...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, September 15, 2005
"Kok Nggak Iklan-Iklan Sih!"
"IKLAN membuat hak pemirsa untuk menikmati tayangan menjadi terkebiri. Penonton menjadi stake holder pasif: menerima apa saja yang disuguhkan. Kalau tidak suka, cuma punya kekuasaan untuk alih saluran atau mematikan televisi."
Narasi di atas saya temukan dalam artikel di rubrik "Layar" Suara Merdeka, Minggu (11/9) lalu. Dan narasi itu hanya bagian kecil dari cara pandang yang sejenis atas iklan di televisi. Iklan sebagai musuh, perusak kenikmatan tontonan, menghasut ke arah konsumerisme, dan mematikan nalar penonton. Iklan didudukkan sebagai "penguasa" tiran, dan karena itu, dipandang penuh cemooh dan umpatan. Cara pandang negatif yang membuat tayangan iklan kehilangan posisinya sebagai medium provokasi sadar diri.
Penonton aktif
Telah terlalu banyak tulisan yang mengasumsikan bahwa menonton televisi adalah sesuatu yang pasif, makna dan pesan dari teve berjalan linear dan secara mudah diterima pemirsa. Pandangan ini pula yang secara ektrim melihat korelasi statistik antara tingkat kebrutalan di masyarakat dengan tayangan kekerasan di televisi. Padahal, korelasi statistik bukan bukti kasual. Penonton televisi bukanlah massa alienatif, sejenis, dan karena itu gampang "disusupi" pesan-pesan dari teve. Menonton pada hakikatnya adalah kegiatan sosial yang merupakan proses mencari dan menciptakan makna. Karena itu, tiap penonton merupakan pencipta makna yang aktif dalam aktivitas menontonnya, dan penciptaan makna lahir dari kompetisi kultural yang telah mereka dapatkan sebelumnya dalam lingkup berbahasa dan hubungan sosial.
Stuart Hall dalam Culture, Media, Language, mengakui bahwa setiap tayangan televisi, termasuk juga iklan, di dalamnya telah terstruktur pesan yang diciptakan untuk ditembakkan kepada pemirsa. Namun, pemproduksian makna ini tidak serta merta menjamin diterimanya pesan tadi oleh pemirsa. Hal itu, selain karena pemirsa bukanlah makhluk pasif, pesan ciptaan tadi juga terkonstruksi dalam sistem tanda. Dan setiap tanda, kita tahu, selalu polisemik. karena itu, pesan yang diinginkan sampai oleh produsen selalu mengalami resistensi dan artikulasi baru, sesuai tingkat sosial penonton. Bisa jadi, penonton yang memiliki tanda budaya yang sama dengan tayangan televisi atau iklan merespon makna itu sesuai dengan yang diharapkan. Namun, otomatisasi ini barangkali sebuah anomali dalam sistem polisemik. Karena, sekali lagi, selain tingkat sosial, situasi saat menonton, juga memengaruhi proses pembacaan dan pemaknaan pesan-pesan tadi. Jadi, sesungguhnya, secanggih apa pun, pesan dari setiap tayangan di teve adalah bahan mentah, yang dimatangkan dalam proses pembacaan dan tawar-menawar kode budaya si penonton. Tak ada pemirsa yang sepenuhnya pasif.
Jadi, jika tidak ada pemisra yang sepenuhnya pasif, maka provokasi iklan, sedahsyat apa pun, bukanlah peluru yang diterima tanpa kesadaran. Bahkan, dalam konteks pemirsa aktif, iklan justru menemukan tempatnya sebagai hulu ledak penyadaran.
Jeda hipnotis
Pandangan bahwa kemunculan iklan di sesela acara, termasuk iklan running text, merupakan gangguan kepada penonton merupakan sinyal tentang hipnotisasi sebuah tayangan. Dan harus diakui, kian hebat daya hipnotis tayangan, kian kuat pula proses penyetoran makna terjadi.
Hipnotisasi semacam inilah --yang juga dilakukan di dunia teater-- mendapat penentangan oleh Bertold Brecht. Brecht yakin, penghisapan penonton ke dalam tiap adegan teater, yang membuat tak ada lagi jarak antara penonton dan panggung, antara pementasan dan realitas, membuat penonton kian terjauhkan dari realitas kesehariannya. Karena itu, dalam pemanggungan, Brecht selalu memasukkan "alat" alienasi, yang bertujuan mengasingkan penonton, menciptakan jarak antara penonton dan tontonan, menghadirkan jeda hipnotis. Dengan memberi jeda hipnotis itu, akan tercipta kesadaran situasional dari penonton, mengubah hubungan antara panggung dan penonton, dan menstimulan refleksi terhadap proses pemaknaan realitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, alienasi itu berupa turunnya layar di panggung, pembagian babak, sampai tingkah aktor yang bicara langsung pada penonton, dan konstruksi wicara yang menandaskan bahwa adegan di panggung hanya "permainan". Dan dalam kerangka semacam itu jugalah kehadiran iklan dapat dilihat.
Kehadiran iklan yang tiba-tiba ketika tayangan sinetron sedang mencapai klimaknya, atau running text yang menciderai seru pertandingan bola, menjadi mengganggu karena memberi jeda hipnotis pada penonton. Dari situasi yang tersedot pada sebuah tayangan, kemudian secara tiba-tiba dilemparkan karena kehadiran iklan. Mengganggu memang, tapi tidakkah gangguan itu menciptakan kesadaran bahwa kita sedang menonton, dan berada pada sebuah ruang domestik. Kehadiran iklan menjaraki lagi antara penonton dan tontonan. Penjarakan inilah yang secara tidak langsung menciptakan proses pemaknaan, mengaktifkan penonton. Ungkapan, "iklan lagi, iklan lagi..." atau, "Huh! terpotong iklan!" secara otomatis memberi tanda keberhasilan alienasi atau pengasingan itu. Kegembiraan, euforia, kesedihan, heroisme, yang muncul dalam proses menonton, sementara padam. Aktivitas "pemaknaan" di mulai, bukan hanya pada tayangan tersebut, tapi juga pada diri yang tengah menonton.
Kehadiran iklan membuat penonton sadar akan ruang. Ruang di sini bukan saja dalam artian fisik --ruang keluarga, kamar, atau ruang tamu sebagai tempat menonton-- melainkan ruang sebagai tempat artikulasi pengalaman, ingatan, hasrat dan perebutan dan pengembangan identitas individual dan kolektif. Kehadiran iklan membuat penonton tahu di ruang itu ada kepentingan lain, ada penonton lain, yang dengan iklan di satu acara di sebuah stasiun teve, dapat memindahkan ke stasiun lain, memenuhi kepentingan penonton yang lain. Iklan barangkali membuat demokratisasi di ruang keluarga terjadi.
Kehadiran iklan juga membuat penonton kembali ke realitas asalinya. Alienasi terhadap teve yang dilakukan iklan, menyadarkan penonton pada posisi sosialnya. Pemandangan yang lazim jika di saat iklan, para penonton kembali memasuki "ruang pribadinya". Iklan di sebuah sinetron membuat seorang ibu kembali ke tugas domestiknya, meneruskan menyetrika, memasak air, mandi, atau menelpon anak-anak, dan salat. Jeda iklan menciptakan ruang kesadaran untuk kembali ke realitas, dan sepenuhnya tercerabut dari daya hipnotis tontonan. Tak heran jika terkadang "gangguan" iklan ini begitu dinanti. Ungkapan, "Kok nggak iklan-iklan sih..." secara tegas mengindikasikan betapa jeda iklan memang dibutuhkan penonton untuk melepaskan cengkeraman hipnotis sebuah tayangan.
Tayangan televisi mengikuti pendapat pengamat media Amerika D Kellner, bukanlah "suatu lubang hitam di mana semua makna dan pesan terserap dalam pusarannya" dan disemburkan ke penonton tanpa ambang terima. Semua pesan yang diproduksi dalam setiap tayangan, mendapatkan artikulasi yang berbeda, yang diciptakan penonton berdasarkan kepentingannya. Tak ada penonton yang sepenuhnya terkolonisasi, terkuasai. Karena jeda yang dibuat iklan, membuat pesan yang disemprotkan sebuah tayangan, menemukan dinding pembatas. Penonton pun, sepersekian saat, bisa merasa bebas.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 18 September 2005]
Narasi di atas saya temukan dalam artikel di rubrik "Layar" Suara Merdeka, Minggu (11/9) lalu. Dan narasi itu hanya bagian kecil dari cara pandang yang sejenis atas iklan di televisi. Iklan sebagai musuh, perusak kenikmatan tontonan, menghasut ke arah konsumerisme, dan mematikan nalar penonton. Iklan didudukkan sebagai "penguasa" tiran, dan karena itu, dipandang penuh cemooh dan umpatan. Cara pandang negatif yang membuat tayangan iklan kehilangan posisinya sebagai medium provokasi sadar diri.
Penonton aktif
Telah terlalu banyak tulisan yang mengasumsikan bahwa menonton televisi adalah sesuatu yang pasif, makna dan pesan dari teve berjalan linear dan secara mudah diterima pemirsa. Pandangan ini pula yang secara ektrim melihat korelasi statistik antara tingkat kebrutalan di masyarakat dengan tayangan kekerasan di televisi. Padahal, korelasi statistik bukan bukti kasual. Penonton televisi bukanlah massa alienatif, sejenis, dan karena itu gampang "disusupi" pesan-pesan dari teve. Menonton pada hakikatnya adalah kegiatan sosial yang merupakan proses mencari dan menciptakan makna. Karena itu, tiap penonton merupakan pencipta makna yang aktif dalam aktivitas menontonnya, dan penciptaan makna lahir dari kompetisi kultural yang telah mereka dapatkan sebelumnya dalam lingkup berbahasa dan hubungan sosial.
Stuart Hall dalam Culture, Media, Language, mengakui bahwa setiap tayangan televisi, termasuk juga iklan, di dalamnya telah terstruktur pesan yang diciptakan untuk ditembakkan kepada pemirsa. Namun, pemproduksian makna ini tidak serta merta menjamin diterimanya pesan tadi oleh pemirsa. Hal itu, selain karena pemirsa bukanlah makhluk pasif, pesan ciptaan tadi juga terkonstruksi dalam sistem tanda. Dan setiap tanda, kita tahu, selalu polisemik. karena itu, pesan yang diinginkan sampai oleh produsen selalu mengalami resistensi dan artikulasi baru, sesuai tingkat sosial penonton. Bisa jadi, penonton yang memiliki tanda budaya yang sama dengan tayangan televisi atau iklan merespon makna itu sesuai dengan yang diharapkan. Namun, otomatisasi ini barangkali sebuah anomali dalam sistem polisemik. Karena, sekali lagi, selain tingkat sosial, situasi saat menonton, juga memengaruhi proses pembacaan dan pemaknaan pesan-pesan tadi. Jadi, sesungguhnya, secanggih apa pun, pesan dari setiap tayangan di teve adalah bahan mentah, yang dimatangkan dalam proses pembacaan dan tawar-menawar kode budaya si penonton. Tak ada pemirsa yang sepenuhnya pasif.
Jadi, jika tidak ada pemisra yang sepenuhnya pasif, maka provokasi iklan, sedahsyat apa pun, bukanlah peluru yang diterima tanpa kesadaran. Bahkan, dalam konteks pemirsa aktif, iklan justru menemukan tempatnya sebagai hulu ledak penyadaran.
Jeda hipnotis
Pandangan bahwa kemunculan iklan di sesela acara, termasuk iklan running text, merupakan gangguan kepada penonton merupakan sinyal tentang hipnotisasi sebuah tayangan. Dan harus diakui, kian hebat daya hipnotis tayangan, kian kuat pula proses penyetoran makna terjadi.
Hipnotisasi semacam inilah --yang juga dilakukan di dunia teater-- mendapat penentangan oleh Bertold Brecht. Brecht yakin, penghisapan penonton ke dalam tiap adegan teater, yang membuat tak ada lagi jarak antara penonton dan panggung, antara pementasan dan realitas, membuat penonton kian terjauhkan dari realitas kesehariannya. Karena itu, dalam pemanggungan, Brecht selalu memasukkan "alat" alienasi, yang bertujuan mengasingkan penonton, menciptakan jarak antara penonton dan tontonan, menghadirkan jeda hipnotis. Dengan memberi jeda hipnotis itu, akan tercipta kesadaran situasional dari penonton, mengubah hubungan antara panggung dan penonton, dan menstimulan refleksi terhadap proses pemaknaan realitas. Dalam bentuk yang paling sederhana, alienasi itu berupa turunnya layar di panggung, pembagian babak, sampai tingkah aktor yang bicara langsung pada penonton, dan konstruksi wicara yang menandaskan bahwa adegan di panggung hanya "permainan". Dan dalam kerangka semacam itu jugalah kehadiran iklan dapat dilihat.
Kehadiran iklan yang tiba-tiba ketika tayangan sinetron sedang mencapai klimaknya, atau running text yang menciderai seru pertandingan bola, menjadi mengganggu karena memberi jeda hipnotis pada penonton. Dari situasi yang tersedot pada sebuah tayangan, kemudian secara tiba-tiba dilemparkan karena kehadiran iklan. Mengganggu memang, tapi tidakkah gangguan itu menciptakan kesadaran bahwa kita sedang menonton, dan berada pada sebuah ruang domestik. Kehadiran iklan menjaraki lagi antara penonton dan tontonan. Penjarakan inilah yang secara tidak langsung menciptakan proses pemaknaan, mengaktifkan penonton. Ungkapan, "iklan lagi, iklan lagi..." atau, "Huh! terpotong iklan!" secara otomatis memberi tanda keberhasilan alienasi atau pengasingan itu. Kegembiraan, euforia, kesedihan, heroisme, yang muncul dalam proses menonton, sementara padam. Aktivitas "pemaknaan" di mulai, bukan hanya pada tayangan tersebut, tapi juga pada diri yang tengah menonton.
Kehadiran iklan membuat penonton sadar akan ruang. Ruang di sini bukan saja dalam artian fisik --ruang keluarga, kamar, atau ruang tamu sebagai tempat menonton-- melainkan ruang sebagai tempat artikulasi pengalaman, ingatan, hasrat dan perebutan dan pengembangan identitas individual dan kolektif. Kehadiran iklan membuat penonton tahu di ruang itu ada kepentingan lain, ada penonton lain, yang dengan iklan di satu acara di sebuah stasiun teve, dapat memindahkan ke stasiun lain, memenuhi kepentingan penonton yang lain. Iklan barangkali membuat demokratisasi di ruang keluarga terjadi.
Kehadiran iklan juga membuat penonton kembali ke realitas asalinya. Alienasi terhadap teve yang dilakukan iklan, menyadarkan penonton pada posisi sosialnya. Pemandangan yang lazim jika di saat iklan, para penonton kembali memasuki "ruang pribadinya". Iklan di sebuah sinetron membuat seorang ibu kembali ke tugas domestiknya, meneruskan menyetrika, memasak air, mandi, atau menelpon anak-anak, dan salat. Jeda iklan menciptakan ruang kesadaran untuk kembali ke realitas, dan sepenuhnya tercerabut dari daya hipnotis tontonan. Tak heran jika terkadang "gangguan" iklan ini begitu dinanti. Ungkapan, "Kok nggak iklan-iklan sih..." secara tegas mengindikasikan betapa jeda iklan memang dibutuhkan penonton untuk melepaskan cengkeraman hipnotis sebuah tayangan.
Tayangan televisi mengikuti pendapat pengamat media Amerika D Kellner, bukanlah "suatu lubang hitam di mana semua makna dan pesan terserap dalam pusarannya" dan disemburkan ke penonton tanpa ambang terima. Semua pesan yang diproduksi dalam setiap tayangan, mendapatkan artikulasi yang berbeda, yang diciptakan penonton berdasarkan kepentingannya. Tak ada penonton yang sepenuhnya terkolonisasi, terkuasai. Karena jeda yang dibuat iklan, membuat pesan yang disemprotkan sebuah tayangan, menemukan dinding pembatas. Penonton pun, sepersekian saat, bisa merasa bebas.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 18 September 2005]