...tera di sesela gegas-gesa
Tuesday, July 11, 2006
Begitu Rooney, Begitu juga Zidane...
Menonton sepak bola adalah menyaksikan manusia menanggalkan embel-embel kepalsuan yang diterakan media.
Tak ada yang menduga, di menit ke-109 itu, Zidane melakukan sesuatu yang "luar biasa", menanduk dada Materazzi dengan kepala plontosnya. Materazzi terjengkang. Zidane juga. Lewat close up kamera usai tandukan itu, "Sang profesor" terlihat kaget atas tindakannya. Ia, seperti akan menangis ketika bicara dengan Buffon, bercerita mengapa sampai melakukan hal itu. Bahkan, kamera pun menunjukkan mata basahnya yang tak percaya sewaktu melihat wasit mengangkat kartu merah. Menghembuskan napas, dia berjalan keluar. Gontai.
"Zidane juga manusia." Begitulah suara seragam yang "membela" tindakannnya itu. Semua pengamat menyayangkan tindakan itu, tapi memaklumi. Der Kaizer Beckeunbauer pun merasa penampilan akhir Zidane sebagai salam pisah dengan cela. Tapi, sebagai mantan pemain sepak bola, yang juga pernah merasakan kerasnya atmosfir Piala Dunia, dan kejamnya tekanan kepada dirinya sebagai ruh tim --hal yang juga diemban Zidane--, dia paham atas tindakan Zidane. "Yang bisa saya katakan tentang Zidane, adalah pribadi yang tenang dan tidak berbahaya," kata Beckenbauer seperti dilansir AFP, Senin (10/7/2006). "Dia cuma terpancing..."
Ya, Zidane terpancing provokasi Materazzi. Lewat tayangan ulang, usai berebut bola, mereka memang tampak saling berbicara. Zidane masih terlihat tersenyum saat membalikkan diri, berjalan mendahului Materazzi. Kamera juga menunjukkan bibir Materazzi yang masih saja bergerak, mengucapkan sesuatu, sampai... Zidane berbalik dan menandukkan kepalanya. "Materazzi telah memprovokasi Zidane," kata Gallas, rekan setim Zidane.
"Dia mengaku kepada saya, Materazzi telah mengatakan sesuatu yang sangat serius kepadanya," ungkap Migliaccio, agen Zidane, seperti dilansir BBC. Migliaccio menambahkan bahwa Zidane tidak mengatakan secara detail apa yang dikatakan Materazzi. "Saya tidak tahu. Zidane tak ingin mengatakan hal itu namun mungkin pekan depan semua dapat diketahui," ujarnya.
Tebakan lalu beredar, kalau Materazzi telah mengatakan hal yang sensitif, seperti ungkapan rasis, sampai ejekan bahwa Zidane adalah antek teroris. Tapi, Mariane Frere, ahli pembaca gerak bibir, setelah melihat rekaman insiden itu, bisa memastikan apa yang dikatakan Materazzi. Pada satu adegan, sebagaimana dilansir The Sun, bek Inter Milan itu meremas puting Zidane. Frere membaca Materazzi mengumpat, "bola tinggi bukan untuk kotoran sepertimu." Zidane masih tersenyum dan berlalu. Tetapi, Frere dapat membaca umpatan lain dari Materazzi, "Semua orang tahu kau adalah anak seorang pelacur teroris." Usai kalimat inilah Zidane membalikkan badannya dan menanduk dada Materazzi.
Cukup? Tidak. Seperti dilansir Tribalfootball, melalui sumber orang yang dekat dengan tim Italia terungkap juga, usai meremas puting Zidane, Materazzi bertanya, "Kenapa, bukankah kau suka?" Zidane membalas, "Sedikit terlalu keras untuk membuat aku terangsang." Namun Materazzi kemudian melanjutkan, "Ya. Aku melakukannya karena aku tahu seperti apa ibumu."
Tak Stabil
Manusia memang bukan makhluk yang stabil. Secara generik, kata insan --manusia dalam bahasa arab-- pun mengartikan hal itu, sebagai "yang gampang terombang-ambing". Ambingan yang datang dari hasrat, emosi, dan mimpi-mimpi. Dan Zidane secara "alamiah" menunjukkan posisinya yang tetap sebagai manusia. Dia bukan "dewa" sebagaimana yang dielu-elukan penggemarnya. Benar, dia "sang profesor" yang mengolah bola nyaris tanpa cela. Tapi, dalam ketiadacelaan memainkan bola, tersimpan watak alamiah manusia, yang bisa marah, dan kehilangan kendali. "Saya menyimpan tumpukan agresi. Suatu saat, tiba-tiba, agresi itu keluar, dan saya meledak," aku Zidane. "... jika seseorang memprovokasi, saya tidak bisa tinggal diam. Saya bisa terjangkit untuk membalasnya. Itulah saya."
Zidane tidak sendirian. Wayne Rooney juga melakukannya. Ketika kesembuhannya dari cidera patah tulang metatarsal dipastikan, seluruh media Inggris menyambutnya. "Sang Dewa..." tulis The Sun. "Masa depan Inggris di tangannya," tulis media lain. Rooney seakan tak tersentuh cela. Kelabilan emosinya tak pernah diungkap. Tanpanya, diyakini, Inggris tak akan mampu meraih Piala Dunia. Tapi lihatlah, anak bengal itu menunjukkan dengan pasti bahwa dia bukan dewa. Dihadang Calvalho, Fereira, amarah Rooney terjaga. Dia melakukan hal buruk, yang katanya, "terjadi begitu saja tanpa sengaja," menjejakkan kakinya di selangkangan Calvalho. Dan ketika tandemnya di Manchester United, Ronaldo, berteriak protes, kemudaan Rooney bicara. Seperti Zidane, dia pun harus keluar lapangan. Gontai. Layangan lepas benang, putus asa. Dua dewa, dari dua negara, dengan kecemerlangan mengolah bola yang nyaris sama, "dimanusiakan" dengan cara yang tak berbeda, di tangan wasit yang sama, Horacio Elizondo, dari Argentina.
Tapi, tentu "salah" jika hanya melihat amarah dalam diri Zidane dan Rooney sebagai unsur kemanusiaannya. Di panggung sepak bola, lewat medium long shoot dan close up, replay juga slow motion, kita jelas melihat manusia-manusia, dan bukan dewa. Akting diving Grosso yang membuat Australia terlempar, semi-diving Henry yang membuat Portugal menangis, kedipan mata Ronaldo usai Rooney dikartumerahkan, juga khas watak manusia, yang dalam sepersekian detik, nyaris seperti otomatis, mengambil keuntungan ketika tercipta kesempatan. Sesuatu yang, mengikuti pengakuan striker Chelsea, Didier Drogba, "akan dilakukan pemain mana pun jika kesempatan itu datang." Sesuatu yang salah, dibenci, tapi dalam situasi tertentu, seperti otomatis, terlakukan, begitu saja...
Barangkali seperti saat mengambil penalti. Siapa yang sangsi pada keakuratan Gerrald atau Lampard? Ketajaman Trezequet? Dan lihatlah, dalam ketegangan, dalam tekanan sejarah kegagalan Inggris tiap penalti, dua dewa penendang akurat itu menjadi manusia yang lemah, mata yang kehilangan cahaya, dan kemudian... tangis. John Terry pun terisak-isak usai kegagalan itu. Sehingga media mulai mencemoohnya, "Terlalu cengeng untuk bisa menjadi Kapten Inggris."
Di panggung akbar sepak bola, kita memang menyaksikan keahlian yang nyaris sempurna, yang tak mungkin dimiliki manusia biasa, skill para "dewa" -- meski, entah seperti apa sebenarnya dewa-dewa itu. Kita meyaksikan sosok-sosok yang dicitrakan media seperti cahaya, menyilaukan, tak terjamah, barangkali menjadi seperti impi. Tapi, skill itu dihidupi, dinapasi sebungkus daging yang masih bernama manusia, tempat benar dan salah, puji dan cela. Maka, senyum sabar Ronaldinho, tandukan Zidane, kartu merah dari Elizondo --yang bahkan tak menyaksikan peristiwa itu--, dan yang terutama, caci-maki agresi Materazzi, adalah tingkah manusiawi. Dan kita harus bersyukur karena menyaksikan permainan manusia, bukan robot atau dewa yang sempurna. Bukankah hikmah selalu kita temukan dalam cacat, dalam sesuatu yang tak sempurna?
[Artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Kamis 13 Juli 2006]
Tak ada yang menduga, di menit ke-109 itu, Zidane melakukan sesuatu yang "luar biasa", menanduk dada Materazzi dengan kepala plontosnya. Materazzi terjengkang. Zidane juga. Lewat close up kamera usai tandukan itu, "Sang profesor" terlihat kaget atas tindakannya. Ia, seperti akan menangis ketika bicara dengan Buffon, bercerita mengapa sampai melakukan hal itu. Bahkan, kamera pun menunjukkan mata basahnya yang tak percaya sewaktu melihat wasit mengangkat kartu merah. Menghembuskan napas, dia berjalan keluar. Gontai.
"Zidane juga manusia." Begitulah suara seragam yang "membela" tindakannnya itu. Semua pengamat menyayangkan tindakan itu, tapi memaklumi. Der Kaizer Beckeunbauer pun merasa penampilan akhir Zidane sebagai salam pisah dengan cela. Tapi, sebagai mantan pemain sepak bola, yang juga pernah merasakan kerasnya atmosfir Piala Dunia, dan kejamnya tekanan kepada dirinya sebagai ruh tim --hal yang juga diemban Zidane--, dia paham atas tindakan Zidane. "Yang bisa saya katakan tentang Zidane, adalah pribadi yang tenang dan tidak berbahaya," kata Beckenbauer seperti dilansir AFP, Senin (10/7/2006). "Dia cuma terpancing..."
Ya, Zidane terpancing provokasi Materazzi. Lewat tayangan ulang, usai berebut bola, mereka memang tampak saling berbicara. Zidane masih terlihat tersenyum saat membalikkan diri, berjalan mendahului Materazzi. Kamera juga menunjukkan bibir Materazzi yang masih saja bergerak, mengucapkan sesuatu, sampai... Zidane berbalik dan menandukkan kepalanya. "Materazzi telah memprovokasi Zidane," kata Gallas, rekan setim Zidane.
"Dia mengaku kepada saya, Materazzi telah mengatakan sesuatu yang sangat serius kepadanya," ungkap Migliaccio, agen Zidane, seperti dilansir BBC. Migliaccio menambahkan bahwa Zidane tidak mengatakan secara detail apa yang dikatakan Materazzi. "Saya tidak tahu. Zidane tak ingin mengatakan hal itu namun mungkin pekan depan semua dapat diketahui," ujarnya.
Tebakan lalu beredar, kalau Materazzi telah mengatakan hal yang sensitif, seperti ungkapan rasis, sampai ejekan bahwa Zidane adalah antek teroris. Tapi, Mariane Frere, ahli pembaca gerak bibir, setelah melihat rekaman insiden itu, bisa memastikan apa yang dikatakan Materazzi. Pada satu adegan, sebagaimana dilansir The Sun, bek Inter Milan itu meremas puting Zidane. Frere membaca Materazzi mengumpat, "bola tinggi bukan untuk kotoran sepertimu." Zidane masih tersenyum dan berlalu. Tetapi, Frere dapat membaca umpatan lain dari Materazzi, "Semua orang tahu kau adalah anak seorang pelacur teroris." Usai kalimat inilah Zidane membalikkan badannya dan menanduk dada Materazzi.
Cukup? Tidak. Seperti dilansir Tribalfootball, melalui sumber orang yang dekat dengan tim Italia terungkap juga, usai meremas puting Zidane, Materazzi bertanya, "Kenapa, bukankah kau suka?" Zidane membalas, "Sedikit terlalu keras untuk membuat aku terangsang." Namun Materazzi kemudian melanjutkan, "Ya. Aku melakukannya karena aku tahu seperti apa ibumu."
Tak Stabil
Manusia memang bukan makhluk yang stabil. Secara generik, kata insan --manusia dalam bahasa arab-- pun mengartikan hal itu, sebagai "yang gampang terombang-ambing". Ambingan yang datang dari hasrat, emosi, dan mimpi-mimpi. Dan Zidane secara "alamiah" menunjukkan posisinya yang tetap sebagai manusia. Dia bukan "dewa" sebagaimana yang dielu-elukan penggemarnya. Benar, dia "sang profesor" yang mengolah bola nyaris tanpa cela. Tapi, dalam ketiadacelaan memainkan bola, tersimpan watak alamiah manusia, yang bisa marah, dan kehilangan kendali. "Saya menyimpan tumpukan agresi. Suatu saat, tiba-tiba, agresi itu keluar, dan saya meledak," aku Zidane. "... jika seseorang memprovokasi, saya tidak bisa tinggal diam. Saya bisa terjangkit untuk membalasnya. Itulah saya."
Zidane tidak sendirian. Wayne Rooney juga melakukannya. Ketika kesembuhannya dari cidera patah tulang metatarsal dipastikan, seluruh media Inggris menyambutnya. "Sang Dewa..." tulis The Sun. "Masa depan Inggris di tangannya," tulis media lain. Rooney seakan tak tersentuh cela. Kelabilan emosinya tak pernah diungkap. Tanpanya, diyakini, Inggris tak akan mampu meraih Piala Dunia. Tapi lihatlah, anak bengal itu menunjukkan dengan pasti bahwa dia bukan dewa. Dihadang Calvalho, Fereira, amarah Rooney terjaga. Dia melakukan hal buruk, yang katanya, "terjadi begitu saja tanpa sengaja," menjejakkan kakinya di selangkangan Calvalho. Dan ketika tandemnya di Manchester United, Ronaldo, berteriak protes, kemudaan Rooney bicara. Seperti Zidane, dia pun harus keluar lapangan. Gontai. Layangan lepas benang, putus asa. Dua dewa, dari dua negara, dengan kecemerlangan mengolah bola yang nyaris sama, "dimanusiakan" dengan cara yang tak berbeda, di tangan wasit yang sama, Horacio Elizondo, dari Argentina.
Tapi, tentu "salah" jika hanya melihat amarah dalam diri Zidane dan Rooney sebagai unsur kemanusiaannya. Di panggung sepak bola, lewat medium long shoot dan close up, replay juga slow motion, kita jelas melihat manusia-manusia, dan bukan dewa. Akting diving Grosso yang membuat Australia terlempar, semi-diving Henry yang membuat Portugal menangis, kedipan mata Ronaldo usai Rooney dikartumerahkan, juga khas watak manusia, yang dalam sepersekian detik, nyaris seperti otomatis, mengambil keuntungan ketika tercipta kesempatan. Sesuatu yang, mengikuti pengakuan striker Chelsea, Didier Drogba, "akan dilakukan pemain mana pun jika kesempatan itu datang." Sesuatu yang salah, dibenci, tapi dalam situasi tertentu, seperti otomatis, terlakukan, begitu saja...
Barangkali seperti saat mengambil penalti. Siapa yang sangsi pada keakuratan Gerrald atau Lampard? Ketajaman Trezequet? Dan lihatlah, dalam ketegangan, dalam tekanan sejarah kegagalan Inggris tiap penalti, dua dewa penendang akurat itu menjadi manusia yang lemah, mata yang kehilangan cahaya, dan kemudian... tangis. John Terry pun terisak-isak usai kegagalan itu. Sehingga media mulai mencemoohnya, "Terlalu cengeng untuk bisa menjadi Kapten Inggris."
Di panggung akbar sepak bola, kita memang menyaksikan keahlian yang nyaris sempurna, yang tak mungkin dimiliki manusia biasa, skill para "dewa" -- meski, entah seperti apa sebenarnya dewa-dewa itu. Kita meyaksikan sosok-sosok yang dicitrakan media seperti cahaya, menyilaukan, tak terjamah, barangkali menjadi seperti impi. Tapi, skill itu dihidupi, dinapasi sebungkus daging yang masih bernama manusia, tempat benar dan salah, puji dan cela. Maka, senyum sabar Ronaldinho, tandukan Zidane, kartu merah dari Elizondo --yang bahkan tak menyaksikan peristiwa itu--, dan yang terutama, caci-maki agresi Materazzi, adalah tingkah manusiawi. Dan kita harus bersyukur karena menyaksikan permainan manusia, bukan robot atau dewa yang sempurna. Bukankah hikmah selalu kita temukan dalam cacat, dalam sesuatu yang tak sempurna?
[Artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Kamis 13 Juli 2006]