...tera di sesela gegas-gesa
Wednesday, August 16, 2006
Perlawanan Tanda Ahmad Dhani
Di atas panggung "Indonesian Idol" itu, Ahmad "Dewa" Dhani "melawan" infotainmen dengan senyuman. Dia memakai kaos hitam, dengan tulisan besar "HARAM" di bagian depan.
Dhani memang melawan dengan diam. Hanya kepada orang tuanya, sebagaimana yang terus diberitakan infotainmen saat itu, dia memberikan "perlawanan" nyata, mengirimkan SMS-SMS yang kasar, sangat-sangat menunjukkan kemarahan dan keterlukaan. SMS yang memang seharusnya tidak "pantas" ditujukannya kepada Eddy Manaf, ayah kandungnya. Sampai kakak tirinya, Dadang S Manaf merasakan bahwa ada yang salah ketika membaca SMS itu. "Pasti ada komunikasi yang salah..." terangnya sebagaimana tampak di "Espresso" Anteve. Tapi, Dadang sendiri tidak begitu kaget dengan pertengkaran orangtua dan anak itu. Di matanya, Dhani dan Eddy adalah sosok yang sama. Menurut Dadang, ia biasa melihat kedua orang itu berbeda pendapat, dan menyampaikan perbedaan itu dengan sangat terus-terang. "Mirip pertengkaran lawan politik," saksinya.
Meski begitu, Dadang tak berani menyalahkan siapa pun. Ia hanya berharap, sebagai anak, Dhani mau mengalah dan memahami sikap ayahnya, sebagai tanda sayang. Apalagi, jika Dhani terus "melawan", menurutnya, itu sama seperti melawan diri sendiri. Karena di mata Dadang, Dhani dan Eddy itu memiliki karakter yang sama. "Dhani, ingat... Papi sudah tua, sudah sakit-sakitan..." katanya cemas.
Pendapat Dadang ini, sayangnya, jarang sekali dikutip infotainmen. Sepanjang ikutan saya atas "gosip" nikah siri Dhani-Mulan, hanya "Expresso" dan "Insert" TransTV yang mengutip pendapat Dadang dengan kelengkapan sejarah "pertengkaran" mereka, dengan pendapat yang tidak menyudutkan Dhani. Selebihnya, infotainmen bereuforia memberitakan kabar nikah siri dan "kedurhakaan" itu dengan Dhani sebagai "terdakwa". Informasi atau tanggapan balik yang sangat minim, bahkan nyaris tak ada dari Dhani, atau duo Ratu Maya dan Mulan, membuat citranya nyaris habis.
Dhani bukan artis sembarangan. Ingat, Yudhistira Masardi pun dia "lawan" dalam kasus pemakaian judul "Arjuna Mencari Cinta" di dalam album terdahlulunya. Bahkan, orangtuanya pun dia "lawan", sebuah sikap yang agaknya akan menjadi "antiklimaks" dari citranya selama ini yang, meski arogan, tapi tampak cukup mengerti agama, orang tua yang santun bagi anak-anaknya. Maka, agak mengherankan jika infotainmen pun tidak dia lawan, kabar nikah siri itu tidak dia bantah.
Perlawanan Tanda
Ternyata, Dhani tetaplah Dhani, dan ia memang melawan, --tidak dengan caranya yang biasa, cenderung frontal-- dengan menggunakan tanda. Tanda yang paling jelas, adalah penampilan Dewa dalam ajang spektakuler "Indonesian Idol" tiga besar, Dirly, Gea, dan Ihsan. Di penampilan pertama Dewa, saat melantunkan lagu "Larut" Dhani tampil biasa, berada di belakang keyboard. Tapi saat lagu kedua, "Sedang Ingin Bercinta" yang memang biasanya Dhani yang melantunkan, dia telah mengenakan kaos legam dengan tulisan "HARAM" di bagian dada. Lagu rancak itu, yang memaksa Titi DJ dan Indy Barens turut bergoyang, membuat kamera selalu menampilkan aksi Dhani. Akibatnya, teks "HARAM" itu pun selalu tayang di layar kaca. Sebuah sikap yang tampaknya dinyatakan Dhani sebagai dukungan atas fatwa haram Nahdhatul Ulama (NU) terhadap isi infotainmen yang hanya memberitakan kejelekan artis. Di atas panggung itu, dengan gitarnya, Dhani bergerak, berkeringat, dan tersenyum. Ia seperti tengah menikmati "kemenangannya" atas hak pribadinya yang "Sedang Ingin Bercinta" dari sorotan kamera. Dhani melawan infotainmen tidak dengan cela atau makian, tapi dengan tanda, tanda yang sangat nyata. Dan, sebenarnya, itu bukan perlawanan Dhani yang pertama.
Jauh sebelum fatwa haram itu turun, ketika masih menjadi sorotan atas kasusnya yang "mendurhakai" Eddy, Dhani juga melawan rentetan berita "kedurhakaan" itu dengan tanda, sinyal yang sangat halus, tapi mengena. Perlawanan itu dia tunjukkan dengan "kelembutan" yang biasa, sebuah tangisan. Ya, Dhani menangis saat tampil dalam acara "Lelaki Pilihan" di RCTI, tapi bukan tangis penyesalan.
"Lagu ini saya persembahkan untuk Mama Joice, yang telah mengenalkanku bagaimana menikmati dan menciptakan lagu-lagu indah," katanya, yang tampil sebagai penutup acara. "Mama Joice, silakan naik ke panggung..." Lalu kamera menyorot perempuan paro baya yang masih tampak cantik, dengan slayer lebar menggantung, yang diminta Dhani duduk di kursi panjang yang telah ada di pentas. Begitu Joice duduk, Dhani pun melantunkan "My Way", lagu yang kata Dhani merupakan kesukaan mereka berdua.
Dan lihatlah. Baru saja satu bait lagu itu dilantunkan Dhani, mata Joice sudah basah. Dhani yang bernyanyi dengan sepenuh perasaan, membuat berkali-kali perempuan itu mengenakan slayernya untuk membendung airmata. Mama Joice terisak, pundaknya tampak bergetar. Di depannya, anaknya, bernyanyi tanpa memandangnya, nyanyian seperti rintihan, dikumandangkan dengan mata terpejam, "ini jalanku... jalan yang kupilih..." Dan, sebelum lagu itu berakhir, Dhani berjalan memutar, lalu di depan ibunya, dia bersimpuh, dia rangkul kaki ibunya, dia benamkan kepalanya ke pangkuan sang ibu yang mengelusi rambutnya, tangis Dhani pecah. Dhani menangis! Ini sesuatu yang tak terduga, sangat, sangat, tak terduga. Dan lihatlah, dengan senggukan yang jauh lebih keras, Joice merangkul anaknya, demikian ketat, lalu menarikkannya untuk berdiri. Dengan suara serak, mata basah, Dhani mengakhiri lagunya.
Tidakkah itu tangis perlawanan? Di tengah sorotan tentang kedurhakaan kepada ayahnya, Dhani menunjukkan bahwa ibunya dan dia tak ada masalah. Mereka demikian dekat, bertangisan, sebagai sebuah pengertian bahwa Dhani telah "memilih" jalannya. Bahwa "kedurhakaan" itu adalah sebuah sikap, yang betapa pun pedihnya, harus dia ambil. Dan Dhani menunjukkan, dengan ibunya, dia justru bersujud, dia menangis, dia tetaplah seorang anak, anak yang tahu bagaimana berbakti.
Tentang Surga
Tak cukup sampai di situ, Dhani juga "melawan" sampai ke tingkat yang paling esensial menyangkut kedurhakaan itu. Untuk perlawanan ini, Dhani memakai "jurus" andalah pengarang silat Cina Kho Ping Hoo, "meminjam tenaga lawan". Dia tak menyuarakannya sendiri. Dia memakai acara "Request with Chrisye" di SCTV sebagai medan tanda. Acara yang disiarkan secara live itu kebetulan bersamaan jam dengan "Indonesian Idol" saat Dewa tampil sebagai bintang tamu, Jumat (4/8). Sebagai salah seorang yang pernah bekerjasama dengan Chrisye, Dhani seharusnya tampil juga di SCTV, dan karena berhalangan, dia dimintai komentar secara langsung melalui telepon oleh Nirina. Dan, inilah jawaban Dhani. "Maaf Nirina, aku tidak begitu jelas suara kamu. Tapi aku request lagu "Jika Surga dan Neraka tak Pernah Ada". Pesanku kepada penonton agar mau mendengarkan syair lagu itu baik-baik, dan memahami maknanya. Itu aja, terimakasih...." Dan, karena Chrisye yang belum terlalu fit, lagu itu pun tampil dengan klip, duet Dhani-Chrisye.
Di sinilah dapat dibaca, Dhani masih melakukan "perlawanan". Jika kedurhakaan selama ini dimaknai sebagai tanda telah tertutupnya pintu surga sampai ada ampunan dari orang tua, Dhani menunjukkan pikiran yang berbeda. Bagi Dhani, melalui lagu itu, bakti dan sujud pada Tuhan, menjalankan ibadah agama, berbakti kepada orang tua, bukanlah sebuah jalan dengan pengharapan akan surga. "Jika surga dan neraka tak pernah ada... Masihkah kau, sujud kepada-Nya..." dia melantunkan itu.
Lagu Dhani itu jelas disemangati oleh zuhud Rabiah al-Adawiyah, yang terkenal dengan doanya, "Tuhanku, jika sujudku karena takut akan neraka-Mu, maka bakarlah aku di dalam api-Mu. Dan jika aku beribadah hanya karena mengharap surgamu, maka tutuplah rapat-rapat pintu surgamu. Tapi bila ibadahku hanya karena mencari ridha-Mu, hanya karena Engkau ya Allah, maka janganlah kau tutupi keindahanmu." Senyawa bukan?
Dhani memang tak mengatakan banyak. Ia hanya meminta penonton menyimak syair lagu itu. Tapi, dari situ, dari gestur tubuh dan suaranya, kita dapat membaca tanda, bahwa ada pesan yang ingin dia katakan, Tuhanlah yang maha mutlak, yang memiliki kebenaran, yang paling tahu siapa yang durhaka, siapa yang pantas masuk surga dan neraka. Dan hak itu, janganlah diambil alih oleh manusia...
[Versi yang lebih pendek dan berbeda dari artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Rabu 16 Agustus 2006]
Dhani memang melawan dengan diam. Hanya kepada orang tuanya, sebagaimana yang terus diberitakan infotainmen saat itu, dia memberikan "perlawanan" nyata, mengirimkan SMS-SMS yang kasar, sangat-sangat menunjukkan kemarahan dan keterlukaan. SMS yang memang seharusnya tidak "pantas" ditujukannya kepada Eddy Manaf, ayah kandungnya. Sampai kakak tirinya, Dadang S Manaf merasakan bahwa ada yang salah ketika membaca SMS itu. "Pasti ada komunikasi yang salah..." terangnya sebagaimana tampak di "Espresso" Anteve. Tapi, Dadang sendiri tidak begitu kaget dengan pertengkaran orangtua dan anak itu. Di matanya, Dhani dan Eddy adalah sosok yang sama. Menurut Dadang, ia biasa melihat kedua orang itu berbeda pendapat, dan menyampaikan perbedaan itu dengan sangat terus-terang. "Mirip pertengkaran lawan politik," saksinya.
Meski begitu, Dadang tak berani menyalahkan siapa pun. Ia hanya berharap, sebagai anak, Dhani mau mengalah dan memahami sikap ayahnya, sebagai tanda sayang. Apalagi, jika Dhani terus "melawan", menurutnya, itu sama seperti melawan diri sendiri. Karena di mata Dadang, Dhani dan Eddy itu memiliki karakter yang sama. "Dhani, ingat... Papi sudah tua, sudah sakit-sakitan..." katanya cemas.
Pendapat Dadang ini, sayangnya, jarang sekali dikutip infotainmen. Sepanjang ikutan saya atas "gosip" nikah siri Dhani-Mulan, hanya "Expresso" dan "Insert" TransTV yang mengutip pendapat Dadang dengan kelengkapan sejarah "pertengkaran" mereka, dengan pendapat yang tidak menyudutkan Dhani. Selebihnya, infotainmen bereuforia memberitakan kabar nikah siri dan "kedurhakaan" itu dengan Dhani sebagai "terdakwa". Informasi atau tanggapan balik yang sangat minim, bahkan nyaris tak ada dari Dhani, atau duo Ratu Maya dan Mulan, membuat citranya nyaris habis.
Dhani bukan artis sembarangan. Ingat, Yudhistira Masardi pun dia "lawan" dalam kasus pemakaian judul "Arjuna Mencari Cinta" di dalam album terdahlulunya. Bahkan, orangtuanya pun dia "lawan", sebuah sikap yang agaknya akan menjadi "antiklimaks" dari citranya selama ini yang, meski arogan, tapi tampak cukup mengerti agama, orang tua yang santun bagi anak-anaknya. Maka, agak mengherankan jika infotainmen pun tidak dia lawan, kabar nikah siri itu tidak dia bantah.
Perlawanan Tanda
Ternyata, Dhani tetaplah Dhani, dan ia memang melawan, --tidak dengan caranya yang biasa, cenderung frontal-- dengan menggunakan tanda. Tanda yang paling jelas, adalah penampilan Dewa dalam ajang spektakuler "Indonesian Idol" tiga besar, Dirly, Gea, dan Ihsan. Di penampilan pertama Dewa, saat melantunkan lagu "Larut" Dhani tampil biasa, berada di belakang keyboard. Tapi saat lagu kedua, "Sedang Ingin Bercinta" yang memang biasanya Dhani yang melantunkan, dia telah mengenakan kaos legam dengan tulisan "HARAM" di bagian dada. Lagu rancak itu, yang memaksa Titi DJ dan Indy Barens turut bergoyang, membuat kamera selalu menampilkan aksi Dhani. Akibatnya, teks "HARAM" itu pun selalu tayang di layar kaca. Sebuah sikap yang tampaknya dinyatakan Dhani sebagai dukungan atas fatwa haram Nahdhatul Ulama (NU) terhadap isi infotainmen yang hanya memberitakan kejelekan artis. Di atas panggung itu, dengan gitarnya, Dhani bergerak, berkeringat, dan tersenyum. Ia seperti tengah menikmati "kemenangannya" atas hak pribadinya yang "Sedang Ingin Bercinta" dari sorotan kamera. Dhani melawan infotainmen tidak dengan cela atau makian, tapi dengan tanda, tanda yang sangat nyata. Dan, sebenarnya, itu bukan perlawanan Dhani yang pertama.
Jauh sebelum fatwa haram itu turun, ketika masih menjadi sorotan atas kasusnya yang "mendurhakai" Eddy, Dhani juga melawan rentetan berita "kedurhakaan" itu dengan tanda, sinyal yang sangat halus, tapi mengena. Perlawanan itu dia tunjukkan dengan "kelembutan" yang biasa, sebuah tangisan. Ya, Dhani menangis saat tampil dalam acara "Lelaki Pilihan" di RCTI, tapi bukan tangis penyesalan.
"Lagu ini saya persembahkan untuk Mama Joice, yang telah mengenalkanku bagaimana menikmati dan menciptakan lagu-lagu indah," katanya, yang tampil sebagai penutup acara. "Mama Joice, silakan naik ke panggung..." Lalu kamera menyorot perempuan paro baya yang masih tampak cantik, dengan slayer lebar menggantung, yang diminta Dhani duduk di kursi panjang yang telah ada di pentas. Begitu Joice duduk, Dhani pun melantunkan "My Way", lagu yang kata Dhani merupakan kesukaan mereka berdua.
Dan lihatlah. Baru saja satu bait lagu itu dilantunkan Dhani, mata Joice sudah basah. Dhani yang bernyanyi dengan sepenuh perasaan, membuat berkali-kali perempuan itu mengenakan slayernya untuk membendung airmata. Mama Joice terisak, pundaknya tampak bergetar. Di depannya, anaknya, bernyanyi tanpa memandangnya, nyanyian seperti rintihan, dikumandangkan dengan mata terpejam, "ini jalanku... jalan yang kupilih..." Dan, sebelum lagu itu berakhir, Dhani berjalan memutar, lalu di depan ibunya, dia bersimpuh, dia rangkul kaki ibunya, dia benamkan kepalanya ke pangkuan sang ibu yang mengelusi rambutnya, tangis Dhani pecah. Dhani menangis! Ini sesuatu yang tak terduga, sangat, sangat, tak terduga. Dan lihatlah, dengan senggukan yang jauh lebih keras, Joice merangkul anaknya, demikian ketat, lalu menarikkannya untuk berdiri. Dengan suara serak, mata basah, Dhani mengakhiri lagunya.
Tidakkah itu tangis perlawanan? Di tengah sorotan tentang kedurhakaan kepada ayahnya, Dhani menunjukkan bahwa ibunya dan dia tak ada masalah. Mereka demikian dekat, bertangisan, sebagai sebuah pengertian bahwa Dhani telah "memilih" jalannya. Bahwa "kedurhakaan" itu adalah sebuah sikap, yang betapa pun pedihnya, harus dia ambil. Dan Dhani menunjukkan, dengan ibunya, dia justru bersujud, dia menangis, dia tetaplah seorang anak, anak yang tahu bagaimana berbakti.
Tentang Surga
Tak cukup sampai di situ, Dhani juga "melawan" sampai ke tingkat yang paling esensial menyangkut kedurhakaan itu. Untuk perlawanan ini, Dhani memakai "jurus" andalah pengarang silat Cina Kho Ping Hoo, "meminjam tenaga lawan". Dia tak menyuarakannya sendiri. Dia memakai acara "Request with Chrisye" di SCTV sebagai medan tanda. Acara yang disiarkan secara live itu kebetulan bersamaan jam dengan "Indonesian Idol" saat Dewa tampil sebagai bintang tamu, Jumat (4/8). Sebagai salah seorang yang pernah bekerjasama dengan Chrisye, Dhani seharusnya tampil juga di SCTV, dan karena berhalangan, dia dimintai komentar secara langsung melalui telepon oleh Nirina. Dan, inilah jawaban Dhani. "Maaf Nirina, aku tidak begitu jelas suara kamu. Tapi aku request lagu "Jika Surga dan Neraka tak Pernah Ada". Pesanku kepada penonton agar mau mendengarkan syair lagu itu baik-baik, dan memahami maknanya. Itu aja, terimakasih...." Dan, karena Chrisye yang belum terlalu fit, lagu itu pun tampil dengan klip, duet Dhani-Chrisye.
Di sinilah dapat dibaca, Dhani masih melakukan "perlawanan". Jika kedurhakaan selama ini dimaknai sebagai tanda telah tertutupnya pintu surga sampai ada ampunan dari orang tua, Dhani menunjukkan pikiran yang berbeda. Bagi Dhani, melalui lagu itu, bakti dan sujud pada Tuhan, menjalankan ibadah agama, berbakti kepada orang tua, bukanlah sebuah jalan dengan pengharapan akan surga. "Jika surga dan neraka tak pernah ada... Masihkah kau, sujud kepada-Nya..." dia melantunkan itu.
Lagu Dhani itu jelas disemangati oleh zuhud Rabiah al-Adawiyah, yang terkenal dengan doanya, "Tuhanku, jika sujudku karena takut akan neraka-Mu, maka bakarlah aku di dalam api-Mu. Dan jika aku beribadah hanya karena mengharap surgamu, maka tutuplah rapat-rapat pintu surgamu. Tapi bila ibadahku hanya karena mencari ridha-Mu, hanya karena Engkau ya Allah, maka janganlah kau tutupi keindahanmu." Senyawa bukan?
Dhani memang tak mengatakan banyak. Ia hanya meminta penonton menyimak syair lagu itu. Tapi, dari situ, dari gestur tubuh dan suaranya, kita dapat membaca tanda, bahwa ada pesan yang ingin dia katakan, Tuhanlah yang maha mutlak, yang memiliki kebenaran, yang paling tahu siapa yang durhaka, siapa yang pantas masuk surga dan neraka. Dan hak itu, janganlah diambil alih oleh manusia...
[Versi yang lebih pendek dan berbeda dari artikel ini telah dimuat di Tabloid Cempaka, Rabu 16 Agustus 2006]