window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Tuesday, April 11, 2006

Mengarifi Kasus Nia-Gusti

Di tangan infotainmen, kasus Gusti dan Nia telah "selesai" bahkan sebelum memasuki ruang persidangan



Di layar teve itu, wajah Gusti Randa terlihat lelah. Ia tak berhenti mengisap rokok. "Hancur sudah... hancur semuanya," ucapnya, sembari menjentikkan abu rokoknya. "Ini sudah kiamat...." Ia memalingkan muka. Kamera "Kabar-Kabari" pun hanya menangkap sisi kiri wajahnya, dan matanya yang mengerjap cepat. "Ini soal harga diri seorang lelaki, seorang suami, seorang ayah. Itu saja. Tidak ada persoalan lain," katanya cepat, ketika ditanyakan apakah ada motif lain dalam kasus ini. Dia juga siap jika diperkarakan oleh pihak yang merasa sebagai Mr X dan Mr Y. "Akan saya hadapi," tandasnya.

Tapi, persoalan yang dihadapi Gusti lebih dari itu. Mr X dan Mr Y hanya satu sisi yang berjajaran dengan Nia Paramitha. Sisi lain, yang terbesar, adalah "gosip" yang akan "diproduksi" infotainmen. Dan Gusti, sebagai aktor dan juga pengacara, menyadari betul hal itu. Dia tidak abai.

Contoh bagaimana gosip itu diproduksi adalah soal ketakmampuan Gusti secara finansial. Begitu dia mengajukan gugatan cerai, yang otomatis membuka kasus aborsi dan "perselingkuhan" Nia Paramitha, langsung beredar kabar tentang Gusti yang tak lagi mampu membiayai rumah tangga mereka. Dan perselingkuhan Nia itu, jika pun terjadi, "disimpulkan" infotainmen karena hilangnya kemampuan Gusti secara finansial. Ada semacam "pemaafan" di sini.

Ingat, kesimpulan semacam ini bukan hal baru bagi infotainmen. Ketika Cut Keke menggugat cerai, ketakmampuan Gathan dalam finansial pun menjadi bahan gosip paling awal. Juga perceraian Ayu Azhari dan Teemu, Elma dan Fary Indarto, Huges dan Alvin, sampai terakhir, perceraian Tamara dan Rafly. Lucunya, dari sekian kasus yang disimpulkan bercerai karena urusan uang itu, sampai kini tak pernah terbukti validitasnya. Untuk Elma dan Ayu Azhari kemudian jelas terungkap, karena hadirnya orang ketiga. Untuk Huges dan Tamara justru lebih mengemuka karena "kelainan" seksual. Uang, seberapa pun pentingnya, bukan faktor utama dalam konflik rumah tangga selebritis. Tapi di mata infotainmen yang harus menghadirkan sebab-musabab, faktor uang menjadi sisi yang paling gampang dipergunjingkan.


Selingkuh terbela

"Saya menduga, nanti akan ada berita bahwa Gusti juga pernah selingkuh. Gusti punya perempuan lain. ...Nia Paramitha capek di rumah-lah. Itu sebentar lagi pasti ada, yakin saya," jelas Gusti saat press conference di kantor PBIJ Mampang, Jakarta. Dan praduga Gusti ini memang terjadi. Capek dipenuhi dengan seluruh informasi skandal Nia dari sisi Gusti, kamera infotainmen pun berbalik arah menyorot sudut Nia Paramitha. Selain ketakmampuan finansial, hadir lagi gosip lain, kekangan dan kecemburuan Gusti yang berlebihan, sampai kelelahan Nia mengurusi anak-anak. Tapi, gosip ini tidak cukup kuat menyangga dan membakar kasus ini. Gusti ternyata punya tiga rumah mewah. Selama pisah rumah, dia memilih menginap di rumahnya yang lain. Soal kekangan, terungkap Nia sangat bebas pergi. Soal lelah mengurusi anak-anak, ini bantahan Gusti. "Saya malah katakan Mitha tidak dekat dengan anak-anak. Untuk diketahui ya, kami punya empat baby sitter yang mengurus anak kami. Bisa jadi anak-anak lebih dekat dengan baby sitter daripada dengan Mitha."

Nah, soal Gusti punya perempuan lain, infotainmen memang "memproduksinya" dengan cara yang aneh. "Silet" misalnya, memainkan narasi tentang kemungkinan ada wanita lain di dalam kehidupan Gusti. Dan tuduhan selingkuh kepada Nia hanya usaha mengaburkan cerita yang sebenarnya. "Silet" mendudukkan Cut Keke sebagai perempuan lain itu.

Asumsi kemudian dibangun. Narator menjelaskan masa lalu keduanya. Keke dan Gusti memang pernah berpacaran, bahkan nyaris ke jenjang pernikahan. Kini, Keke telah menjanda. Dan "hasutan" diletakkan, siapa tahu di belakang Nia kedua orang ini menjalin hubungan asmara lagi. "Apakah proses cerai Gusti akan membuat asmara mereka terjalin kembali?" tanya narator.

Lucunya, asumsi ini tidak dibangun dengan fakta. Semata-mata isapan jempol yang "melambung" dengan gaya hiperbolis narator "Silet". Cut Keke yang dikonfirmasi justru menyatakan berduka atas kasus Gusti dan Nia. "Saya berharap semoga mereka mendapatkan jalan terbaik," tuturnya. Apakah Keke masih dekat dengan Gusti? Tidak. "Praktis, sejak sepuluh tahun ini kami tidak lagi berkomunikasi," terang Keke.

"Silet" tak jelas tengah melakukan apa, tak tahu menyilet siapa. Dan beberapa infotainmen lain juga melakukan langkah yang nyaris sama. Menayangkan Nia yang tenang-tenang saja di rumah, dengan narasi yang seperti "membela", bahwa sebagai selebritis Gusti pun bukan lelaki bersih, yang mungkin saja bisa selingkuh.


Benak cemar

Ya, asumsi memang menjadi bagian paling penting dalam infotainmen. Sudah menjadi ciri khas dalam tayangan gosip, sebuah cerita disusun dengan menampilkan asumsi-asumi lalu dibumbui praduga dan penguatan kilas-kilas foto. Konfirmasi kemudian hanya menjadi "langkah aman" infotainmen. Dalam kasus Gusti Randa, bangunan asumsi ini sangat kentara. Begitu Gusti ke pengadilan, nama orang ketiga yang dituduhkan menghamili Nia, sudah disebutkan dalam beberapa tayangan infotainmen. Entah dari mana nama itu, karena sampai kini pun Gusti tidak pernah menyebutkan nama. Tapi infotainmen jalan terus, yang semula hanya menyebut "petinggi sebuah partai politik", "pimpinan PAN", sampai akhirnya mengerucut pada dua nama, Andi Harun dan Soetrisno Bachir. Dan kemudian inilah yang terjadi dan mungkin diharapkan infotainmen: kehebohan! Dengan asumsi itu, infotainmen telah membuat kasus ini menjadi "finish" bahkan sebelum menyentuh pengadilan. Penyebutan dua nama itu membuat apa pun yang kelak terjadi pada Gusti Randa --kalah di pengadilan, misalnya-- menjadi sesuatu yang wajar, dan memanjangkan kasus ini pada skenario baru, asumsi baru: Gusti tidak tahu siapa yang dia hadapi. Bahasa iklannya, "Kingkong dilawan!"

Ketika dalam jumpa pers Gusti berkata, "Ini persoalan pribadi. Orang itu telah datang, dan mengakui perbuatannya. Dia Minta maaf! 'Tolong arifi saya, arifi saya,' itu katanya. Itu di depan banyak saksi. Jadi jangan dilebarkan ke mana-mana." Gusti tahu dan yakin, akan ada upaya membuat masalah itu melebar ke mana-mana. Karena, kalau hanya menjadi persoalan pribadi, masalah Gusti akan cepat selesai. Intrik menjadi tidak ada, dan akhir gampang diduga. Dan infotainmen tidak menginginkan hal itu. Episode harus berlanjut, dan wajib kejar tayang. Tidak ada hal yang bersifat pribadi di mata televisi. Maka infotainmen pun menyebutkan nama, membangun asumsi, memproduksi intrik, mencari korban, meluaskan masalah. Dengan itu, cabang gosip baru akan muncul, dan benak penonton akan dipenuhi cerita, praduga, prasangka, bahkan lebih dalam dan tajam, lebih melebar daripada yang ditayangkan di televisi. Di kepala penonton tercipta sinambung gosib dan rasa haus untuk mendapatkan sensasi pembenaran dari tiap kasus, dengan jalan mencocokkannya pada gosip baru yang akan ditayangkan infotainmen. Dengan cara itulah infotainmen dapat terus bertahan dan ditunggu. Dan kasus Gusti, hanya contoh kecil betapa gampangnya benak kita dicemari.

[Artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, 14 April 2006]