...tera di sesela gegas-gesa
Wednesday, August 10, 2005
Kepalan yang Bekerja Sendiri
SEBELUM bel berbunyi, Ray sempat melontarkan jabnya. Dia lalu tersenyum, mengepalkan tangan. Pelipisnya biru membengkak, matanya menyipit lebam, tapi ia seperti tak merasakan. Ia bahkan tak kembali ke sudut ring, mendatangi dan memeluk lawannya. "Maaf, Hagler, aku kini membuat sejarah."
Lawannya, "si kulit badak" Marvin Hagler, hanya menunduk. Dia tak sempat memberikan jawaban karena lelaki yang menyalaminya tadi, Sugar Ray Leonard, yang telah sibuk menghadapi teriakan banyak orang, official-nya yang mengerubuti, menyambut kemenangannya.
Itu memang hari yang bersejarah. 6 April 1987, di dalam ring di Caesars Palace Hotel, Las Vegas, Ray menunjukkan dirinya masih yang terbesar. Padahal, ia telah meninggalkan ring 5 tahun lamanya. Tak banyak petunju yang mampu melakukan hal semacam itu. Hanya tercatat dua nama, Sugar Ray Robinson di tahun 1950-an, dan si mulut besar Muhammad Ali, yang meng-KO-kan Joe Frazier.
Lama absen dari ring, bukan hanya soal waktu dan latihan, juga mental. Dan masalah ini, banyak petinju yang gagal. Kegamangan menginjakkan kaki di tengah puluhan pasang mata adalah satu hal. Menjawab pertanyaan pers yang meragukan, bahkan menyulut emosi, adalah hal lain. Kini Tyson membuktikan betapa beratnya hal itu. Tapi tidak bagi Ray. Ia melenggang, seolah begitu mudah, mirip keajaiban.
Padahal, siapa yang tak tahu Hagler; tubuhnya pejal berotot, tangan kanan-kirinya memukul keras. Mentalnya singa, ia telah 66 kali naik ring, 62 menang, 52 dengan KO, dan hanya 2 kali kalah, itu pundi awal karier.
Ray adalah kebalikannya; ceking, dan ia harus menaikkan berat badan untuk menantang Hagler, dan tua. Tapi ia punya otak, dan kelincahan kaki. Ia pun telah melatih diri selama setahun untuk partai itu. "Pertandingan di ring bukan cuma mengadu fisik. Ini perang psikologis," ia berkata, "Saya pun belum digerogoti karat."
Mengikutkan takdir
Seumpama tak dihisap ring, Ray hanya akan jadi pendeta. Di masa kecil, ia adalah penyanyi di "rumah Tuhan". Nama lengkapnya pun, Ray Charles Leonard, meniru penyanyi pop terkenal, Ray Charles di tahun 1950-an, yang populer dengan "I Can't Stop Loving You".
Ibunya, Getha, memang menginginkannya menjadi penyanyi, saat melahirkannya di kota kecil Wilmington, 17 Mei 1956. Ayahnya, Cicero, hanya tersenyum melihat keinginan istrinya.
Cicero yang buruh dan Getha yang pembantu di rumah sakit, tak memberi kemewahan pada Ray. Ia melewatkan masa kanak-kanak yang biasa di Washington DC. remaja, ia ikut hijrah ke Palmer Park di Maryland. Ia anak yang saleh.
"Saya tak pernah punya masalah dengan dia. Dia baik dan agak pemalu," ibunya mengenang. Ray tak suka berkelahi.
Namun, ketika teman-temannya mengatakan dia banci, perasaanya terusik. Oleh Roger, kakaknya, ia diajari bertinju, kala usianya 14. Dan takdir menuntunnya, postur tubuhnya berkembang dengan bakat itu, diasuh oleh Janks Morton, mantan petinju amatir secara sukarela, di taman rekreasi kota.
Ia lalu terinspirasi pada Sugar Robinson, juara dunia 5 kali. Untuk mendapatkan tuah, Ray menambahkan kata Sugar di depan namanya.
Di dunia amatir, ia tak punya lawan. Puncaknya, ia dikirim ke Olimpiade Montreal '76. Ia mendapat emas di kelas welter ringan. Tapi, gayanya yang menyengat bak lebah, langsung menjadi pujaan Amerika.
Tapi, ia malah berniat menggantung sarung tinju. "Keputusan ini mutlak. Impian saya telah tercapai, perjalanan tinju telah usai," katanya. Ia bersiap sekolah di University of Maryland.
Tapi, takdir tak boleh ditolak. Ibunya masuk rumah sakit, ayahnya diserang spinal pneumonia. Ia tak punya pilihan selain bertinju untuk membiayai mereka. 1977, tangannya ia kepalkan. Luis Vega menjadi lawan pertama, 5 Februari 1977, dan ia pecundangi dalam 6 ronde. Tahun itu, ia bertarung 6 kali, menang semua.
Bayarannya melesat, gaya bertinjunya memang memikat. Di tahun itu ia telah dibayar 40 ribu dolar. Bayangkan, Hagler saja hanya mendapat 1500 dolar di tahun yang sama. Hebatnya, saat kalah dari Roberto duran Juni 1980, ia bahkan memecahkan rekor bayaran, 9,7 juta dolar. 5 bulan kemudian, Duran ia jungkalkan di ronde ke-7!
Bayarannya hebat, kariernya pun melesat. Dua tahun saja, ia sudah juara dunia kelas welter WBC. Ia menang KO atas jagoan saat itu, Wilfred Benitez. Pertarungan 15 ronde mereka bahkan menjadi partai klasik dalam dunia tinju.
Ray kian merajalela. Ia naik kelas ke menengah ringan, tetap juara. Dan semua itu takkan terjadi tanpa campur tangan Ali.
April 1976, Ali mengenalkannya pada Angelo Dundee, pelatih Ali juga, yang ingin melatih gaya bertinjunya. Dan memang, gayanya kian tak dapat dikalahkan.
September 1981, ia jungkalkan si tukang jagal Thomas Hearns, ia mendapat 10 juta dolar. Tapi, ia harus menangis, kemenangan itu meminta retina mata kirinya yang sobek. Ia terancam buta.
9 Mei 1982, operasi retinanya sukses. Dan sebagai tanda syukur, ia mengundurkan diri dari ring. Tapi, kegilaan dunia tinju, gemerlap celebration dan kibar dolar, acap menggodanya. Hanya 5 tahun Ray kuat beristirahat, 1987, ia kembali. Istrinya, Juanita, menangis darah melarang. Tapi Ray meyakinkan, tinju adalah dunianya.
Kevin Howard ia tantang, dan dia jungkalkan, KO. Kegilaannya bertambah, dan ia sesumbar akan mengalahkan Hagler.
Juanita menangis memohon Ray membatalkan partai itu. Hagler saat itu tak terkalahkan, tukang bantai nomor wahid di kelas menengah. Ray pun, harus menambah bobot badannya 6 kg untuk masuk ke kelas itu. Tapi Ray yakin, ia akan dapat mengalahkan si badak itu. Di mana pun, kapan pun, ia selalu meyakinkan Juanita.
"Aku tak akan bisa bertinju tanpa restunya. Aku akan terus membujuknya. Tapi jika dia tetap bilang tidak, aku akan patuh."
Juanita tahu dunia Ray, cita-cita terbesar suaminya. Ia pun mengizinkan. Tapi, WBA dan IBF justru menolak partai itu. Kedua badan tinju ini takut retina Ray akan jadi korban. Ray bergeming. Ia yakin menang.
WBA dan IBF gantian menekan Hagler. Hagler bahkan diwajibkan bertarung wajib dengan juara Inggris, Herol Graham. Hagler menolak, dan membiarkan dua gelarnya dicabut. Ia lebih memilih Ray karena ingin menjatuhkan si Mr Middle Class itu --sindiran Hagler karena bayaran Ray yang selalu lebih mahal.
Dalam jumpa pers sebelum bertanding, Ray bahkan tak gusar ketika diejek Hagler. Ia bahkan tersenyum saat wartawan Washington Pos mencemoohnya: "Berbagai taktik dan strategi bisa saja Anda kuasai. Tapi bagaimana mengatasi karat di tubuh Anda?" Pasar taruhan menyepelekannya, memasang 4:1 untuk kemenangan Hagler. Tapi, dengan senyum Juanita, Ray membalikkan semuanya.
"Ketika berada di ring, semuanya beres. Kepalan ini tiba-tiba saja bekerja sendiri tanpa disuruh," katanya usai pertandingan, saat istrinya mengelap darah di sudut bibirnya. Ya, Ray adalah amsal tentang keberhasilan sebuah niat, semangat, dan doa sang istri.
Lawannya, "si kulit badak" Marvin Hagler, hanya menunduk. Dia tak sempat memberikan jawaban karena lelaki yang menyalaminya tadi, Sugar Ray Leonard, yang telah sibuk menghadapi teriakan banyak orang, official-nya yang mengerubuti, menyambut kemenangannya.
Itu memang hari yang bersejarah. 6 April 1987, di dalam ring di Caesars Palace Hotel, Las Vegas, Ray menunjukkan dirinya masih yang terbesar. Padahal, ia telah meninggalkan ring 5 tahun lamanya. Tak banyak petunju yang mampu melakukan hal semacam itu. Hanya tercatat dua nama, Sugar Ray Robinson di tahun 1950-an, dan si mulut besar Muhammad Ali, yang meng-KO-kan Joe Frazier.
Lama absen dari ring, bukan hanya soal waktu dan latihan, juga mental. Dan masalah ini, banyak petinju yang gagal. Kegamangan menginjakkan kaki di tengah puluhan pasang mata adalah satu hal. Menjawab pertanyaan pers yang meragukan, bahkan menyulut emosi, adalah hal lain. Kini Tyson membuktikan betapa beratnya hal itu. Tapi tidak bagi Ray. Ia melenggang, seolah begitu mudah, mirip keajaiban.
Padahal, siapa yang tak tahu Hagler; tubuhnya pejal berotot, tangan kanan-kirinya memukul keras. Mentalnya singa, ia telah 66 kali naik ring, 62 menang, 52 dengan KO, dan hanya 2 kali kalah, itu pundi awal karier.
Ray adalah kebalikannya; ceking, dan ia harus menaikkan berat badan untuk menantang Hagler, dan tua. Tapi ia punya otak, dan kelincahan kaki. Ia pun telah melatih diri selama setahun untuk partai itu. "Pertandingan di ring bukan cuma mengadu fisik. Ini perang psikologis," ia berkata, "Saya pun belum digerogoti karat."
Mengikutkan takdir
Seumpama tak dihisap ring, Ray hanya akan jadi pendeta. Di masa kecil, ia adalah penyanyi di "rumah Tuhan". Nama lengkapnya pun, Ray Charles Leonard, meniru penyanyi pop terkenal, Ray Charles di tahun 1950-an, yang populer dengan "I Can't Stop Loving You".
Ibunya, Getha, memang menginginkannya menjadi penyanyi, saat melahirkannya di kota kecil Wilmington, 17 Mei 1956. Ayahnya, Cicero, hanya tersenyum melihat keinginan istrinya.
Cicero yang buruh dan Getha yang pembantu di rumah sakit, tak memberi kemewahan pada Ray. Ia melewatkan masa kanak-kanak yang biasa di Washington DC. remaja, ia ikut hijrah ke Palmer Park di Maryland. Ia anak yang saleh.
"Saya tak pernah punya masalah dengan dia. Dia baik dan agak pemalu," ibunya mengenang. Ray tak suka berkelahi.
Namun, ketika teman-temannya mengatakan dia banci, perasaanya terusik. Oleh Roger, kakaknya, ia diajari bertinju, kala usianya 14. Dan takdir menuntunnya, postur tubuhnya berkembang dengan bakat itu, diasuh oleh Janks Morton, mantan petinju amatir secara sukarela, di taman rekreasi kota.
Ia lalu terinspirasi pada Sugar Robinson, juara dunia 5 kali. Untuk mendapatkan tuah, Ray menambahkan kata Sugar di depan namanya.
Di dunia amatir, ia tak punya lawan. Puncaknya, ia dikirim ke Olimpiade Montreal '76. Ia mendapat emas di kelas welter ringan. Tapi, gayanya yang menyengat bak lebah, langsung menjadi pujaan Amerika.
Tapi, ia malah berniat menggantung sarung tinju. "Keputusan ini mutlak. Impian saya telah tercapai, perjalanan tinju telah usai," katanya. Ia bersiap sekolah di University of Maryland.
Tapi, takdir tak boleh ditolak. Ibunya masuk rumah sakit, ayahnya diserang spinal pneumonia. Ia tak punya pilihan selain bertinju untuk membiayai mereka. 1977, tangannya ia kepalkan. Luis Vega menjadi lawan pertama, 5 Februari 1977, dan ia pecundangi dalam 6 ronde. Tahun itu, ia bertarung 6 kali, menang semua.
Bayarannya melesat, gaya bertinjunya memang memikat. Di tahun itu ia telah dibayar 40 ribu dolar. Bayangkan, Hagler saja hanya mendapat 1500 dolar di tahun yang sama. Hebatnya, saat kalah dari Roberto duran Juni 1980, ia bahkan memecahkan rekor bayaran, 9,7 juta dolar. 5 bulan kemudian, Duran ia jungkalkan di ronde ke-7!
Bayarannya hebat, kariernya pun melesat. Dua tahun saja, ia sudah juara dunia kelas welter WBC. Ia menang KO atas jagoan saat itu, Wilfred Benitez. Pertarungan 15 ronde mereka bahkan menjadi partai klasik dalam dunia tinju.
Ray kian merajalela. Ia naik kelas ke menengah ringan, tetap juara. Dan semua itu takkan terjadi tanpa campur tangan Ali.
April 1976, Ali mengenalkannya pada Angelo Dundee, pelatih Ali juga, yang ingin melatih gaya bertinjunya. Dan memang, gayanya kian tak dapat dikalahkan.
September 1981, ia jungkalkan si tukang jagal Thomas Hearns, ia mendapat 10 juta dolar. Tapi, ia harus menangis, kemenangan itu meminta retina mata kirinya yang sobek. Ia terancam buta.
9 Mei 1982, operasi retinanya sukses. Dan sebagai tanda syukur, ia mengundurkan diri dari ring. Tapi, kegilaan dunia tinju, gemerlap celebration dan kibar dolar, acap menggodanya. Hanya 5 tahun Ray kuat beristirahat, 1987, ia kembali. Istrinya, Juanita, menangis darah melarang. Tapi Ray meyakinkan, tinju adalah dunianya.
Kevin Howard ia tantang, dan dia jungkalkan, KO. Kegilaannya bertambah, dan ia sesumbar akan mengalahkan Hagler.
Juanita menangis memohon Ray membatalkan partai itu. Hagler saat itu tak terkalahkan, tukang bantai nomor wahid di kelas menengah. Ray pun, harus menambah bobot badannya 6 kg untuk masuk ke kelas itu. Tapi Ray yakin, ia akan dapat mengalahkan si badak itu. Di mana pun, kapan pun, ia selalu meyakinkan Juanita.
"Aku tak akan bisa bertinju tanpa restunya. Aku akan terus membujuknya. Tapi jika dia tetap bilang tidak, aku akan patuh."
Juanita tahu dunia Ray, cita-cita terbesar suaminya. Ia pun mengizinkan. Tapi, WBA dan IBF justru menolak partai itu. Kedua badan tinju ini takut retina Ray akan jadi korban. Ray bergeming. Ia yakin menang.
WBA dan IBF gantian menekan Hagler. Hagler bahkan diwajibkan bertarung wajib dengan juara Inggris, Herol Graham. Hagler menolak, dan membiarkan dua gelarnya dicabut. Ia lebih memilih Ray karena ingin menjatuhkan si Mr Middle Class itu --sindiran Hagler karena bayaran Ray yang selalu lebih mahal.
Dalam jumpa pers sebelum bertanding, Ray bahkan tak gusar ketika diejek Hagler. Ia bahkan tersenyum saat wartawan Washington Pos mencemoohnya: "Berbagai taktik dan strategi bisa saja Anda kuasai. Tapi bagaimana mengatasi karat di tubuh Anda?" Pasar taruhan menyepelekannya, memasang 4:1 untuk kemenangan Hagler. Tapi, dengan senyum Juanita, Ray membalikkan semuanya.
"Ketika berada di ring, semuanya beres. Kepalan ini tiba-tiba saja bekerja sendiri tanpa disuruh," katanya usai pertandingan, saat istrinya mengelap darah di sudut bibirnya. Ya, Ray adalah amsal tentang keberhasilan sebuah niat, semangat, dan doa sang istri.