...tera di sesela gegas-gesa
Friday, July 28, 2006
Juri-juri tanpa Independensi
Juri "Indonesian Idol" seharusnya mampu menjaga diri untuk tidak bertingkah seperti para penonton.
"Ibarat krupuk, kamu rocker melempem!" nilai Dimas Jay atas penampulan Ihsan. Itu penilaian yang "seragam" atas penampilan Ihsan saat menyanyikan lagu "Sobat", yang dipopulerkan grup Padi. Dan di malam "spektakuler" minggu lalu, yang menyisakan 5 kontestan itu, penampilan Ihsan memang yang "terburuk". Bahkan, kalau mengikuti seluruh ajang spektakuler dari awal, Ihsan-lah yang memang selalu tampil di bawah standar. Indra Lesmana menilainya dengan, "Kamulah kontestan yang paling lambat perkembangannya dibandingkan yang lain."
Itu belum seberapa. Indra dengan marah, pernah menyemprotnya, "Bosan saya melihat kamu. Bosan! Begitu-gitu aja!" Titi DJ yang biasanya "lembut" terhadap Ihsan, tak kuasa juga menahan "cacian". Hanya saat menyanyikan lagu "Bento" milik Iwan Fals Ihsan sedikit mendapat pujian, meski tetap dengan celaan keras dari Indy Barens. Uniknya, fans Ihsan banyak. Dia, mengutip kata Titi DJ, "punya wibawa yang membuat orang simpati." Sehingga, setiap kali tampil dan dinilai buruk, ratusan koor "Hhuuu...." menyerang para juri.
Ihsan memang "istimewa", justru bukan karena suaranya. Waktu penjaringan, dialah sosok yang membuat Titi DJ nyaris menangis, karena digambarkan begitu "menderita". Dan, sebelum lolos ke Jakarta, Titi membelikannya celana dan kemeja. Ihsan juga selalu digambarkan dalam "Idol Banget" sebagai sosok yang polos dalam kemiskinan. Dia mengundang simpati, seperti kisah Verry di kontes "AFI" Indosiar. Mata bocahnya yang selalu basah saat mendapatkan cercaan, sungguh mengundang iba. Tapi, bagaimana pun, "Indonesian Idol" adalah kontes suara. Dan, Ihsan tak tersisih juga, hanya karena beberapa hal yang "disengaja."
Menebak Poling
Minggu lalu, saat Atta dan Daniel bertanya pada juri, siapa yang kira-kira akan tersingkir, Indra menjawab, "Dilry!" Titi memilih Maria, Indy juga, dan Dimas Jay, setelah berpikir sesaat, mengucap, "Maria!" Ihsan di mata para juri bukan sosok yang pantas tersingkir. Dua minggu lalu, saat Ihsan tampil tak sebagus yang lain, juri pun memilih Dirly dan Maria yang akan tersingkir. Ihsan tak juga terpilih. Ini aneh.
Dirly menyanyikan lagu "I Miss You But I Hate You" Slank, berdandan nge-rock habis. Titi memuji habis-habisan. Hanya Indi yang sedikit mencela napasnya yang tak terkontrol. Maria tampil lebih menarik lagi. Vokalnya bening saat melantunkan "Jangan Ada Angkara" milik Nicky Astria. Cuma, karena di "Indonesia Idol" "diharamkan" bernyanyi sama dengan gaya penyanyi asli, Maria kena "semprot" juga. Tapi jelas, dari komentar juri --bahkan di minggu-minggu sebelumnya-- dia dan Dirly lebih bagus daripada Iksan. Maka, ada apa sampai juri tak pernah berpikir bahwa Ihsan akan tersingkir?
Di sinilah terlihat, juri tidak melakukan penilaian atas kualitas penyanyi. Dirly dan Maria memang selalu masuk zona tidak aman. Nyaris setiap minggu, dukungan suara untuk dua orang ini selalu mendebarkan. Sehingga, menebak bahwa salah satu dari mereka akan tersingkir, bukan hal sulit. Tapi, tebakan semacam inilah yang tak boleh dilakukan para juri. Mereka dipilih untuk menentukan siapa penyanyi terbaik dalam tiap babak, memberi pendapat, yang "mungkin" bisa memengaruhi penonton. Dengan itu diharapkan, kelak yang menjadi next "Indonesian Idol" adalah peserta yang secara teknik vokal dan gaya panggung memang paling mumpuni. Karena kewajiban menilai dan "mendidik" penonton itulah, juri harus independen terhadap tekanan apa pun. Setiap "vonis" yang mereka jatuhkan harus berdasarkan penilaian pribadi mereka, bukan terpengaruh atas apa pun. Dan memang itu yang mereka tunjukkan saat menilai kontestan, tapi tidak saat memutuskan siapa yang akan tersingkir. Juri tidak memilih Ihsan. Karena mereka tahu, dari "sejarah" perolehan suara selama ini, Ihsan cenderung aman. Juri pun dengan sadar memilih Maria atau Dilry. Juri dengan patuh mengikuti kehendak penonton, menebak hasil poling. Di sini, tampak, juri kehilangan independensinya, hanyut. Bukan mendidik penonton tapi tanpa sadar, justru "dididik!"
Kasus Ihsan bukan yang pertama. Sebelumnya, Delon telah mengalami. Siapa yang tidak ingat betapa galaknya para juri dengan penampilan Delon. "Hanya jual tampang!" cerca Indra atau Mutia Kasim. Soal betapa berbanding terbaliknya "kualitas" tampang dan suara Delon, menjadi hal yang serius di mata juri. Delon tak berbakat jadi penyanyi. Tapi, berapa kali juri menyatakan bahwa Delon yang pantas untuk tersingkir? Seperti Ihsan sekarang, juri pun tak mendudukkan Delon sebagai kontestan yang layak tereleminasi. Juri sadar, dengan tampang itulah, Delon mengundang simpati. Dan ketika mereka tidak mengatakan Delon layak tereliminasi, para juri mensahkan bahwa tampang saja cukup untuk masuk ke final "Indonesia Idol". Tampak, saat berhadapan dengan dukungan para penggemar, independensi juri menjadi limbung.
Selera Pribadi
Selain tak independen dengan dukungan para penonton, juri pun tak independen atas selera mereka sendiri. Minggu lalu misalnya, saat Ihsan tampil, Indra menunjukkan reaksi yang kecewa. Wajah yang malas dan bibir tanpa senyum. Titi DJ pun diam. Indy sesekali menggeleng. Di panggung, Ilham barangkali melihat reaksi itu. Dan lihatlah, semakin ke akhir lagu, suaranya kian terseret, kehilangan gairah. Dirly juga. Reaksi Indy yang tampak tak menikmati lagunya, "meruntuhkan" semangatnya. Di sepertiga terakhir lagu, dia nyanyi seperti mendapat siksa, suara tersengal.
Dan lihatlah apa yang terjadi dengan Gea saat melantunkan "I Love Rock N Roll" milik Joan Jett yang juga dipopulerkan lagi oleh Britney Spears? Sepertiga pertama lagu, Gea belum tampil lepas. Tapi begitu Titi DJ dan Indy berdiri dari duduknya, ikut bergoyang, bertepuk tangan, berteriak menimbrungi, Gea seperti mendapatkan energi baru. Suaranya kian mantap, dia lebih berani mengambil nada tinggi, bergerak bebas, dan seperti otomatis, mengajak penonton melantunkan lagunya. Cemerlang! "Tanpa jaket kulit, tanpa rante, kamu bisa jadi rocker sejati!" pekik Indy Barens. Tidakkah Indy menyadari, reaksi dia dan Titi-lah yang membuat penampilan Gea menjadi terdongkrak?
Benar, Gea tampil memikat, juga Nobo. Tapi, sememikat apa pun, seharusnya juri tidak menunjukkan reaksi yang bisa menurunkan atau menaikkan semangat peserta. Reaksi diri pribadi inilah yang harus dikendalikan. Juri seharunya independen dari selera pribadi. Pujian, reaksi, seharusnya ditunjukkan sehabis peserta melantunkan lagu. Juri, sekali lagi, harus berbeda dari penonton, yang boleh histeris, berteriak, atau pura-pura tidur saat salah satu kontestan bernyanyi. Coba, bayangkan apa jadinya, begitu Ihsan bernyanyi, Indra memunggunginya atau meninggalkan kursinya hanya karena bosan?
Independensi juri, itulah kata kuncinya. Dengan tetap menjaga hal itulah, sebuah perhelatan semacam "Indonesian Idol" dapat terjaga mutunya. Karena, juri yang "tidak matang", heboh, bahkan over acting, bukan saja dapat meruntuhkan mental kontestan, tapi "membunuh" karier mereka. Dan jika itu terjadi, tidakkah mereka merasa berdosa?
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 Juli 2006]
"Ibarat krupuk, kamu rocker melempem!" nilai Dimas Jay atas penampulan Ihsan. Itu penilaian yang "seragam" atas penampilan Ihsan saat menyanyikan lagu "Sobat", yang dipopulerkan grup Padi. Dan di malam "spektakuler" minggu lalu, yang menyisakan 5 kontestan itu, penampilan Ihsan memang yang "terburuk". Bahkan, kalau mengikuti seluruh ajang spektakuler dari awal, Ihsan-lah yang memang selalu tampil di bawah standar. Indra Lesmana menilainya dengan, "Kamulah kontestan yang paling lambat perkembangannya dibandingkan yang lain."
Itu belum seberapa. Indra dengan marah, pernah menyemprotnya, "Bosan saya melihat kamu. Bosan! Begitu-gitu aja!" Titi DJ yang biasanya "lembut" terhadap Ihsan, tak kuasa juga menahan "cacian". Hanya saat menyanyikan lagu "Bento" milik Iwan Fals Ihsan sedikit mendapat pujian, meski tetap dengan celaan keras dari Indy Barens. Uniknya, fans Ihsan banyak. Dia, mengutip kata Titi DJ, "punya wibawa yang membuat orang simpati." Sehingga, setiap kali tampil dan dinilai buruk, ratusan koor "Hhuuu...." menyerang para juri.
Ihsan memang "istimewa", justru bukan karena suaranya. Waktu penjaringan, dialah sosok yang membuat Titi DJ nyaris menangis, karena digambarkan begitu "menderita". Dan, sebelum lolos ke Jakarta, Titi membelikannya celana dan kemeja. Ihsan juga selalu digambarkan dalam "Idol Banget" sebagai sosok yang polos dalam kemiskinan. Dia mengundang simpati, seperti kisah Verry di kontes "AFI" Indosiar. Mata bocahnya yang selalu basah saat mendapatkan cercaan, sungguh mengundang iba. Tapi, bagaimana pun, "Indonesian Idol" adalah kontes suara. Dan, Ihsan tak tersisih juga, hanya karena beberapa hal yang "disengaja."
Menebak Poling
Minggu lalu, saat Atta dan Daniel bertanya pada juri, siapa yang kira-kira akan tersingkir, Indra menjawab, "Dilry!" Titi memilih Maria, Indy juga, dan Dimas Jay, setelah berpikir sesaat, mengucap, "Maria!" Ihsan di mata para juri bukan sosok yang pantas tersingkir. Dua minggu lalu, saat Ihsan tampil tak sebagus yang lain, juri pun memilih Dirly dan Maria yang akan tersingkir. Ihsan tak juga terpilih. Ini aneh.
Dirly menyanyikan lagu "I Miss You But I Hate You" Slank, berdandan nge-rock habis. Titi memuji habis-habisan. Hanya Indi yang sedikit mencela napasnya yang tak terkontrol. Maria tampil lebih menarik lagi. Vokalnya bening saat melantunkan "Jangan Ada Angkara" milik Nicky Astria. Cuma, karena di "Indonesia Idol" "diharamkan" bernyanyi sama dengan gaya penyanyi asli, Maria kena "semprot" juga. Tapi jelas, dari komentar juri --bahkan di minggu-minggu sebelumnya-- dia dan Dirly lebih bagus daripada Iksan. Maka, ada apa sampai juri tak pernah berpikir bahwa Ihsan akan tersingkir?
Di sinilah terlihat, juri tidak melakukan penilaian atas kualitas penyanyi. Dirly dan Maria memang selalu masuk zona tidak aman. Nyaris setiap minggu, dukungan suara untuk dua orang ini selalu mendebarkan. Sehingga, menebak bahwa salah satu dari mereka akan tersingkir, bukan hal sulit. Tapi, tebakan semacam inilah yang tak boleh dilakukan para juri. Mereka dipilih untuk menentukan siapa penyanyi terbaik dalam tiap babak, memberi pendapat, yang "mungkin" bisa memengaruhi penonton. Dengan itu diharapkan, kelak yang menjadi next "Indonesian Idol" adalah peserta yang secara teknik vokal dan gaya panggung memang paling mumpuni. Karena kewajiban menilai dan "mendidik" penonton itulah, juri harus independen terhadap tekanan apa pun. Setiap "vonis" yang mereka jatuhkan harus berdasarkan penilaian pribadi mereka, bukan terpengaruh atas apa pun. Dan memang itu yang mereka tunjukkan saat menilai kontestan, tapi tidak saat memutuskan siapa yang akan tersingkir. Juri tidak memilih Ihsan. Karena mereka tahu, dari "sejarah" perolehan suara selama ini, Ihsan cenderung aman. Juri pun dengan sadar memilih Maria atau Dilry. Juri dengan patuh mengikuti kehendak penonton, menebak hasil poling. Di sini, tampak, juri kehilangan independensinya, hanyut. Bukan mendidik penonton tapi tanpa sadar, justru "dididik!"
Kasus Ihsan bukan yang pertama. Sebelumnya, Delon telah mengalami. Siapa yang tidak ingat betapa galaknya para juri dengan penampilan Delon. "Hanya jual tampang!" cerca Indra atau Mutia Kasim. Soal betapa berbanding terbaliknya "kualitas" tampang dan suara Delon, menjadi hal yang serius di mata juri. Delon tak berbakat jadi penyanyi. Tapi, berapa kali juri menyatakan bahwa Delon yang pantas untuk tersingkir? Seperti Ihsan sekarang, juri pun tak mendudukkan Delon sebagai kontestan yang layak tereleminasi. Juri sadar, dengan tampang itulah, Delon mengundang simpati. Dan ketika mereka tidak mengatakan Delon layak tereliminasi, para juri mensahkan bahwa tampang saja cukup untuk masuk ke final "Indonesia Idol". Tampak, saat berhadapan dengan dukungan para penggemar, independensi juri menjadi limbung.
Selera Pribadi
Selain tak independen dengan dukungan para penonton, juri pun tak independen atas selera mereka sendiri. Minggu lalu misalnya, saat Ihsan tampil, Indra menunjukkan reaksi yang kecewa. Wajah yang malas dan bibir tanpa senyum. Titi DJ pun diam. Indy sesekali menggeleng. Di panggung, Ilham barangkali melihat reaksi itu. Dan lihatlah, semakin ke akhir lagu, suaranya kian terseret, kehilangan gairah. Dirly juga. Reaksi Indy yang tampak tak menikmati lagunya, "meruntuhkan" semangatnya. Di sepertiga terakhir lagu, dia nyanyi seperti mendapat siksa, suara tersengal.
Dan lihatlah apa yang terjadi dengan Gea saat melantunkan "I Love Rock N Roll" milik Joan Jett yang juga dipopulerkan lagi oleh Britney Spears? Sepertiga pertama lagu, Gea belum tampil lepas. Tapi begitu Titi DJ dan Indy berdiri dari duduknya, ikut bergoyang, bertepuk tangan, berteriak menimbrungi, Gea seperti mendapatkan energi baru. Suaranya kian mantap, dia lebih berani mengambil nada tinggi, bergerak bebas, dan seperti otomatis, mengajak penonton melantunkan lagunya. Cemerlang! "Tanpa jaket kulit, tanpa rante, kamu bisa jadi rocker sejati!" pekik Indy Barens. Tidakkah Indy menyadari, reaksi dia dan Titi-lah yang membuat penampilan Gea menjadi terdongkrak?
Benar, Gea tampil memikat, juga Nobo. Tapi, sememikat apa pun, seharusnya juri tidak menunjukkan reaksi yang bisa menurunkan atau menaikkan semangat peserta. Reaksi diri pribadi inilah yang harus dikendalikan. Juri seharunya independen dari selera pribadi. Pujian, reaksi, seharusnya ditunjukkan sehabis peserta melantunkan lagu. Juri, sekali lagi, harus berbeda dari penonton, yang boleh histeris, berteriak, atau pura-pura tidur saat salah satu kontestan bernyanyi. Coba, bayangkan apa jadinya, begitu Ihsan bernyanyi, Indra memunggunginya atau meninggalkan kursinya hanya karena bosan?
Independensi juri, itulah kata kuncinya. Dengan tetap menjaga hal itulah, sebuah perhelatan semacam "Indonesian Idol" dapat terjaga mutunya. Karena, juri yang "tidak matang", heboh, bahkan over acting, bukan saja dapat meruntuhkan mental kontestan, tapi "membunuh" karier mereka. Dan jika itu terjadi, tidakkah mereka merasa berdosa?
[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 30 Juli 2006]