window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Friday, November 24, 2006

Azab dan Pedih untuk Perempuan

Dalam sinema Islami, perempuan acap didudukkan sebagai aktor dan agitator kesesatan.

"Dasar perempuan miskin! Jangan pernah kamu injakkan kaki lagi di rumah ini. Anakku tak pantas untukmu. Pergiii!!" teriak Ny Rossi. Sudut mulutnya tertarik ke kiri membentuk senyum sinis, jari tangannya menunjuk jalan ke luar rumahnya. Nurul, perempuan yang dia usir itu, dengan wajah pucat, berlari, pergi. Ny Rossi tersenyum puas.

Itulah secuplik adegan dalam Sinema Hidayah "Mertua Matre Matanya Buta" di Trans TV, Kamis malam (23/11). Sepanjang tayangan, dari mulut Ny Rossi (Hanna Hasyim) menyembur kata-kata kotor, hinaan dan caci-maki. Tak hanya Nurul, Tika (Ardina Rasti) yang menjadi istri anaknya pun, selalu dia kasari. Di tayangan itu, Ny Rossi memamerkan keculasan, kekejaman, dan kedengkian dengan sempurna. Bahkan bisa dikatakan, 80% dari seluruh tayangan sinema itu adalah etalase dari "kematrean" Ny Rossi.

Tipikalitas tayangan semacam itu bukan hal baru di televisi. Sejak tayangan sinetron islami menjamur, pameran kekejaman dan keculasan mendominasi sinetron genre ini. Nama acara mungkin Sinema/Sinetron Hidayah di Trans TV, Pintu Hidayah di RCTI, Rahasia Ilahi dan Hidayah-Mu di TPI, tapi isi tayangan nyaris sama, menjadi etalase dari sosok yang tak beriman, culas, pendendam, bahkan penghamba setan. Awalnya, tayangan jenis ini mengambil kasus yang cukup beragam. Sinema Hidayah di Trans TV misalnya, sejak mula mencoba menawarkan "kisah nyata" keimanan yang dirasakan akan dapat menggugah dan meningkatkan ketaqwaan penonton. Dede Yusuf dan Desi Ratnasari, dua bintang awal sinetron ini, waktu peluncuran pertama pun merasa tayangan ini menawarkan hal yang berbeda. Dengan mengambil ilham dari kisah nyata yang tampil di majalah Hidayah, MD Entertainment yakin sinetron ini akan mendapatkan respon yang berbeda dari masyarakat. Dan harapan itu tidak sia-sia. Sinetron ini memang populer. Kisah-kisah awalnya begitu mengerikan dan berangkat dari hal-hal yang di mata masyarakat sudah dianggap dongeng saja. Azab berupa tubuh yang membusuk, darah yang tak mau berhenti, sampai mati dengan memakan kotoran sendiri, tampaknya cepat diakrabi penonton. Akibatnya, seperti biasa, teve-teve lain pun menempuh cara yang sama. Banjir "hidayah" pun terjadi di televisi. Dan tak terhindarkan, keragaman cerita jadi sulit didapatkan. Bahkan, selama empat bulan terakhir ini, keragaman itu menjurus pada satu hal, penculasan dan pemurtadan perempuan!


Aktor dan Agitator

Di kamar sempit itu, Amar dan keempat adiknya berdoa. "Ya Allah, ampunilah dosa ibu kami. Bimbing dan tunjukilah dia ke jalan yang benar..." Di luar, Ibu Amar (Novia Ardhana) menguping doa keempat anaknya itu. Dan belum lagi doa mereka selesai, amarahnya telah nyala. Dia gedor pintu itu, dia seret Amar, dan caci-maki pun tumpah. "Apa maksud kamu mendoai ibu, ha?! Dasar anak kurang ajar! Masih syukur dulu kamu ibu lahirkan. Tahu nggak, kamu itu anak haram! Tidak punya bapak!!" Amar pun, juga anak-anaknya yang lain, disiksa dan dihinakan sepanjang tayangan sinetron Pintu Hidayah, "Ibuku Tukang Kawin" di RCTI (19/11). Sebelumnya, sinetron ini pun menampilkan keburukan perempuan dengan tajuk "Pelet Perempuan Buruk Rupa".

Di Trans TV, setiap malam justru tayang kisah dengan materi demikian. "Suami Cacat Ditinggal Istri Kejam" (21/11) menampilkan sosok Lastri (Joelitta Palar) yang karena tidak kuat menghadapi kemiskinan memilih berselingkuh, lalu meninggalkan anak dan suaminya. "Janda Genit itu Menjadi Gila" bercerita tentang kemurtadan Wati (Anna J Cotto) yang berselingkuh dengan bapak-anak tetangganya, dan selalu berlagak alim untuk menutupi kesesatannya. Tampil lewat judul-judul "Akhir Hayat Seorang Germo, Meninggal Setelah Memakan Kotorannya Sendiri", "Wasiat Buat Istri Tersayang", Adik Rebut Kakak Ipar", sampai "Dendam Mantan Pacar", yang bergilir memasang Mira Asmara, Jurike Prastika dan Della Puspita, Sinema Hidayah menjadi etalase dari penculasan dan pemurtadan perempuan. Sinema ini menegaskan "stigma kuno" bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tak tahan godaan, culas, dan selalu dekat dengan dosa. Keimanan adalah milik lelaki. Sehingga, setiap bagian akhir, akan tampak perempuan yang mati tersiksa, sebagai azab dari dosa-dosanya.

Lepas dari cerita yang lemah dan akting yang jauh dari memukau, Sinema Hidayah tanpa sadar --atau disengaja?-- kian meminggirkan perempuan dalam lingkup pencapaian keimanan. Perempuan adalah makhluk nomor dua. Titik. Karena itu, kalaupun ada "hidayah" dari perempuan yang culas dan kejam, penyadaran itu akan lahir dari nasihat sosok kiai, yang pasti, lelaki! Selalu begitu, hitam putih, beroposisi biner. Hebatnya, dalam cerita yang menampilkan kesesatan dari tokoh lelaki, perempuan justru tampil sebagai penyebab kesesatan itu. Sinema Hidayah "Preman yang Bertobat" (23/10) atau "Pak Lurah yang Culas" menunjukkan jelas hal itu. Perempuan adalah sebab jatuhnya lelaki ke lembah kesesatan. Kalau ada suami, kekasih, ayah, pejabat yang melakukan kejahatan dan atau bersekutu dengan setan, sebabnya satu, karena bujukan perempuan! Jadi, di sinema itu, perempuan bukan hanya aktor melainkan juga agitator kesesatan. Gila!


Tanpa akal-budi

Kebudayaan kita --juga praktik nilai-nilai agama-- memang patriarkis. Dan setiap artefak kebudayaan tak bisa lepas dari spektrum patriarkis tersebut. Apalagi, sebuah artefak budaya selalu lahir tidak dalam kesendirian, pasti bersinggungan dengan sistem ekonomi, hukum, negara, institusi-institusi sosial, media massa, dan dimensi sosial lainnya. Singgungan antara berbagai hal itulah yang selalu membuat sebuah artefak budaya berada dalam lingkup dominasi dan subordinasi. Sinetron dan aneka produksi televisi lainnya, sebagai artefak budaya, juga ikut dalam putaran itu, dan tampaknya, selalu menjadi tawanan dari sistem sosial yang berwatak patriarki. Rating --dipercayai sebagai cermin dari selera penonton-- yang tinggi atas tayangan sinema ini menjadi ukuran "pasti" tentang watak masyarakat kita yang patriarkis.
Watak itu memang warisan kelampauan, yang jika dirunut ke belakang dapat dilihat dari skema phytagoras. Filsuf Yunani ini meyakini perbedaan lelaki dan perempuan tidak hanya dalam hal fisik. Dia misalnya, selalu menempatkan lelaki dalam posisi yang light, right, good, dan one. Sedangkan perempuan masuk dalam skema bad, left, oblong, dan darkness. Dari skema itu dapat dibaca kalau lelaki berada dekat dengan wilayah ketuhanan, sedangkan perempuan akrab dengan lingkaran setan! Aristoteles pun mengamini skema Phytagoras ini. Dia menempatkan perempuan dalam oposisi yang berlawanan, superior dan inferior, pengatur dan yang diatur, jiwa dan tubuh, akal dan nafsu, makluk bebas dan budak. Lebih menyakitkan, Aristoteles meyakini bahwa semua contoh yang buruk dan tak sempurna tentang penciptaan dapat dilihat dalam diri perempuan.

Pemikiran modern sebenarnya mencoba menolak stigma-stigma di atas. Banyak filsuf modern mencoba membongkar watak budaya patriarki itu. Namun, budaya ini begitu kuat, bahkan menyebar dalam bentuk yang halus, tak disadari. Sylvia Walby bahkan mencatat invasi patriarki dalam dua bentuk, dari domain privat ke lingkup publik. Jika sebelumnya pelanggengan budaya patriarki melalui institusi keluarga dan agama, kini sudah menjalar ke spektrum yang lebih luas, negara.
Dalam keluarga, dominasi lelaki tak perlu dijelaskan lagi. Melalui agama, contoh terbaik dapat dilihat dari tayangan di televisi. Ceramah ustad gaul Jefri al-Buchori adalah salah satunya. Dalam salah satu "petuahnya" di Trans TV, dia menganjurkan perempuan agar mengenakan jilbab. Dengan tersenyum dia umpamakan bahwa perempuan berjilbab seperti kue donat yang dibungkus plastik. Donat itu lebih sehat, tidak dipegang-pegang tangan iseng yang sebenarnya tidak berniat membeli. Nong Darol Mahmada menilai perumpamaan itu sebagai qiyas maal fariq, umpama dengan sesuatu yang salah. Menyamakan perempuan dan donat sama dengan menganggap perempuan itu adalah benda mati tanpa pikiran dan akal budi, yang hanya akan diam jika dipegang-pegang. Apalagi, ini pengetahuan umum, donat yang paling mahal dan enak pun, dijual tanpa bungkus platik!

Nah, perumpamaan seperti itulah yang secara jelas tampak merendahkan perempuan, dan acap memakai landasan agama. Sinema Hidayah pun, memakai landasan agama. Bahkan, dengan percaya diri, memasang tagline, "Sebuah Intisari Islam". Apakah intisari Islam adalah pengukuhan keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk pendosa dan warga kelas dua? Yang hanya bisa pasrah, menangis dan berdoa, tanpa berbuat apa-apa? Jelas, itu adalah tentakel patriarkis yang berkedok ajaran agama. Dalam negara, contoh terbaru watak patriarki adalah Rencana Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi. Di sini tampak, perempuan ditempatkan sebagai sumber dosa, sehingga harus ditutupi, diplastiki. Dianggap benda mati, dan tak pernah dipercayai punya akal-budi.

Sinema Hidayah, celoteh presenter dan narator di "Insert", ucapan ustad gaul Jefri, menunjukkan bahwa Trans TV, masih "mentransformasikan" nilai-nilai patriarkis tersebut, dan mengukuhkan mitos pendosa pada perempuan. Barangkali rating, slot iklan, dan "intisari Islam" bisa dijadikan alasan "transformasi" patriarkis itu. Namun yang tak bisa dipungkuri, seluruh acara itu menunjukkan bahwa alam pikir kita masih berada di masa lalu, di zaman Phytagoras dan Aristoteles. Pikiran yang belum tercerahkan. Betapa mengkhawatirkan!

[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 26 November 2006]