...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, March 02, 2006
Iman di dalam Keluarga Tak Sempurna
"YA ALLAH, di manakah Ibu Kipli. Kipli Kangen. Kipli ingin Ibu. Jika Ibu Kipli masih hidup, kembalikanlah kepada Kipli ya Allah... Kipli kangen Ibu."
Doa Kipli itu barangkali salah satu adegan yang paling mengharukan dalam sinetron "Kiamat Sudah Dekat". Doa ajaran Haji Romli, yang dilapalkan Kipli dengan bibir dower bergetar dan air mata, secara khusus menegaskan faktor ketiadaan orang tua di dalam sinetron itu. Bahkan, keseluruhan cerita di dalam sinetron itu justru dibangun oleh ketegangan di dalam keluarga yang tak sempurna: Saprol tak berayah, Kipli dan Sarah yang tanpa ibu. Di sisi lain, secara alamiah disandingkan Fandi, yang memiliki keluarga sempurna, berayah-ibu, ditambah seorang adik yang cukup jelita, dan ingat, kekayaan yang luar biasa. Dan dari perbandingan inilah kemudian lahir cerita.
Secara samar, sinetron ini sebenarnya menunjukkan kontras keimanan di dalam dua tipe keluarga, yang sempurna dan tidak. Fandi yang tak kekurangan apa pun di dalam hidupnya, awalnya tak memiliki keyakinan akan Tuhan. Salat pun dia tidak mengerti. Sementara Saprol, Kipli, dan Sarah, yang tumbuh di dalam keluarga tak sempurna, justru berada dalam balutan iman. Hidup mereka jalani dengan sabar dan istigfar. Dan kepada merekalah, Fandi berlabuh, mencari dan menumbuhkan iman di dalam dirinya, yang kemudian dia tularkan kepada keluarga dan temannya.
Keimanan di dalam keluarga yang tak sempurna? Ya. Cara tutur semacam ini memang bukan hal baru di dalam sinetron Indonesia. Keyatiman, atau kepiatuan, di dalam televisi, memang selalu didekatkan dengan keimanan. Meski dengan penceritaan yang tidak semanis "Kiamat Sudah Dekat", sinetron-sinetron Ramadan telah lama mengadopsi gaya seperti itu. Sinetron "Hikmah" misalnya, menggambarkan Ana (Tamara Bleszynksi)yang hanya beribu tiri, tapi hidup penuh syukur dan tafakkur. Sosok gadis yatim-piatu dan miskin yang selalu diperankan Krisdayanti, "Adam dan Hawa" yang dimainkan Syahrul dan Marshanda, juga menegaskan style ini.
Ada apa dengan keluarga yang sempurna? Mengapa kesempurnaan keluarga telah kehilangan pesona?
Tuturan Baru
Film Ada Apa dengan Cinta? barangkali dapat dilihat sebagai pijakan awal pemihakan pada keluarga yang tak sempurna. Di film ini, sosok Alya (Ladya Cheryl) hidup dalam tekanan kekerasan rumah tangga. Ayahnya, tiap bertengkar, selalu memukul ibu, dan terkadang, dirinya. Tekanan ini pada puncaknya membuat Alya ingin bunuh diri. Alya terselamatkan. Dan untuk mengakhiri tekanan itu, ibu Alya memilih bercerai.
Perceraian sebagai jalan keluar. Itu cara tutur yang langka dalam film dan sinetron kita. Acap kali, untuk keutuhan keluarga, konflik pasti dapat dikelarkan. Ayah atau ibu bertobat. Harmoni terjaga. AADC? menihilkan kemungkinan itu.
Kritikus film Eric Sasono mencatat pengedepanan keluarga yang tak sempurna (single parent) menjadi tren baru dalam sinema. Setelah AADC?, Pasir Berbisik dan Eliana-Eliana pun menuturkan hal yang sama, tentang single parent. Bahkan Banyu Biru dan Brownis masih juga memakai pola ini. Ketiadaan salah satu orang tua menjadi sumber konflik di satu sisi, dan di sisi lain mendekatkan. Daya dalam Pasir berbisik dan Eliana dalam Eliana-Eliana memang mempertanyakan sosok ayah dan berontak dari kukungan ibu. Tapi, apa pun bentuknya, cerita kemudian menjadikan ketaksempurnaan itu diterima dengan kesadaran.
Nah, dalam sinetron, konflik tentang single parent ini justru tidak lahir dengan pertanyaan atas ketaksempurnaan itu. Dalam sinetron Ramadan misalnya, konflik lahir dari hubungan antara keluarga yang tak sempurna dengan keluarga sempurna, dan pasti berkait dengan cinta dan harta. Nyaris tak ada ruang untuk mempertanyakan ketaksempurnaan itu. Ana yang yatim tak meminta diceritakan, bahkan tak merasakan "apa pun" atas keyatiman itu. Annisa (Krisdayanti) pun tak pernah goyah "identitas" atas keyatiman atau kepiatuannya. Adam dan Hawa malah melenggang, "kekurangan" sebagai anak yang tak berayah atau ibu tak tampil atau tak mendapat porsi dalam cerita. Konflik batin bukan lahir dari pertanyaan atas identitas diri, melainkan konflik yang selalu mengerucut pada cinta. Dalam Kiamat Sudah Dekat pun ketaksempurnaan itu semula tidak mendapat porsi besar. Setelah "cerita utama" tentang cinta Fandi-Sarah selesai, barulah pertanyaan tentang ibu oleh Kipli mengemuka. Pertanyaan Saprol tentang ayahnya pun lahir kemudian, ketika ibunya akan dinikahi Haji Romli. Dan, ini yang menarik, pertanyaan itu hanya berupa keingintahuan belaka --ibu di mana, bapak di mana-- tidak sampai merasuk pada krisis konflik diri. Atau mungkin karena Kipli dan Saprol masih anak-anak? Jelas tidak, karena Sarah yang sudah dewasa pun tidak mengalami hal itu. Artinya, ketaksempurnaan keluarga di dalam sinetron sudah jadi begitu saja, diterima, dijalani, habis perkara. Seakan, sekali lagi, seakan, keluarga single parent adalah hal yang biasa, lumrah, wajar, dan tak perlu lagi dipersoalkan.
Gerusan Idealisasi
Apakah keluarga yang sempurna memang telah kehilangan pesona? Jelas tidak. Sinetron dan film di atas hanya mencoba menggambarkan "arus besar" penerimaan pada hal itu. Artinya, sebagai cerminan realitas sosial, sinetron semacam itu menunjukkan pergeseran pandang tentang keluarga. Ideologisasi Orde baru tentang keluarga sempurna yang bahagia --ayah, ibu, dua anak lelaki dan perempuan, (diwakili keluarga Fandi) telah runtuh. Ideologisasi itu memang masih terjaga dalam bentuk fisik, tapi mengalami pengerdilan makna, seperti keluarga Fandi yang kehilangan pegangan hidup: raibnya cahaya iman. Pengikisan ideologi ini diperparah dengan penggambaran keluarga utuh yang tidak bahagia. Kasus perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, yang acap tayang di infotainmen, lalu juga sinetron, makin menggerus. Apalagi, citra single parent seperti yang tampil dalam diri Tety Liz, ibu dari Marcella Zalianty, sangat mengena. Atau seperti kiprah Kanaya Tabitha.
Namun, penggerusan terkuat idealisasi keluarga sempurna itu datang seperti dalam doa Kipli di atas: pengakuan kepada kekuasaan Tuhan. Pergi dan hilangnya seorang ibu atau ayah, adalah bagian dari rencana-Nya. Kesempurnaan atau ketaksempurnaan keluarga bukan rencana manusia, tapi pemberian dan karunia-Nya. Karena sesempurnanya keluarga bukan terletak pada sosok ayah dan ibu, anak lelaki atau perempuan, juga harta kekayaan, melainkan hadirnya cahaya keimanan. Keimananlah yang menjadikan sebuah keluarga sempurna, bagaimanapun kondisinya. Dan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" menunjukkan dengan manis hal itu.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 6 Maret 2006]
Doa Kipli itu barangkali salah satu adegan yang paling mengharukan dalam sinetron "Kiamat Sudah Dekat". Doa ajaran Haji Romli, yang dilapalkan Kipli dengan bibir dower bergetar dan air mata, secara khusus menegaskan faktor ketiadaan orang tua di dalam sinetron itu. Bahkan, keseluruhan cerita di dalam sinetron itu justru dibangun oleh ketegangan di dalam keluarga yang tak sempurna: Saprol tak berayah, Kipli dan Sarah yang tanpa ibu. Di sisi lain, secara alamiah disandingkan Fandi, yang memiliki keluarga sempurna, berayah-ibu, ditambah seorang adik yang cukup jelita, dan ingat, kekayaan yang luar biasa. Dan dari perbandingan inilah kemudian lahir cerita.
Secara samar, sinetron ini sebenarnya menunjukkan kontras keimanan di dalam dua tipe keluarga, yang sempurna dan tidak. Fandi yang tak kekurangan apa pun di dalam hidupnya, awalnya tak memiliki keyakinan akan Tuhan. Salat pun dia tidak mengerti. Sementara Saprol, Kipli, dan Sarah, yang tumbuh di dalam keluarga tak sempurna, justru berada dalam balutan iman. Hidup mereka jalani dengan sabar dan istigfar. Dan kepada merekalah, Fandi berlabuh, mencari dan menumbuhkan iman di dalam dirinya, yang kemudian dia tularkan kepada keluarga dan temannya.
Keimanan di dalam keluarga yang tak sempurna? Ya. Cara tutur semacam ini memang bukan hal baru di dalam sinetron Indonesia. Keyatiman, atau kepiatuan, di dalam televisi, memang selalu didekatkan dengan keimanan. Meski dengan penceritaan yang tidak semanis "Kiamat Sudah Dekat", sinetron-sinetron Ramadan telah lama mengadopsi gaya seperti itu. Sinetron "Hikmah" misalnya, menggambarkan Ana (Tamara Bleszynksi)yang hanya beribu tiri, tapi hidup penuh syukur dan tafakkur. Sosok gadis yatim-piatu dan miskin yang selalu diperankan Krisdayanti, "Adam dan Hawa" yang dimainkan Syahrul dan Marshanda, juga menegaskan style ini.
Ada apa dengan keluarga yang sempurna? Mengapa kesempurnaan keluarga telah kehilangan pesona?
Tuturan Baru
Film Ada Apa dengan Cinta? barangkali dapat dilihat sebagai pijakan awal pemihakan pada keluarga yang tak sempurna. Di film ini, sosok Alya (Ladya Cheryl) hidup dalam tekanan kekerasan rumah tangga. Ayahnya, tiap bertengkar, selalu memukul ibu, dan terkadang, dirinya. Tekanan ini pada puncaknya membuat Alya ingin bunuh diri. Alya terselamatkan. Dan untuk mengakhiri tekanan itu, ibu Alya memilih bercerai.
Perceraian sebagai jalan keluar. Itu cara tutur yang langka dalam film dan sinetron kita. Acap kali, untuk keutuhan keluarga, konflik pasti dapat dikelarkan. Ayah atau ibu bertobat. Harmoni terjaga. AADC? menihilkan kemungkinan itu.
Kritikus film Eric Sasono mencatat pengedepanan keluarga yang tak sempurna (single parent) menjadi tren baru dalam sinema. Setelah AADC?, Pasir Berbisik dan Eliana-Eliana pun menuturkan hal yang sama, tentang single parent. Bahkan Banyu Biru dan Brownis masih juga memakai pola ini. Ketiadaan salah satu orang tua menjadi sumber konflik di satu sisi, dan di sisi lain mendekatkan. Daya dalam Pasir berbisik dan Eliana dalam Eliana-Eliana memang mempertanyakan sosok ayah dan berontak dari kukungan ibu. Tapi, apa pun bentuknya, cerita kemudian menjadikan ketaksempurnaan itu diterima dengan kesadaran.
Nah, dalam sinetron, konflik tentang single parent ini justru tidak lahir dengan pertanyaan atas ketaksempurnaan itu. Dalam sinetron Ramadan misalnya, konflik lahir dari hubungan antara keluarga yang tak sempurna dengan keluarga sempurna, dan pasti berkait dengan cinta dan harta. Nyaris tak ada ruang untuk mempertanyakan ketaksempurnaan itu. Ana yang yatim tak meminta diceritakan, bahkan tak merasakan "apa pun" atas keyatiman itu. Annisa (Krisdayanti) pun tak pernah goyah "identitas" atas keyatiman atau kepiatuannya. Adam dan Hawa malah melenggang, "kekurangan" sebagai anak yang tak berayah atau ibu tak tampil atau tak mendapat porsi dalam cerita. Konflik batin bukan lahir dari pertanyaan atas identitas diri, melainkan konflik yang selalu mengerucut pada cinta. Dalam Kiamat Sudah Dekat pun ketaksempurnaan itu semula tidak mendapat porsi besar. Setelah "cerita utama" tentang cinta Fandi-Sarah selesai, barulah pertanyaan tentang ibu oleh Kipli mengemuka. Pertanyaan Saprol tentang ayahnya pun lahir kemudian, ketika ibunya akan dinikahi Haji Romli. Dan, ini yang menarik, pertanyaan itu hanya berupa keingintahuan belaka --ibu di mana, bapak di mana-- tidak sampai merasuk pada krisis konflik diri. Atau mungkin karena Kipli dan Saprol masih anak-anak? Jelas tidak, karena Sarah yang sudah dewasa pun tidak mengalami hal itu. Artinya, ketaksempurnaan keluarga di dalam sinetron sudah jadi begitu saja, diterima, dijalani, habis perkara. Seakan, sekali lagi, seakan, keluarga single parent adalah hal yang biasa, lumrah, wajar, dan tak perlu lagi dipersoalkan.
Gerusan Idealisasi
Apakah keluarga yang sempurna memang telah kehilangan pesona? Jelas tidak. Sinetron dan film di atas hanya mencoba menggambarkan "arus besar" penerimaan pada hal itu. Artinya, sebagai cerminan realitas sosial, sinetron semacam itu menunjukkan pergeseran pandang tentang keluarga. Ideologisasi Orde baru tentang keluarga sempurna yang bahagia --ayah, ibu, dua anak lelaki dan perempuan, (diwakili keluarga Fandi) telah runtuh. Ideologisasi itu memang masih terjaga dalam bentuk fisik, tapi mengalami pengerdilan makna, seperti keluarga Fandi yang kehilangan pegangan hidup: raibnya cahaya iman. Pengikisan ideologi ini diperparah dengan penggambaran keluarga utuh yang tidak bahagia. Kasus perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, yang acap tayang di infotainmen, lalu juga sinetron, makin menggerus. Apalagi, citra single parent seperti yang tampil dalam diri Tety Liz, ibu dari Marcella Zalianty, sangat mengena. Atau seperti kiprah Kanaya Tabitha.
Namun, penggerusan terkuat idealisasi keluarga sempurna itu datang seperti dalam doa Kipli di atas: pengakuan kepada kekuasaan Tuhan. Pergi dan hilangnya seorang ibu atau ayah, adalah bagian dari rencana-Nya. Kesempurnaan atau ketaksempurnaan keluarga bukan rencana manusia, tapi pemberian dan karunia-Nya. Karena sesempurnanya keluarga bukan terletak pada sosok ayah dan ibu, anak lelaki atau perempuan, juga harta kekayaan, melainkan hadirnya cahaya keimanan. Keimananlah yang menjadikan sebuah keluarga sempurna, bagaimanapun kondisinya. Dan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" menunjukkan dengan manis hal itu.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 6 Maret 2006]