window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Monday, September 24, 2007

Silat Lidah Para Dayang

"Silat lidah" tampaknya sengaja ditayangkan untuk mendapatkan kecaman. Popularitas akan mengekor kemudian.



"Untuk jadi panelis, Anda tak perlu punya otak. Asal bisa ngomong dan seksi, Anda bisa tampil di sini. Karena yang jadi panelis di sini pun tidak ada yang punya otak, tapi seksi-seksi kan?" jelas Irwan Ardian untuk seorang penanya, yang disambut tawa dan cekikikan panelis di sampingnya.

Begitulah gaya Irwan Ardian "memandu" acara "Silat Lidah" di Anteve. Kosa kata yang dia gunakan tendensius, memojokkan, kasar, dan kadang, jorok. Para panelis acap dia lecehkan, apalagi para penanya. Dan anehnya, pelecehan itu selalu disambut cekikikan dan tawa. Pelecehan yang dinikmati. Padahal, di antara panelis yang Irwan sebut tidak punya otak itu terdapat Ratna Sarumpaet, aktivis dan aktor panggung hebat, juga Sandrina Malakiano, mantan presenter MetroTV, istri Eep Saefullah Fatah, intelektual muda yang namanya harum karena kecerdasannya. Mereka berdua larut dalam suasana, tergelak, menggelengkan kepala, dan mencibir jika Irwan memuji dirinya sendiri.

"Silat Lidah" tampaknya memang diniatkan sebagai acara yang hanya mempertontonkan tajamnya lidah, tanpa perlu "melibatkan" otak. Akibatnya, acara yang tayang Selasa dan Sabtu malam ini ramai luar biasa dengan celoteh, saling bantah, baku cela, seperti keriuhan tawar-menawar ibu-ibu di pasar ikan. Dan untuk melerai percecokan para panelis, Irwan terkadang harus meniupkan peluit. Dia memang menjadi wasit.


Bukan Solusi

Sebagai ajang silat lidah, acara ini memang menampung permasalahan yang dikirimkan para penonton. Tapi, jangan harap permasalahan itu akan dibahas dengan "benar" dan fokus, apalagi mendapatkan solusi. Yang terjadi, permasalahan itu kadang tidak dibahas, para panelis sibuk mengomongkan permasalahan mereka sendiri, dan kembali saling cela dan baku bantah. Irwan tersenyum-senyum menikmatinya.

Alia, penonton dari Batam, misalnya, mengeluh karena suaminya selalu mengajak makan di luar. Bagi dia hal itu sebagai pemborosan. Tapi apa tanggapan Irwan? "lebih baik suami makan di luar daripada dia muntah makan masakan Anda, iya kan?" Djenar Maesa Ayu, bahkan membicarakan dirinya sendiri. "Gue cere karena gak bisa masak. Jadi kalau suami mau makan di luar malah senang." Dan Ria Irawan memberi "solusi" yang luar biasa. "Kalau makan di luar itu harus didukung, daripada suami jajan di luar." Dan ramailah ketawa-ketiwi, bantahan, tak terkendali, sampai, "Prriittt...." Irwan meniup peluitnya.

Nasib sama juga dialami penanya yang menyebut dirinya "ibu berdada besar". Dia yang telah memperbesar dadanya, dan kemudian mendapatkan banyak perhatian dari lawan jenis, diminta suami agar kembali mengecilkan ukuran payudaranya. Beberapa panelis mengajurkan cerai sebagai solusi. Julia Peres, panelis yang menurut Irwan berdada besar, tapi dibatah Ria Irawan sebagai dada yang besar ganjelannya, dan dibalas Julia "yang penting enak!" justru marah-marah, seperti juga Aline. Ratna Sarumpaet lupa memberi saran, malah sibuk berkali-kali mengucapkan "tetek". Perdebatan soal operasi dada ini nyaris tak menghasilkan apa pun!

Mario bahkan bernasib lebih sial daripada Alia dan "si ibu berdada besar". Bertanya melalui e-mail, Mario bercerita kalau direktur istrinya menyukai pendamping hidupnya itu. Dan ketika datang ke rumah, Mario menghadiahinya bogem mentah. Anehnya, setelah peristiwa itu, istrinya malah dipromosikan, menjadi asisten direktur di perusahaan itu. Mario bingung menghadapi situasi itu. Apalagi, dengan posisi baru, gaji istrinya naik empat kali lipat.

"Tidak usah bingung Mario. Paksa aja dia untuk diam di rumah!" saran Irwan.

"Mario, Anda tampaknya punya bakat jadi mucikari," kecam Djenar Maesa Ayu, yang didukung Mellisa Karim, dan ditimpali cekikian Julia Perez, serta anggukan Irwan.

Ratna Sarumpaet kemudian bicara panjang lebar, tapi entah apa yang dia katakan, tidak fokus dan ngelantur. Ratna tampaknya menyadari juga betapa ngawurnya dia, sehingga, "Gak mutu banget gue ngejawabnya, hahaha...." Dan langsung disergap Ria Irawan, "Memang ada yang bermutu!"

Ya, omongan para panelis memang tidak ada yang bermutu, dan tampaknya memang sengaja diarahkan agar tidak bermutu. Pameran kebodohan itu bahkan dengan riang diumbar Putri Patricia, juga Kiki Amalia ketika menjadi panelis. Kiki Amalia tampaknya bukan saja tidak tahu apa yang dia bicarakan, dia bahkan tidak tahu bagaimana cara berbicara yang benar, atau cara memotong percakapan. Dengan suara yang cempreng, ucapannya seperti igauan perempuan mabuk yang kecemplung ke dalam got! Dari sekian banyak panelis yang tampil, Kiki Amalia-lah di mata penonton yang paling memalukan membawakan dirinya. Kecaman pada Kiki ini, juga panelis lain, serta Irwan, bahkan ditayangkan dengan lengkap di situs acara itu.


Antinalar

"Silat Lidah" memang berusaha menampilkan tontotan yang ringan, segar, tidak membuat penonton mengernyitkan kening. Hal itu juga dapat dilihat dari sikap panelis yang terkadang tidak bisa menyembunyikan bahwa celotehannya, tindakannya untuk memotong lawan bicara, merupakan arahan dari sutradara yang berada di samping kameramen. Mata Ria Irawan dan atau Mellisa Karim acap melihat ke "pengatur acara" sebelum menimpali. Seolah ada komando bahwa dia harus memperamai dan memperkeruh situasi itu. Acara ini mengadopsi apa yang acap dikatakan Tukul Arwana untuk acara "Empat Mata" di Trans7, bahwa "Acara itu hanya untuk hiburan semata, tidak ada maksud melecehkan. Just for laught." Inilah niatan awalnya.

Namun, dalam setiap acara apa pun, selalu terjadi bias antara apa yang diniatkan dan apa yang termuatkan. Antara representasi dan figurasi, antara yang ingin dikatakan dan apa yang benar-benar terkatakan. Dan dalam "Silat Lidah" bias itu tercipta sangat lebar.

Sebagai acara yang ringan, ramai, dan juga lucu, dan tampaknya sengaja diperlawankan dengan "Republik Mimpi" di MetroTV, "Silat Lidah" justru jatuh menjadi acara yang secara sistematis mempertontonkan argumentasi antinalar. Dan televisi memang ladang yang subur untuk membiakkan ketidaknalaran karena dipupuk oleh sikap penonton yang juga mendukung ketidaknalaran itu. Bersedianya Ratna Sarumpaet, Sandrina Malakiano, juga Tamara Geraldine menjadi panelis menunjukkan betapa akal sehat dan pertimbangan logis lainnya luntur di depan kamera. Mereka seperti abai pada reprentasi dominasi patriarki pada acara itu. Ratna, juga Sandrina, tanpa sadar menjadi pengukuh stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lebih bernilai karena fisiknya daripada otaknya. Stigmatisasi ini bahkan secara kental dipolarisasi dengan cerdas oleh Irwan Ardian, satu-satunya lelaki yang menjadi penengah pertengkaran antarperempuan panelis. Bahasa tubuh Irwan, pertanyaan-pertanyaan cepat yang harus dijawab oleh panelis, secara kasat mata memposisikan perempuan sebagai subordinasi lelaki. Dominasi yang diamini dengan cekikikan, tawa senang, kerdikan bahu, cibiran gemes, dan celotehan lainnya.

Irwan misalnya, menyebut para panelis menjadi para dayang-dayang. Di sini saja, terjadi loncatan pengertian yang luar biasa antara "panelis" dan "dayang". Panelis berasosiasi dengan ruang diskusi, kecerdasan, dan demokratisasi. Sedang dayang, justru berasosiasi sebaliknya, ruang rumpian, ketakberpendidikan, dan kehadiran kekuasaan raja. Irwan adalah raja, dan dia dapat dan berkuasa untuk melecehkan para dayangnya.

Di televisi, tampaknya, perempuan memang harus hanya menjadi dayang-dayang, yang mengukuhkan kekuasaan para lelaki. Karena memang perempuan menginginkannya, menikmatinya, dengan riang dan tawa. "Silat Lidah" adalah contoh yang paling kasat mata.


[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Medeka, Minggu 23 September 2007]