window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, May 22, 2008

Bola dan Pengkhianatan Narator

Selalu ada kenikmatan yang hilang ketika pertandingan bola tayang


"Yah, apa yang terjadi Pemirsa? Tampaknya benturan antara Messi dan Flecher. Cukup keras!" jelas Tris Irawan, dalam siaran langsung pertandingan semifinal Liga Champions antara MU dan Barcelona, di RCTI, Rabu dini hari (30/4). Tapi anehnya, seperti tayang di teve, yang terkapar justru Evra.

Bahkan, setelah reply pun, Tris masih menyebut juga nama Flecher. Dia menyadari kesalahan nama itu beberapa saat kemudian, setelah Evra ditandu keluar lapangan. Aneh. Hal yang sama juga dilakukan Ricky Jo, ketika menaratori pertandingan MU dan AS Roma di perempat final. Teves membuat gol lewat sundulan hasil umpan silang Owen Hargreaves. Tapi Ricky Jo justru berkali-kali menyebut nama Park Ji-sung, bahkan setelah dua kali reply. "Oh, ternyata Hargreaves, pemirsa..." ralatnya. Penonton pasti gemas sekali dengan narator yang tak akurat ini.

Tampaknya, memang begitulah "kualitas" narator pertandingan bola di televisi. Heboh, pasti. Lucu, tentu. Akurat, nanti dulu. Tris Irawan atau Ricky Jo yang biasa menaratori Liga Champions, acap salah menyebut nama pemain. Bahkan, kadang mereka tidak menyadari kesalahan itu, dan membiarkan saja sampai pertandingan selesai. Barangkali, tempo permainan yang cepat dan posisi pemain yang terus berubah-bergerak, membuat mereka sulit mengindentifikasikan nama. Tak heran, pemain A mengoper bola ke pemain B, disebut narator sebagai pemain C. Dan ketika pemain B ini mengumpan bola lagi, narator tak sempat meralat salah sebut itu. Kelalaian pun berlalu.

ketakakuratan itu tentu sangat mengganggu, terutama untuk penonton yang bahkan hanya dengan melihat gestur tubuh, sudah tahu siapa nama pemain itu. Ronaldo atau Rooney, Owen atau Ji-sung, memiliki gestur yang khas, dan sulit membuat mata melakukan kesalahan identifikasi. Demikian juga Messi atau Deco, adalah mustahil mempertukarkan nama mereka. Namun, sepanjang siaran langsung Liga Champions, kesalahan ini acap terjadi. Barangkali, tayangan jauh tengah malam itu membuat narator acap kehilangan konsentrasi.

Namun, ketakakuratan itu bukan masalah sebenarnya, jika tidak diucapkan dengan kehebohan. Ricky Jo misalnya, terlalu "nyinyir" jika menaratori pertandingan. Tak cuma menceritakan jalannya pertandingan, dia juga acap menilai skill bahkan ekspresi pemain. Situasi ketika MU mendapat hadiah penalti ketika melawan Barcelona di partai pertama, misalnya. Ricky terus saja berkata-kata, menceritakan Ronaldo, dari posisi akan mengambil tendangan, keuntungan yang didapatkan MU, sampai jumlah gol yang akan dibuat Ronaldo, juga kesalahan yang tak perlu dilakukan Barcelona. Komentarnya "berkejaran" dengan waktu jeda penalti. Dan Ronaldo gagal mengeksekusi penalti itu.

"Itu gara-gara Ricky Jo. Berisik!!" SMS Nora Umber, novelis, menilai kegagalan penalti itu. Hahaha...
Barangkali tak hanya Nora Umres, sebagian besar penonton, terutama pecinta MU, terganggu dengan narasi yang tak perlu itu. Apakah Ronaldo gagal karena keberisikan Ricky Jo? Cuma tiga yang tahu, Tuhan, Ronaldo, dan Umres sendiri.


Sejarah Tim

Barangkali penonton masih dapat memaafkan ketakakuratan dan keberisikan itu. Maklum, tontotan gratis. Namun, ada lagi ucapan narator, dan juga diikuti komentator, yang barangkali sulit untuk diterima penonton: sikap memihak. Ketika MU melawat ke Roma, misalnya, ketakhadiran Totti menjadi percakapan utama, bahkan ketika pertandingan berjalan. Ucapan, "Seandainya ada Totti..." atau "Jika saja tendangan itu dilesakkan Totti", bahkan "Biasanya Totti yang berada di posisi itu.." bergulir terus.

Pengulangan narasi demikian selain mengganggu juga amat sangat merendahkan kualitas pemain non-Totti, dan Roma sebagai tim. Lucunya, ketika pertemuan kedua, dan Ferguson tidak memainkan Ronaldo, sikap itu dinilai sebagai "unjuk digdaya" MU atas Roma. Narator pun merajut kata-kata yang intinya berharap MU tumbang, dan ada wakil dari liga lain agar Champions tidak dikuasai Inggris.

Keberpihakan paling kentara ketika MU bertemu Barcelona. Tris Irawan amat menjagokan Barcelona, dan memberikan pujian berkali-kali untuk Messi, sekaligus membandingkannya dengan Ronaldo. Pemihakan Tris itu bahkan dia tularkan pada koemntator Titis Widyamoko. Ketika MU unggul 1-0 berkat gol Paul Scholes, Tris segera berkomentar, "Ini sejarah Bung. Sejarah bagi Scholes." Artinya, skor itu dinilai hanya "sejarah" bagi seorang pemain. Memang, dalam pertandingan itu, Scholes memainkan partai ke-100 untuk liga Eropa. Selain itu, dalam debutnya di Champions 1994, Scoles juga membuat gol ke gawang Barcelona. Namun, apa pun, skor 1-0 itu sudah membuat Tris panik. "Jadi, mungkin ini akan jadi kemenangan pertama ya, Bung?" tanyanya pada Titis.

Tris, seperti juga Ricky Jo, memang lebih mendukung klub dari Liga Spanyol dibandingkan tim lain. Bahkan partai Liga Champions lebih banyak menayangkan pertandingan tim yang diikuti klub Spanyol. Sebabnya dapat dipahami, RCTI memang hanya menyiarkan Liga Spanyol. Komentator dan narator lebih akrab dengan nama-nama dan skill pemain, juga strategi dari liga itu. Memihak klub non-Spanyol artinya sama dengan "mengiklankan" liga lain yang tayang di teve lain. Jadi, pemihakan narator dan komentator dapat dibaca sebagai sikap yang dipilihkan RCTI. Jadi, agak wajar juga Ricky Jo "memberisiki" Ronaldo yang tengah mengambil tendangan penalti. Hihihi....


Menghianati Kamera

Fungsi narator pertandingan adalah menjembatani penonton dan peristiwa di layar kaca. Namun, dalam pertandingan bola, terutama setegang dan selevel Liga Champions, narator justru lebih terasa menjedai keterlibatan penonton dengan tayangan. Narator mengalienasikan penonton dari aura, suasana, ketegangan seperti yang tampak di lapangan. Dalam bahasa yang lebih tegas: narator mengkhianati kamera!

Misalnya suasana ketika Ronaldo akan mengeksekusi tendangan penalti ke gawang Barcelona. Di televisi, gambar berpindah-pindah. Tampak Ronaldo memegang bola, memandang gawang lawan, dan sembari membuang napas --yang ditampilkan secara close-up-- dia letakkan bola di titik putih. Ronaldo melangkah mundur.... Kamera berpindah ke gawang Barcelona, wajah Valdes yang tegang tampak jelas, dan matanya yang mencoba membaca ke mana kira-kira tendangan itu diarahkan. Kamera juga berpindah ke base, Rijkard yang berteriak, Ferguson yang cuma bisa diam, menunggu-tegang. Kamera kemudian menjauh, menampakkan keseluruhan penonton yang seperti senyap, para pemain yang bergerak memberi ruang tembak, dan tibalah saat itu: Ronaldo bergerak, menembak...

Waktu antara Ronaldo meletakkan bola dan menendang barangkali cuma beberapa detik. Tapi kamera dengan perpindahannya, juga permainan antara "tatapan" dekat dan jauh, berhasil membuat waktu yang singkat itu jadi demikian panjang, begitu tegang. Penonton seperti terbawa pada kecemasan yang sama ketika dengan jelas melihat keringat Ronaldo yang bergulir dari keningnya, dan dia abaikan. Waktu yang pendek itu terasa mengulur, yang kalau tak salah, pernah disebut Eric Sasono sebagai extended time. Dan ketika Ronaldo menendang, penonton seperti menunggu bom yang tengah meledak!

Tapi Ricky Jo merusaknya!

Bangunan narasi yang "diceritakan" kamera tadi, runtuh oleh narator. Kekuatan gambar, kedahsyatan kamera, rusak oleh kata-kata. Ricky Jo membuat apa yang sudah dikatakan kamera menjadi sesuatu yang sia-sia.

Reply dalam slow motion sesudah tayangan itu pun tak lagi dapat mengembalikan penonton kepada suasana. Penonton tak lagi punya ruang untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi karena narator memosisikan diri sebagai yang maha tahu. Narator menganggap penonton buta!

Untunglah, ketika menonton bola saya selalu menutup telinga, dan menikmati kekuatan kamera yang tak dikhianati kata-kata. Merasakan diri terlibat, lebur, seperti rasa yang terbina di Old Trafford sana.


[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 18 Mei 2008]

( t.i.l.i.k ! )

     

Monday, May 12, 2008

Tawa untuk Logika Janda

Susah sungguh bergelar janda, jadi rebutan dan caci-maki para tetangga


"Takut... takut... takut... Sama istri sendiri kok malah takuuuutttt.... Ciut.. ciut... ciut... Sama istri sendiri nyalinya ciuuuuuttttt...." Anda pasti akrab dengan potongan lagu di atas. Ya, itulah lagu yang menjadi pembuka tayangan sitkom "Suami-suami Takut Istri" setiap sore di TransTV. Dari lagu tersebut sudah jelas arah cerita komedi itu, tentang suami yang tak berdaya di depan istri.

Sitkom yang diproduseri Anjasmara dan disutradarai Sofyan de Surza itu memang populer. Selain cukup bagus dari sisi cerita, kekuatan karakter tokoh menjadi daya tarik utama, terutama karena bumbu kontradiksi di dalamnya. Tigor (Yanda Djaitov) yang berbadan binaraga misalnya, justru takluk sama istrinya, Welas (Asri Pramawati), yang lembut dan kurus. Lucu, apalagi jika mengaitkan kesukuan mereka, Tigor yang Batak dan Welas yang Jawa. Atau keluarga satu suku, Faisal (Ramdan Setia) dan Deswita (Melvy Noviza). Matrenalisme suku Padang diwujudkan secara ekstrim dalam ketaklukan suami dalam hal apa pun. Sesuatu yang hiperbolis, sebenarnya. Tapi, tanpa yang hiperbolis, komedi tentu akan kehilangan suara.

Konflik dalam sitkom ini tergolong biasa, khas permasalahan rumah tangga. Namun karena faktor ketertundukan suami, penyelesaian konflik tadi acap mengundang tawa. Apalagi, dikontraskan dengan kehadiran Dadang (Epy Kusnandar), satpam yang beristri tiga, dan satu-satunya lelaki yang tak takluk pada istrinya. Tak heran kalau akhirnya terjadi "ikatan" persamaan nasib di antara para suami itu. Pak RT (Otis Pamutih), Faisal, Tigor, dan Karyo (Irvan Penyok), jadi terbiasa ngudarasa, curhat, atau berbagi taktik mengelabui istri, meski selalu gagal. Namun, selain karena takut pada istri, ikatan sesama suami ini juga terjalin karena alasan yang sama, ketertarikan pada seorang janda. Pretty (Desy Novitasari) namanya. Bahkan, konflik akibat kejandaan Pretty nyaris menjadi menu utama sitkom ini.


Janda Omnivora

Pretty memang cantik. Kakinya panjang, dengan dada yang padat, dan acap berbusana terbuka, menantang. Bibirnya tipis, dan kalau bicara, mendesis-desis. Matanya pun bagus, terutama kalau berkedip-kedip ketika bicara. Kehadirannya menjadi magnit di komplek itu, bukan saja membuat para suami jadi punya kesamaan idola, melainkan juga menjadikan para istri punya musuh bersama. Pretty yang cantik, dan terutama janda, membuat para istri memandang dalam syak-wasangka. Karena tampaknya, sebagai kompensasi ketakutan pada istri, para suami jadi memiliki keberanian untuk menggoda sang janda.

Pretty bukan tidak menyadari ketertarikan para suami pada tubuhnya, dan kemarahan para istri akan kehadirannya. Tapi, bukannya menjaga diri, Pretty justru berlaku "jinak-jinak merpati". Akibatnya, para suami acap tertangkap basah tengah menggodanya, membantunya, atau terkunci di dalam rumahnya. Hanya Dadang yang tak begitu "memandang" Pretty. Satpam ini cuma bisa "goyang" oleh uang.

Sitkom ini memang melakukan mitos penguatan pada stigma janda. Pretty tampil dalam imaji janda yang memang bertugas menggoda. Dia memberi angin pada harapan para suami lewat lirikan, ajakan jari telunjuk, senyum, dan busana. Pretty mempersepsikan sebagai janda yang mau dan "bisa" digoda. Bahkan, ayah Tigor, Togar (Dorman Borisman) yang berkunjung, langsung melihat sinyal "kebisaan" Pretty. Dia berusaha mencuri kesempatan, namun ternyata, sama seperti anaknya, Batak tua ini pun takut pada istrinya. Hahaha...

Karena hadir dalam streotif "bisa" digoda, para istri pun memosisikan Pretty dalam stigma janda pada umumnya. Bu RT (Aty Fathiyah) terutama, sangat percaya bahwa Pretty selalu menginginkan suaminya. Meski hal itu dibantah anaknya, Sarmilila (Marissa), "Nyak, kenape sih selalu nyalahin Tante Pretty? Nggak mungkin juga Tante Pretty mau sama Babe." Tapi, bagi Bu RT, yang mewakili stigma umum itu, janda adalah omnivora, pemakan segala, tak punya kelas selera. Pria apa pun, jelek atau binaraga, lembut atau tak bekerja, akan dimamahnya.

"Suami-suami Takut Istri" tidak berusaha melakukan redefenisi pada stigma janda itu. Dalam satu seri, Pretty bahkan digambarkan begitu hausnya pada lelaki, dan berusaha menjebak Garry (Ady Irwandi), satu-satunya lajang di perumahan itu. Namun Garry menolak. Ia pun distigmakan sebagai lelaki yang lugu, yang tanpa pretensi apa pun, senang membantu. Kehadiran Garry sebagai lajang polos kian menegaskan keomnivoraan Pretty. Belum lagi posisi Dadang sebagai satpam, yang lebih banyak menjadi mata para istri, dengan imbalan uang, untuk mengawasi Pretty. Dadang hadir lebih sebagai personifikasi negara, menjadi pengawas akan status warganya.


Logika Janda

Sitkom "Suami-suami Takut Istri" adalah cermin stigmatisasi janda yang masih berlangsung dan diterima oleh warga. Keberterimaan itu dapat dilihat dari kehadiran Pretty yang tidak mendapat resistensi dari penonton. Artinya, sosok Pretty dilihat dan dinikmati bukan sebagai karakter yang terberi melainkan watak asali. Konflik dan kecemburuan karena Pretty dinikmati sebagai kewajaran dan bukan pengada-adaan. Akibatnya, jalinan cerita menjadi benar dalam "logika" janda.

Janda, "perempuan yang pernah menikmati seks", dipersepsikan sebagai ancaman rumah tangga. Karena pernah menikmati seks, janda dipercayai akan mencari lagi kenikmatan itu dengan cara apa pun. Logika inilah yang membuat, jika pun terjadi hubungan seks antara seorang lelaki dan janda, perempuan itu menjadi "tersangka" dan lelaki sebagai "korban". Anggapan yang sangat kejam, yang celakanya, justru mendapat afirmasi dari negara.

Negara "mengakui" stigmatisasi janda sebagai "ancaman" pada moralitas dan rumah tangga. Maka perempuan yang "pernah menikmati seks secara sah" itu perlu terus dilabeli. Labelisasi itu dilakukan negara lewat penyebutan di dalam KTP. Dengan pelabelan itu, seorang wanita didudukkan dalam sebuah akuarium besar, sehinnga khalayak dapat mengetahui statusnya. Dengan pelabelan itu, negara mengatakan bahwa "perempuan ini pernah menikmati seks secara resmi", dan warga harus hati-hati padanya. Label status yang menjadi "penjara" bagi si perempuan, agar dia terus tersadarkan tentang statusnya, dan menjaga sikap moralnya di depan warga.

Ironinya, pelabelan itu hanya menjerat perempuan yang pernah menikmati seks secara resmi alias menikah. Sedangkan perempuan yang pernah menikmati seks --tanpa harus menikah-- tidak masuk dalam labelisasi ini. Artinya, bui labelisasi itu justru diberikan pada perempuan yang mengikuti moralitas umum --mereka pernah menikah-- dan bukan mereka yang melawan moralitas umum --ngeseks tanpa menikah. Tanpa sadar, negara dan warga justru mengawasi perempuan yang "mengakui dan mengikuti" moralitas umum. Aneh kan?

Mengapa negara dan warga menghidupi terus stigma janda itu? Sebabnya satu, seks masih masuk ke wilayah tabu. Sebagai sesuatu yang tabu, seks hadir dan meluas secara tersembunyi, dan hidup dalam imajinasi banyak orang. Dan janda, --perempuan yang pernah menikmati seks-- adalah sebuah "wilayah kosong" yang memantik imajinasi. "Wilayah yang tak lagi tergarap" itu memancing imajinasi banyak perempuan dan lelaki, apalagi jika dia secantik dan seseksi Pretty. Karena itu, "Suami-suami Takut Istri" adalah cermin kebobrokan moral dan kesesatan pikir masyarakat ini. Kita menikmati, menertawai. Menggelikan sekali!


*)Thanks untuk Cahaya atas ide dasar tulisan ini

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 11 Mei 2008]

( t.i.l.i.k ! )

     

Monday, May 05, 2008

Gosip Tamara dan Socrates

Untuk pemamah gosip, Socrates punya nasihat


"Selama dua tahun ini saya terus difitnah, dihina, dan bahkan semua itu sudah terlewat keji sehingga menyebabkan marah saya sudah sampai puncaknya. Saya benar-benar marah, dan mohon maaf atas kemarahan itu. Saya ini manusia biasa...." ujar Tamara, pelan.

Dalam jumpa pers di La Citra Cafe, Pondok Indah, Jakarta Selatan itu, Tamara hanya berbicara pendek. Itu pun terbata-bata, tertahan amarah. Selebihnya, keterangan diberikan oleh pengacaranya, Muhajir Sodruddin. Intinya, Tamara membantah gosip bahwa dia tengah hamil. Dia juga percaya, semua gosip atau fitnah yang menimpanya selama ini, bukan atas campur tangan Rafly, mantan suaminya. Dan karena berada di batas sabar, Tamara akan menempuh langkah hukum untuk setiap gosip atau fitnah yang ditujukan padanya. "Bila ada unsur-unsur tindak pidana, kami akan tempuh jalur hukum. Terutama kalau tahu siapa yang menyebar fitnah," tandas Muhajir.

Tamara Natalia Christina Mayawati Bleszynski memang berkali-kali tertepa gosip tak sedap, bahkan mengerikan. Dia pun acap menebarkan ancaman untuk memidanakan penyebar gosip tersebut. Tapi, seperti jumpa pers yang tayang di "Insert" tahun lalu itu, syarat "Terutama kalau tahu siapa yang menyebarkan fitnah" tak pernah mampu Tamara dapatkan. Pemidanaan tak pernah jadi kenyataan. Bahkan, atas "gosip" dia telah berhubungan intim dengan Mike Lewis pun, Tamara akhirnya cuma menangis.

Kini gosip yang lebih seru menderanya. Tamara diringkus polisi karena tertangkap tengah nyabu di Apartemen ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, Kamis (17/4), dini hari. Kabar itu bermula dari sebuah SMS yang kemudian menyebar ke seluruh pekerja infotainmen dan wartawan hiburan. Beberapa tayangan infotainmen memberitakan gosip itu. Tapi konfirmasi atau gambar penangkapan, tidak pernah dapat ditunjukkan. Bahkan keberadaan Tamara pun tak diketahui pasti, antara di Jakarta dan Malaysia. Tapi, gosip itu makin kencang berhembus karena Kanit II Narkoba Mabes Polri Kombes Pol Drs Siswandi mengatakan, "Belum, belum diperiksa." Entah siapa yang belum diperiksa.

Gosip itu kemudian tak dapat dibuktikan "kebenarannya" oleh infotainmen. Tapi, bukan berarti selesai. Gosip baru muncul, Tamara tak dijerat pidana dalam kasus nyabu itu karena membayar Rp 6 miliar kepada polisi. Tak ada konfirmasi atau bantahan dari Tamara, cuma ibunya, Farida Gasic, yang bersuara. "Enam miliar darimana? Emang penghasilannya sampai segitu?"

*******


Gosip. Fitnah. Hal-hal semacam itulah yang berseliweran di televisi. Kabar yang bisa menjadi "headline" infotainmen, meski tak diketahui sumbernya, dan tak pernah ada peristiwanya, seperti "kasus" Tamara itu. Hebatnya, kabar semacam ini bisa muncul berhari-hari, dan tetap tanpa penjelasan yang berarti. Gosip Tyas Mirasih hamil bisa tayang sampai dua minggu, dan selama itu, tak ada kejelasan apa pun, selain gambar yang berputar seputar perut Tyas. Lalu Laudya Cintya Bella, juga dikabarkan hamil, karena tertangkap kamera tengah bersama Panji, memasuki klinik di Jakarta. Kabar ini membuat Bella "bingung", dan Panji memberi klarifikasi. Dan, seperti angin, gosip itu pun berhembus...

Ketidakjelasan gosip semacam itu, dan kegairahan infotainmen terus memberitakan, menimbulkan banyak pertanyaan, bahkan bagi artis sendiri. Ayu Azhari misalnya, berani menduga, gosip-gosip semacam itu adalah rekayasa infotainmen. Ayu secara jelas mengakui banyak infotainmen yang menawarkan diri untuk "mengelola" gosip pada artis tertentu, agar namanya dapat lagi naik atau diingat penonton. "Saya juga pernah mendapatkan tawaran semacam itu. Tapi untuk apa?" jelas Ayu.

Pengakuan Ayu itu mengejutkan. Sebab, selama ini beredar "gosip" di berbagai milis bahwa infotainmen memang dapat dipesan untuk "mengangkat" nama artis yang mulai tenggelam. Bahkan ditengarai, acara ulangtahun, bagi-bagi bingkisan ke tetangga sekitar rumah, yang selalu tayang dari artis "Gelas-gelas Kaca" adalah hasil "main-mata" pada infotainmen tertentu. Pengakuan dan penjelasan Ayu Azhari menegarkan kebenaran "gosip" itu.

Jadi, berangkat dari pengakuan Ayu, jika sumber kabar itu tidak jelas, datang dari artis yang namanya mulai jarang tayang di layar teve, dan kabar itu cukup mengundang sensasi, dapat dipastikan merupakan pekerjaan dari "the invisible hands", yang menangguk sejumlah bayaran. Tujuannya jelas, membuat objek gosip, si artis, namanya kembali diperbincangkan dan atau mendapat simpati publik. Gosip hubungan asmara Agnes Monika dan Dirly Idol misalnya, ternyata adalah "permainan terencana" sebagai pengantar sinetron mereka Jelita. Begitu sinetron tayang, gosip itu pun hilang, dan Dirly nampang dengan kekasih yang "asli". Di situ terjadi kerjasama yang matang antara stasiun teve yang akan menayangkan sinetron tersebut, dan infotainmen yang diproduksi teve itu sendiri. Sungguh rekayasa yang menyakiti penonton televisi.

*********


Gosip, fitnah, bagi penonton teve memang sudah diterima sebagai hal yang biasa. Setiap hari, selalu ada gosip baru dari aktris baru atau lama, yang indah atau keji. Dan karena bernama gosip, infotainmen tak ada beban untuk menayangkannya, bahkan mengulangnya. Sebagai kabar angin, psikologi pembuat dan penikmat seakan berada dalam kata sepakat, nanti akan hilang sendiri, lenyap.

Memang benar, gosip akan hilang sendiri. Ingatan penonton --bahkan sebagian besar masyarakat Indonesia-- memang pendek, terutama karena informasi yang mengepung dan menderas tanpa henti. Tapi, kekuatan --dan juga kejahatan-- gosip bukan pada kemampuannya untuk tinggal dalam kepala penonton, melainkan mengubah persepsi pemirsa di dalam memandang dan atau menganalisa sebuah peristiwa. Jalinan gosip yang kronologis, --Tamara diisukan nyabu, tertangkap, bebas karena nyuap, mengundang Roy Suryo untuk meneliti siapa penyebar SMS, ada rekayasa untuk memburukkan namanya sebagai sarana penghilangan haknya mengasuh Rasya-- membuat penonton berada dalam "ambang nanti" yang tak berkesudahan. Sesudah ini, pasti itu, pasti begini, lalu, dan, akhirnya, ternyata....

Jalinan "kronos" itu menimbulkan efek haus, dahaga, akan duga dan syak-wasangka. Pada akhirnya, gosip mengubah paradigma berpikir penonton yang selalu "melampaui" peristiwa. Yang terjadi adalah "B", tapi benak pemirsa sudah mengelola praduga dari "A" sampai "C" dan "E". Paradigma ini membuat substasi, isi, jadi sesuatu yang tak penting lagi. Yang utama adalah memenuhi rasa haus itu. Dan pemenuhan itu, tanpa disadari, adalah hasil "kreasi" sendiri, imajinasi yang dipanjang-panjangkan, lalu dibenarkan. Gosip memaksa pemirsa melakukan masturbasi pikiran. Dan di ujung dampak semua itu, gosip membuat rasa curiga tumbuh dengan demikian suburnya. Karena rasa curiga telah menjadi bagian dari kenikmatan.

*******


Berabad lalu, filsuf Yunani Socrates sudah mewanti-wanti akan dampak gosip. Meski pada akhirnya bersedia menjadi tumbal dari "gosip", Socrates memberikan cara menangkal gosip. Dia menyebutnya "Saringan Tiga Kali". Saringan itu merupakan metode yang selalu Socrates lakukan untuk menyaring mana kabar yang dia butuhkan mana yang harus dia buang.

Suatu pagi, seorang pria mendatangi Socrates, dan dia berkata, "Tahukah Anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman Anda?"

"Tunggu sebentar," jawab Cocrates. "Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin Anda melewati sebuah ujian kecil. ujian tersebut dinamakan saringan tiga kali."

"Saringan tiga kali?" tanya pria tersebut.

"Betul," lanjut Socrates. "sebelum Anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai saringan tiga kali.

"Saringan yang pertama adalah kebenaran. Sudah pastikah Anda bahwa apa yang Anda akan katakan kepada saya adalah kepastian kebenaran?"

"Tidak," kata pria tersebut, "Sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada Anda".
"Baiklah," kata Socrates. "Jadi Anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.

"Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu kebaikan. Apakah yang akan Anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?"

"Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk".

"Jadi," lanjut Socrates, "Anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi Anda tidak yakin kalau itu benar. Hmmm...

"Oke, oke, Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu kegunaan. Apakah yang Anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?"

"Tidak, sungguh tidak," jawab pria tersebut.

"Kalau begitu," simpul Socrates, "Jika apa yang Anda ingin beritahukan kepada saya... tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna sama sekali, kenapa Anda ingin menceritakan kepada saya?!"

Teman Socrates itu pun ngacir, pergi.

Di tengah gosip yang menderas sampai ke ruang keluarga, suara Socrates barangkali harus sering digemakan lagi, sebagai tambat agar akal sehat, nalar, tetap berdiam di kepala banyak orang. Supaya penonton tidak menikmati infotainmen seperti orang yang tersesat di tengah padang, kehausan....

[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 4 Mei 2008]

( t.i.l.i.k ! )