window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Friday, March 17, 2006

Mitos-mitos yang Dilumpuhkan

"KITA percaya, sebagai seorang ibu, Ayu Azhari akan memikirkan yang terbaik untuk anaknya. Ayu pasti telah melihat sosok Mike sebagai ayah yang baik bagi anak-anaknya."



Kalimat di atas dikatakan Fiantika Ambadar, presenter "Silet Spesial" (12/3) sebagai kesimpulan atas kisah asmara Ayu dan Mike "White Lion" Tramp. Dalam tayangan 30 menit itu, dikupas bagaimana masa depan anak-anak Ayu dengan dua suami terdahulu, ketika dia memutuskan akan mengikuti Mike ke Australia. "Ayu pasti telah memikirkan semuanya. Jika akan membawa anak-anak ke sana, dia pasti akan membicarakannya dengan saya," kata Teemu, mantan suami kedua Ayu.

Fiantika, juga Teemu, mengatakan sesuatu yang baik tentang Ayu. Lebih tepatnya, kedua orang ini menguatkan nilai baik pada sosok seorang ibu. Ketika Fiantika berkata, "Kita percaya, sebagai seorang ibu..." kita tahu, yang dia maksudkan adalah Ayu sebagai ibu, bukan Ayu sebagai yang lain. Karena, dalam tayangan "Silet" beberapa bulan lalu, moralitas Ayu dipertanyakan menyangkut kelahiran Isabel yang, sepertinya, tanpa didahulu pernikahan. Satu sosok yang sama, di mata "Silet", ternyata punya moralitas yang berbeda.

Kasus Zarima bisa lebih menerangkan dualitas ini. Dua bulan lalu, dia bagai singa terluka saat berikrar akan merebut hak asuh anaknya. "Saya ibunya. Tidak ada pun seorang ibu yang rela dipisahkan dari anaknya," ucapnya. Tapi, awal Maret ini, sosok yang sama justru diadukan ke polisi karena melakukan aborsi, yang juga melibatkan ibu Zarima, sebagai penjamin aborsi itu. Tak ada lagi kalimat, "Sebagai seorang ibu..." dari bibir tipis wanita seksi itu. Dia hanya menebar senyum, usaha paling maksimal untuk menutupi kegundahan hatinya.


Genggam Mitos

Menggenggam mitos. Itulah yang dilakukan oleh Ayu dan Zarima dalam kasus di atas. Tentu, mitos yang mereka genggam adalah mitos kebaikan, mitos seorang ibu. Dan cara ini bukan sesuatu yang baru. Nyaris semua artis pernah melakukan hal ini, menyandarkan diri pada sosok yang telah menjadi mitos (cerita) kebaikan. Sosok ibu hanya satu contoh, dan anehnya, citraan ibu ini pula yang paling sering digenggam. Fatma Farida, ibu Kiki Fatmala, pernah "memainkan" mitos itu dengan demikian baiknya. Dia tunjukkan bagaimana sebagai seorang ibu dia dilukai anaknya. "Sampai hati dia melakukan ini, pada ibunya sendiri... Anak durhaka..." Dia mengambil mitos ibu untuk menunjukkan bagaimana kesakitan dirinya pribadi agar dapat juga dipahami oleh orang lain, dan menjadi kesakitan bersama. Ini karena nilai mitos ibu, diyakini dan dijaga, serta terus dihidupkan oleh orang banyak. Karena itulah, mitos ini "wajib" digengam karena dia memiliki kekuatan untuk diyakini banyak pihak. "Kita percaya..." kata Fiantika Ambadar.

Penggenggaman mitos ini tidak hanya dilakukan artis, tapi juga tayangan teve lain. Sinetron Ramadan jelas tayangan yang paling suka berjalan di atas mitos-mitos itu. Sinetron religius-mistik yang sampai kini masih membanjiri tayangan malam, juga mengukuhi mitos ini, dan menguatkannya dengan "ancaman" bagi pelanggar mitos. Wawancara dan profil artis, juga banyak bersandar dari mitos, mulai dari kerja keras, keyakinan, doa, dan kekuatan mengalami penderitaan.

Kenapa menggenggam mitos itu penting? Banyak alasan yang dapat diungkapkan, meski dua faktor berikut sudah sangat mewakili. Pertama, mitos merupakan statement of fact. Mitos bukan hanya cerita, pernyataan, pesan, tapi sudah menjadi bukti bahwa konsep itu faktual. Nyata dan benar. Sebagai fakta, mitos tidak hanya benar dan menyakinkan, melainkan juga abadi. Mitos kasih seorang ibu barangkali contoh yang paling tepat tentang keabadian kebenaran itu. Dengan menjadi fakta, sebuah mitos tak lagi bisa diganggu-gugat. Terima, habis perkara!

Kedua, mitos itu motivasional. Selain tak dapat diganggu-gugat, mitos juga memotiasi orang untuk melakukan hal sama. Dalam hal ini, mitos berubah menjadi perintah, memerintah untuk diikuti, untuk di-alami. Ketika Fatma Farida mengatakan, "Sakit hati saya, ibu mana yang tidak sakit kalau..." otomatis telah terjadi loncatan perintah pada khalayak untuk ikut merasakan sakitnya.



Dengan dua ciri itu saja, sudah dapat dibayangkan betapa pentingnya mitos digenggam dan dikeluarkan di saat yang tepat, sebagai senjata untuk dapat dipahami dan dibenarkan tindakannya. Masalahnya kemudian adalah, berapa lama mitos itu dapat bertahan?


Siapa Kita?

Sebagai statement of fact, mitos memang tidak lagi dapat diganggu-gugat. Dia kuat, tak terbantahkan. Sayangnya, penggenggam-penggenggam mitos ini tidak mampu memainkan mitos itu selalu dalam situasi yang selalu tepat. Meski kuat, mitos memiliki kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kasus Zarima dan Fatma Farida menunjukkan hal ini. Dengan mengenggam mitos seorang ibu, Fatma memang berhasil meraih simpati sebagai sang korban. Tapi, ketika "eksplorasi" kesakitan itu menjadi demikian mengerikannya, mitos tadi kehilangan daya motivasinya. Ada batas sebuah mitos, ketika dia digerakkan sebagai kebencian. Ketika Fatma mulai menyumpahi Kiki sebagai anak durhaka, dan "Jika mati, aku haramkan dia melihatku..." mitos ibu yang dia genggam, runtuh. Fatma telah melumpuhkan mitos ibu dengan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Dia telah melepaskan genggamannya, karena ibu yang "menyakiti anaknya", "ibu yang suka menyumpah" dan "ibu yang berbicara dalam marah dan dengki" bukan merupakan statement of fact. Zarima, juga artis-artis lain, pun acap menggenggam mitos ibu dalam perebutan hal asuh anaknya. Tapi ketika Zarima tersangkut aborsi, ketika Reza meninggalkan anaknya untuk "pesiar" di Bali bersama Ary Suta, mitos itu lumpuh. Karena aborsi dan sosok ibu yang mementingkan diri sendiri, sosok ibu yang "selingkuh" bukan merupakan statement of fact dari mitos itu.

Pelumpuhan mitos semacam di atas telah lama berlangsung. Akibatnya, sesuatu yang semula bukan bagian dari statement of fact justru mengubah dirinya menjadi bagian dari yang tak dapat diganggu-gugat tadi. Mitos menciptakan anti-mitos. Dan kini, antimitos ini, telah menjadi mitos tersendiri.

Ketika Fiantika Ambadar berkata, "Kita percaya, sebagai seorang ibu...", pertanyaannya adalah, "Siapakah kita? Siapakah yang kita percaya?" Apakah kita percayai Ayu, Zarima, Fatma Farida yang memang seorang ibu, yang tahu bagaimana menggemggam mitos itu --sekaligus melumpuhkannya? Rasanya tidak. Karena dalam satu hari saja, kita dapat melihat di "TKP", Buser", "Patroli", "Lacak", "Jejak Kasus" dan "Sergap" bagaimana mitos-mitos ini dilumpuhkan dengan ringannya. Kita melihat ibu yang melacurkan anaknya, ibu yang menjual bayinya, ibu yang selingkuh! Bapak yang memperkosa anaknya, bapak yang menjual anaknya, Bapak yang memiliki cucu dari anak kandungnya! Kita "seperti" telah kehilangan mitos itu.

Maka, ketika Fiantika Ambadar berkata, "Kita percaya, sebagai seorang ibu..." Marilah kita percaya, bahwa mitos itu benar dalam dirinya sendiri, ketika sosok ibu hanya bernama IBU, dan belum berlabel Ayu, Zarima, atau Fatma Farida, atau nama-nama lainnya.

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 19 Maret 2006]