window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Friday, August 04, 2006

Infotainmen, Hak Publik, dan Pengharaman

Di mata infotainmen, selebriti diwajibkan berprilaku seperti nabi.


"Kalau infotainmen memberitakan selebriti yang berbohong, selingkuh, dan kawin cerai, itu juga mendidik masyarakat agar tidak mengikuti hal-hal seperti itu," yakin Wina Armada, pengurus PWI Pusat. Keyakinan yang berlebihan, tentu. Tapi, hal-hal semacam itulah yang tampak dalam "Topik Minggu Ini" di SCTV, Rabu malam (2/8). Wina, Ilham Bintang, Veven SP Wardhana, dan para pemilik production house yang hadir dalam acara itu, sangat yakin masyarakat berhak tahu tentang apa pun yang terjadi dengan seorang selebritis. Sementara KH Said Aqil Siradj dari PBNU, dan beberapa pengamat dan praktisi jurnalisme, meyakini konten infotainmen sudah terlalu berlebihan, sangat tidak mendidik, yang kelak, dapat membentuk "budaya" pergunjingan. "Infotainmen yang membuka aib seseorang, haram hukumnya," tegas Said Aqil. Ia yakin, tak ada kebaikan apa pun yang didapat dengan pemberitaan sejenis itu. "Agama memerintahkan itu, untuk tidak membuka aib saudaramu," ucapnya.

Wina Armada berang. Ia yakin, selebriti bukan seperti orang kebanyakan. "Kalau mau jadi selebriti, jangan jadi pembohong, jangan munafik, jangan selingkuh! Kalau masih mau berbohong, jangan jadi selebriti!" sergahnya. Dengan argumen itulah dia beranggapan, infotainmen pantas jika membongkar kebohongan dan aib selebriti. Tapi, siapakah sebenarnya selebriti itu, Wina?


Hak Publik?

Wina, dan para produser infotainmen, yakin, publik memiliki hak untuk tahu apa pun yang dilakukan oleh seorang selebritis. Karena itulah, infotainmen wajib memberitakan hal tersebut. Apalagi, para pekerja infotainmen adalah wartawan yang dalam menjalankan profesinya dijamin dengan undang-undang. Mereka mencontohkan kasus Bill Clinton dan Monica Lewinsky, yang perselingkuhan antara keduanya sampai mengguncang Amerika. Argumen ini sebenarnya mendapat sanggahan dari Ketua AJI Heru Nugroho. Sayang, Rosiana Silalahi tak banyak memberi ruang untuk mengelaborasi bantahan itu.

Seperti ketika Clinton berselingkuh, benarkah publik punya hak untuk tahu seluruh hidup selebriti? Kalau mau jujur, seharusnya dua hal di atas tidak pantas diperbandingkan. Ada status yang sangat berbeda antara Clinton dan selebriti atau artis. Clinton adalah pejabat negara, yang mendapatkan mandat dari publik untuk dapat menjalankan tugasnya. Seperti di sini pun, pejabat publik selalu bersumpah sebelum menerima mandat itu. Presiden SBY atau Bagir Manan, misalnya. Karena mendapat mandat dari publik-lah, kerja mereka dapat diawasi dan dilaporkan kepada publik. Untuk itu, publik juga memberi "mandat" kepada wartawan agar dapat mengawasi, melaporkan, dan memverifikasi seluruh kerja pejabat publik ini. Sebab itu juga, seperti pejabat publik, wartawan pun tidak boleh berbohong, menerima amplop, atau membingungkan publik, dengan gosip atau rumor, misalnya. Wartawan juga harus independen, dan kuat menghadapi tekanan siapa pun, termasuk institusi tempat dia bekerja. Hanya dengan kemandirian itulah seorang wartawan dapat menjaga mandat yang telah diberikan publik tersebut.

Dengan argumen di atas menjadi jelas, pejabat publik adalah abdi masyarakat. Sebagai abdi, mereka harus dipantau, diberitakan, dijaga agar tak punya kesempatan berbuat kesalahan. Karena tiap kesalahan yang mereka perbuat pasti memberi efek atas kehidupan masyarakat yang memandatinya. Bupati yang selingkuh layak diungkap, bahkan diselidiki, jika perlu diperadilankan. Siapa tahu, dia menggunakan kekuasaannya untuk dapat berselingkuh? Siapa tahu dia memakai dana publik untuk membiayai selingkuhannya? Siapa tahu, untuk melegalkan tindakannya itu, dia akan membuat RUU bebas selingkuh?

Selebritis tidak seperti itu. Tak perlu mandat rakyat atau sumpah untuk menjadi selebritis. Artis adalah profesi yang secara generik setara dengan supir, tukang, pedagang, dan lainnya. Artinya, seluruh tindakan seorang artis tidak memberi dampak secara langsung pada kehidupan masyarakat. Dengan demikian, mereka tidak perlu diawasi, dijaga, atau dikuras rahasianya. Mereka tidak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada publik. Karena itu juga, publik tidak bisa memberi "mandat" kepada wartawan untuk "menyelidiki" rahasia seorang artis. Publik pun tidak punya hak untuk tahu sampai ke rahasia kamar seorang artis. Karena, apa sih dampaknya bagi kehidupan masyarakat kalau, seperti yang dihebohkan infotainmen, Nana Mirdad benar-benar hamil sebelum menikah?


Bermain Prasangka

Dengan demikian, layakkah hukum haram untuk tayangan infotainmen yang membuka aib seorang artis? Said Aqil dan ulama NU yang tentu paling tahu jawabannya. Sebagai penonton infotainmen, saya hanya melihat sebuah proses yang dilakukan dengan semangat yang tidak "baik". Said Aqil menunjukkan hal itu dengan, "Apa pantas untuk membuka aib seorang artis sampai harus menanyai pembantunya, sopirnya?" Dan semangat semacam itu memang jadi kemajemukan infotainmen. Mareka bekerja atas dasar asumsi, yang dihidupi dengan semangat hiperbola. Seluruh rangka bangun cerita diproduksi untuk melahirkan opini, yang celakanya, selalu tanpa bukti. Berita pernikahan siri Ahmad Dani dan Mulan Kwok, misalnya. Sampai kini, tak ada satu tayangan infotainmen pun yang dapat menunjukkan bukti pernikahan itu. Siapa saksinya, siapa penghulunya, dan di mana? Seluruh jalinan cerita adalah praduga yang dihiperbolakan dengan semangat bahwa pernikahan itu telah benar terjadi. Titik pijak diletakkan pada pengakuan Eddy Abdul Manaf, yang juga bukan saksi mata, tapi keyakinan seorang ayah yang telah tersakiti oleh perkatakan anaknya lewat SMS. Benar, di "Expresso Prime Time" Anteve Eddy menyebutkan pengakuan Ujang yang menjadi saksi pernikahan itu. Tapi, ketika Dave Hendrik menghubunginya, Ujang membantah tegas kesaksian itu. "Bohong itu, bohong!"


Yang kemudian merebak adalah pelebaran masalah. Terbentuk opini baru, karena Eddy membuka "aib" Dhani, personel Dewa itu pun memutuskan hubungan darah, dengan kata-kata yang sangat tidak pantas diucapkan oleh seorang anak. Infotainmen mendudukkan perseteruan itu terjadi karena ada "kebenaran" dari ucapan Eddy. Faktanya, tidak begitu. Tapi mau apalagi, seluruh infotainmen "seperti" berkolaborasi untuk mewujudkan opini itu.

Hal lain, kenapa suara Eddy yang menjadi titik pijak? Kenapa tidak dicari suara lain yang mungkin bisa melemahkan seluruh "prasangka" Eddy? Suara Ujang misalnya? Yang terjadi justru seperti yang dilakukan "Expresso", meminta pendapat Farhan dan Silvana Herman, kalau benar pernikahan itu sungguh terjadi. Bayangkan, pendapat dengan dasar "kalau". Jurnalisme seperti apa itu? "Jurnalisme proses..." kata pengamat infotainmen Veven Sp Wardhana dalam acara "Topik Minggu Ini" di SCTV itu. Entah, proses semacam apa yang dia maksudkan.

Masalahnya adalah, jika pun Dani telah menikah siri, kenapa? Tidak ada yang dia langgar dengan pernikahan itu? Tidak akan ada proses publik yang terkendala dengan pernikahan itu. Dan, ini yang paling penting, jika infotainmen tidak memburu Eddy Manaf, sehingga orang tua yang tak tahu hukum infotainmen itu, dan mengatakan, mungkin benar telah terjadi..." (bagi infotainmen, kata mungkin = pasti), maka tidak akan ada cerita anak durhaka dan orang tua durhaka dalam episode hidup mereka.

Infotainmen, tampaknya, telah memosisikan diri sebagai minyak bagi bara perselisihan tiap artis. Maka Fatma Farida memburu mereka untuk mewartakan keburukan anaknya, Kiki Fatmala. Dan segalanya keluar, menjadi sengketa keburukan, episode yang seperti memindahkan neraka ke dunia. Jika Nahdhatul Ulama memberi fatwa, hukum haram, memang bukan sesuatu yang berlebihan...

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 6 Agustus 2006]