Micah (Noah Gray-Cabay), yang dapat mengubah kartu suara.

"Kita akan berada dalam dunia kemarahan dan kesedihan yang sama. Dengan itu kita bisa mengarahkan dunia untuk mendukung cita-cita kita," jelas Linderman, sembari menunjuk lukisan Nathan di Gedung Putih. Namun Nathan tetap ragu. Apalagi Peter selalu meyakinkan bahwa terlalu banyak orang tidak berdosa yang akan jadi korban. "Kita punya kekuatan untuk menghentikan itu." Namun Nathan tak goyah, terutama setelah Angela meyakinkannya, dengan memberi contoh pada tindakan Presiden Truman yang meledakkan Hiroshima dan Nagasaki untuk mengakhiri PD II. "Itu keputusan yang penting! Mereka akan berterimakasih atas keteguhan, keuletan, dan keyakinanmu. Kau bisa percaya itu? Bisa menjadi orang yang kami butuhkan?" desaknya.

Hiro bersama Ando (James Kyson Lee), yang pernah ke masa depan ketika New York telah hancur, tahu hanya dengan membunuh Sylar bencana itu dapat dielakkan. Namun, kekuatannya belum dapat dia kuasai. Dan ketika bertemu Sylar, dia pun tak punya keberanian untuk membunuh. Ando putus asa. "Ini jalan gelap," bisiknya, lelah. Tapi Hiro tetap yakin. "Seorang pahlawan harus lalui lorong gelap sebelum sampai ke jalan terang," ucapnya. Dan dia lari ketika kalah bertarung dengan Sylar.

Seperti Ando, Claire pun tak yakin dirinya dan Peter bisa menghentikan bencana itu. "Kita masih bisa pergi dari bencana ini," teriaknya. Claire takut. Ia bahkan menangis. Namun Peter tetap yakin dengan pesan Hiro, save cheerleader, save the word. "Jika kita selalu selamatkan diri sendiri, lalu siapa yang akan selamatkan orang lain, Claire?"


Pelahap Manusia

Berhasilkah Hiro dan Peter menyelamatkan New York? Heroes musim pertama ini tak memberi jawaban yang pasti. Musim kedua baru akan tayang akhir September ini, itu pun di Amerika. Namun, lewat jelajahan waktu 5 tahun ke depan yang dilakukan Hiro, penonton diberi gambaran ketika New York hancur, ketika Hiro, Peter, dan Claire gagal. Nathan memang jadi Presiden. Dia jadi sosok pemimpin dunia, yang selalu bersandar pada bencana New York, atas nama sang korban, menunjuk dan menentukan pihal mana yang salah dan pantas dieksekusi. Dibantu Matt Parkman (Greg Grunberg), si pembaca pikiran, yang telah menjadi kepala keamanan nasional, dan tugasnya adalah memenjarakan manusia-istimewa yang memiliki kekuatan, mereka memburu para teroris yang membuat New York meledak. Dan siapakah teroris itu? Ya, Hiro, Peter, Niki, dan Claire. Dan Nathan, sang Presiden itu, tak lain adalah Sylar, tokoh jahat yang sudah menguasai kemampuan malih-rupa. Tak terduga bukan?

Dari masa depan yang dijumpai Hiro inilah dapat kita baca, Heroes adalah kritik yang tajam atas peristiwa 11 September. Heroes seakan menegaskan bahwa peledakan 11 September bukanlah sebuah rencana yang tak terbaca Amerika. Para politikus justru sengaja membiarkan peledakan itu terjadi agar bisa memimpin dunia untuk bertindak atas nama kesedihan, luka, dan korban. Hanya dengan membiarkan WTC hancur, Amerika mendapat kekuasaan dunia untuk menunjuk pihak mana yang bersalah, dan layak dihancurkan. Hanya atas nama korban, Amerika dapat menjadi polisi dunia, menghukum siapa saja, hanya dengan praduga.

Heroes menunjukkan dengan pedih bahwa kehancuran utama setelah meledaknya New York adalah hilangnya nilai kemanusiaan, rasa percaya, dan cinta keluarga. Yang tercipta adalah benci dan pembalasan dendam, yang semuanya merupakan ilusi ciptakan para pemegang kekuasaan di Gedung Putih. Gedung Putih membuat mereka yang tahu rencana pendiaman peledakan New York, dan berusaha menghentikannya, sebagai musuh dunia. Untuk mereka tertera cap teroris. Merekalah Hiro, Peter, dan Claire. Sementara, sang pemimpin dunia, sang pahlawan yang segera bangkit dari kesedihan, adalah Nathan, politikus berwajah tampan, yang sebenarnya adalah Sylar, sang pelahap manusia. Tidakkah ini sindiran untuk presiden Bush?

Sayang, tidak seperti di Heroes, kita tak punya Hiro, yang bisa kembali ke masa lalu, dan mengubah sejarah. Karena itu, kita hanya bisa menerima, setelah tagedi 11 September, betapa kebencian dan praduga adalah wajah dunia, wajah kehidupan kita kita. Ah, andai waktu bisa diputar-ulang....


[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 9 September 2007]

( t.i.l.i.k ! )

     

Monday, September 03, 2007

Gogon dan Cobaan Nonteologis

Diri yang berbuat ulah, setan dan cobaan yang acap mendapat salah.



"INI cobaan untuk saya. Barangkali dengan begini saya jadi tahu telah salah bergaul dan berada di lingkungan yang tidak tepat sehingga saya terjerumus menggunakan narkoba, ketagihan dan tergantung untuk membeli lagi." kata Gogon pelan.

Di layar "Buletin Malam" RCTI (22/1) itu, tangannya berkali-kali menjangkau tisu dan melap airmatanya yang terus jatuh. Parasnya sudah dilupakan cahaya, pucat. Setiap menjawab pertanyaan wartawan, matanya yang basah tak pernah berubah arah, lurus menatap ke depan. Ia selalu menjawab dengan pelan, seperti bisik, sesal untuk dirinya sendiri.

Gogon berurusan dengan polisi karena pertengkaran asmara. Ketika polisi bermaksud melerai, teman tidurnya, Tri, justru membuka rahasia, bahwa Gogon pecandu berat. Polisi memeriksa rumahnya, ditemukan bukti. Dan setelah 13 jam diperiksa, Gogon tak bisa berkelit lagi.

"Makanya, kalau punya pacar jangan yang ember..." komentar Uli Herdinansyah, presenter "Insert" TransTV, ketika menayangkan peristiwa itu. "Ember" adalah bahasa gaul untuk menjelaskan seseorang yang bocor-mulut, tak bisa menjaga rahasia.

Tertangkapnya Gogon memicu banyak komentar. Maklum, sebelum dia, telah banyak artis yang tersandung kasus semacam itu. Dari grup "Srimulat" saja, Gogon adalah orang ketiga, setelah Polo dan Doyok. Namun, bagi saya, yang paling menarik dari kasus ini adalah penyikapan Gogon. Dia menganggap ketertangkapan itu sebagai cobaan.

Penyikapan semacam itu bukan milik Gogon seorang. Banyak sekali artis yang jika tertimpa sebuah masalah, langsung mengatakan hal itu sebagai cobaan. Yoyo, Drumer Padi yang rumah tangganya dengan Rossa tengah bermasalah karena kehadiran orang ketiga, pun menganggap hal itu sebagai sebuah cobaan. "Keluarga saya memang tengah mendapat cobaan, terutama saya. Ini cobaan yang berat. Tapi, bagaimanapun kami coba untuk melewati ini, terutama saya, lebih introspeksi diri," ucapnya dalam "Insert" (18/7).

"Itu cobaan apa godaan ya?" tanya Ersa Mayori, presenter "Insert" kepada rekannya, Uli Herdinansyah, yang cuma mengerdikkan bahu. "Ya pasti dapat cobaan kalau dia berani coba-coba," tambah Ersa.

Revaldo juga menganggap kasusnya sebagai cobaan. Ratu Fellisa yang memukul Andika dan berurusan dengan polisi juga menganggap kasus itu sebagai cobaan dalam hidupnya. Perceraian Ulfa, Gusti Randa, dan Titi DJ, di mata mereka juga cobaan. Bahkan, anak Mulyana W Kusuma pun menganggap apa yang terjadi dengan ayahnya sebagai cobaan untuk keluarganya.
Apakah mereka semua tengah dicoba? lalu, siapa yang mencoba?


Memaknai Cobaan

Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan kata cobaan sebagai sesuatu yang dipakai untuk menguji (ketabahan, iman, dlsb) dengan contoh kalimat "Tabahlah apabila menerima cobaan dari Tuhan". Maksud kamus itu jelas, cobaan adalah "sesuatu" yang datang dari luar diri kita, dan merupakan urusan yang memberi hidup, Tuhan. Cobaan dengan demikian adalah sesuatu yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan. Pengertian di atas seakan mengacu pada al-Quran surat al-Baqarah (2:155-156), "Sesunggunhnya akan Kami (Allah SWT.) berikan cobaan kepada kalian semua dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yakni) Orang-orang yang ketika tertimpa oleh musibah maka akan berkata: "Sesungguhnya semua milik Allah dan akan kembali kepada-Nya". Dari situ dapat kita lihat bahwa kata "cobaan" di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telah diberi arti teologis.

Pemberian arti teologis semacam itu menjadikan "cobaan" diterima sebagai sebuah keharusan, ujian untuk meraih peringkat keimanan yang lebih tinggi. Dan ini diperkuat lagi dengan al-Quran (2:214) "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu."

Nah, makna teologis semacam itulah yang selama ini hidup di benak kita. Uniknya, makna teologis itu justru acap dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya bermuatan non-teologis. Kata cobaan digunakan secara "politis" untuk membebaskan manusia dari tanggungjawab atas ulahnya, dan hanya menjadikan Tuhan sebagai primacausa, sebab utama. Ingat kasus Yahya Zaini-Maria Eva? Keduanya pun memakai kata "cobaan" untuk masalah mereka.

Saya kira, cobaan adalah hanya "sesuatu" yang datang dari luar diri kita, dan di luar kemampuan kita untuk menghindarinya. Atau sesuatu yang tidak juga kita peroleh ketika seluruh usaha dan doa telah kita upayakan untuk meraihnya. Gempa, tsunami, kekeringan, atau kematian dan ketiadaan keturunan, adalah sedikit contoh dari cobaan tersebut. Dengan demikian, cobaan selalu bermakna teologis. Sementara jika kita merokok dan tangan tersulut api, atau memotong roti dan jari teriris pisau, ini bukan "cobaan". Lebih mudahnya, cobaan adalah sesuatu yang tidak tersangkut dengan hubungan kausalitas, sebab-akibat. Sedangkan sesuatu yang pasti bisa dilihat dalam kaitan sebab-akibat bukan termasuk dalam kategori cobaan. Mungkin dapat disebut sebagai ujian, masalah, problem, godaan, atau kata lainnya. Dari situlah bisa kita lihat, cobaan yang dimaksud Gogon bukanlah cobaan.

Jadi, kalimat Gogon, "Ini cobaan bagi saya. Barangkali dengan begini..." adalah ucapan yang salah berdasarkan hadirnya kausalitas dari masalah yang dia hadapi. Demikian juga ucapan Yoyo sebagaimana yang tercantum di atas. Intinya, tertangkapnya Gogon, perselingkuhan Yoyo, bukanlah cobaan karena selain ada hubungan sebab-akibat, Tuhan juga bukan prima-causa dalam masalah mereka. Mengiyakan apa yang mereka hadapi sebagai cobaan, seperti yang diakukan Gogon, Yoyo, Ratu Fellisa, berarti melepaskan diri mereka sebagai penanggungjawab utama. Seakan-akan, selingkuh dan nyabu itu adalah sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang harus mereka terima, sesuatu yang menjadi bagian dari garis nasib mereka.

Polo, tampaknya menyadari apa yang terjadi dengan Gogon bukanlah sebuah cobaan. "Seperti saya bilang, itu pilihan. Dan pilihan itu harus dibayar," katanya, seperti tayang di "Insert" (23/8). Doyok pun marah karena Gogon menyalahkan lingkungan dan teman intimnya, dan bukan dirinya sendiri. "Untuk Gogon, jangan salahkan orang lain, jangan salahkan lingkungan. Salahkanlah dirimu sendiri! Bersyukulah karena polisi telah menyelamatkan hidupmu!"

Polo dan Doyok sudah pernah masuk penjara karena kasus yang sama. Mereka tampaknya sudah tahu, masuk penjara bukanlah cobaan, tapi akibat dari kegagalan mereka menghadapi godaan atau ujian kepopuleran.

Maka, seharusnya, dalam jumpa pers itu Gogon berkata, "Ini adalah akibat kegagalan saya melewati godaan narkoba dan wanita. Tak ada yang dapat saya salahkan, kecuali diri saya sendiri." Sayang, Gogon --seperti juga aktris, politikus, dan para pejabat-- sering memaknai akibat dari ulah diri sendiri sebagai cobaan. Dan karena itulah, masalah narkoba, kekerasan, dan korupsi serta kejahatan birokrasi tidak pernah dapat diselesaikan di negeri. Karena ketika problem itu "cuma" didefenisikan sebagai cobaan, mereka pun yakin, hal itu harus terjadi dan hanya kuasa Tuhan yang dapat menghentikannya. Sayang sekali.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 2 September 2007]

( t.i.l.i.k ! )