window.location.href="http://rumahputih.net/" ..tera di sesela gegas-gesa <$BlogRSDURL$>
...tera di sesela gegas-gesa
Friday, March 02, 2007

Ke(g)aiban Popularitas

Aib adalah jalan tercepat menuju popularitas.

Perseteruan Maia Ahmad dan Mulan Kwok berakhir sudah. Mereka berdamai. Maia akhirnya membayar sejumlah uang sebagai kompensasi dari semua tuntutan Mulan. "Jumlahnya tidak sebanding ya? Tapi Mulan sudah setuju, ya mau apalagi?" jelas Hotman Paris Hutapea, pengacara Mulan.

Banyak yang mengira, usai perseteruan itu, popularitas Mulan akan berakhir. Di Ratu, Mulan memang tidak berperan besar, hanya vokalis. Berbeda dari Maia, yang menciptakan lagu, memutuskan busana panggung, sampai urusan kontrak dengan pihak ketiga. Itulah sebabnya, pengamat musik Bens Leo meyakini, "Karier Mulan akan lebih sulit. Bagaimanapun posisi Maia sebagai pencipta lagu akan lebih jelas."

Sebelumnya, Bens Leo juga menyayangkan perseteruan itu, apalagi sebabnya bukan karena proses kreatif melainkan uang. Bens menganggap Mulan sebagai pihak yang "bodoh" karena tidak pernah terlibat urusan apa pun di Ratu selain menyanyi.

Di infotainmen banyak sekali pendapat yang senada dengan Bens. Keributan Ratu karena uang, dan sampai berpolemik di media, bagi sebagian pengamat bukanlah langkah yang arif. Sebagian besar menyayangkan sikap Mulan yang seperti "kacang lupa pada lanjarannya". Sebagian lagi memahami tapi menyayangkan masa depan karier Mulan. Mulan diyakini akan "selesai" tanpa Maia.


Manfaat Aib

Tapi, dunia hiburan punya aturan yang acap tak tertebak. Belum berselang bulan, Mulan sudah naik panggung, sendirian. Pertama, dan ini yang mengejutkan, ustad gaul Jefri al-Buchori merangkulnya untuk membaca saritilawah al-Quran, mendampingi Iis Dahlia. Acara yang mendapat perhatian besar dari infotainmen itu menampilkan sosok Mulan yang berbeda, berkerudung, berbaju kurung, dan senyum yang terus menggantung. Dia tak lagi murung, tampak bahagia. "Takut sih, takut salah-salah..." katanya sumringah, usai acara, sebagaimana tayang di "Obsesi Pagi" Global TV.

Kedua, Mulan menyanyi di "Britama Vaganza" yang tayang di TransTV. Tanpa lagu Ratu, dia tampil sendiri dan duet bersama Donny Ada Band. Penampilannya pun berubah, tak lagi berpakaian setengah terbuka, tabrak warna, dan menggoda. Mulan tampil feminim, dan tetap seksi. Percayalah, berikutnya Mulan pasti akan tetap tampil di banyak acara. Teraan "aib" pada dirinya karena perseteruan nilai kontrak itu, tak akan berpengaruh pada popularitasnya. Maria Eva telah lama mengajarkan hal itu.

Sebelum kasus video intimnya dengan Yahya Zaini, siapa yang kenal dengan pedangdut ini. Bahkan, di awal kasus itu terungkap, masih banyak orang yang mengernyitkan dahi, bertanya, "Maria Eva, siapa dia?" Tapi kini, nyaris semua orang hapal dengan sosoknya. Bahkan, suara serak karena menahan tangisnya pun masih selalu tayang, sebagai iklan acara berita "Reportase" di TransTV. Maria Eva bahkan pernah selama dua bulan lebih, mendiami teritori benak penikmat infotainmen, sama dengan kasus Angel Lelga saat ini. Dan dampaknya, dengan bumbu "simpati" infotainmen di awal-awalnya, popularitas Maria Eva melesat. Ia nyaris tampil di semua acara talkshow. Ia selalu menangis. Ia acap ceritakan latar belakang keluarganya yang agamis. Dan ia tampak menyesal telah melakukan aib itu. Maria Eva pasti menangis. Dan Ruhut Sitompul, pengacaranya, tahu betul bagaimana menambah bobot kesedihan kliennya dengan ucapan-ucapan yang sungguh memancing iba. Maria adalah korban. Dan sebagai korban dia pantas dibela.

Aib dan popularitas tampaknya tidak bertolakbelakang. Maria Eva tahu memanfaatkannya, dan justru "tertolong" dengan aib itu. Ia misalnya, dengan ringan segera ke Sidoarjo, mengunjungi korban lumpur, dan membagikan uang sumbangan. Selanjutnya, dengan riang juga dia berjoged dangdut di pub di Surabaya, dan tidak menghadiri gugatan cerai dari lelaki yang dia tak akui sebagai suaminya. Beberapa hari kemudian, dia sudah di jakarta, dan menagis lagi, merasa tertekan dengan kasus video intim itu. Maria Eva si penyedih, Maria Eva si penggembira, tampaknya hanya soal waktu dan tempat saja, bagaimana "memainkannya". Dan puncaknya, di malam tahun baru, Maria Eva adalah pedangdut pemula yang dibayar demikian mahal. "Mau tahu? Rp 150 juta. Itu sudah bersih, termasuk personelnya," jawabnya. Kok mahal amat? "Ya mahal dong. Maria..." ucapnya, tertawa, sebagaimana tayang di infotainmen dan dicatat di Harian Surya.

Berbuat aib dan berbuah tarif 150 juta, hmmm... siapa yang tak tergoda?


Penikmat Aib

Dunia hiburan, yang representasi kecilnya diwujudkan dalam televisi, seperti dasamuka. Aib bisa bersanding akur dengan kesusilaan, seperti "dosa" Maria bisa menjadi wajah penolong di Sidoarjo sana. Aib bahkan menjadikan seseorang dapat meraih popularitas dengan gampang. Aib adalah komoditi yang dapat dijual mahal. Dan semua itu terjadi karena banyak sekali orang yang butuh keaiban itu, yang merakusi keaiban itu tanpa rasa puas. Lihatlah "Insert" di hari Minggu. Berita tentang aib seorang selebritis, selalu meraih poling tertinggi yang ditonton dan dinanti pemirsa. Maria Eva pernah jadi pemenang. Mulan Kwok juga. Dan kini, pasti, kasus Angel Lelga. Jadi, aib itu ada peminatnya, ada penikmatnya, ada yang diam-diam menyembahnya. Antara pembuat dan penikmat aib membentuk spektrum simbiosis mutualisme, kesalingtergantungan, saling berbagi kenikmatan.

Dunia hiburan tampaknya memang sebuah medan yang tak pernah dapat dipastikan. Tak ada ketentuan arah, kepastian hukum, apalagi kejelasan nilai. Semua diukur dari rasa butuh. Celakanya, rasa butuh yang awalnya diciptakan ini akhirnya membentuk teritorial sendiri di dalam pikiran, dengan menciptakan sensasi kekurangan. Sensasi kurang, tak pernah puas, inilah yang membuat wajah aib jadi hilang. Aib adalah cara, jalan, metode, untuk meraih sesuatu. Maka, ketika Ratu ribut, banyak komentar kalau hal itu adalah cara untuk menaikkan popularitas. Peterpen pecah, dimaknai sebagai cara untuk meningkatkan penjualan album. Bagi penonton, aib juga kehilangan sisi negatifnya, dan kemudian direduksi sebatas hasrat ingin tahu. Penonton tak lagi peduli pada aib tersebut, tapi tersedot pada efek dari aib itu. Nalar akhirnya dikebiri hanya menjadi spektrum hasrat untuk tahu, "setelah ini-lalu-lalu-lalu" yang tak putus-putusnya. Pada saat itulah, di mata filsuf Gilles Deleuze & Felix Guattari, telah tercipta mesin hasrat, membuat seseorang mengalami kenikmatan mengetahui semua kronologis keaiban itu. Kenikmatan itulah yang mendorong orang untuk terus berlomba tahu dan bangga dengan keserbatahuan itu. Inilah makanya, berita aib segera menyebar dengan cepatnya, video Maria terluaskan bahkan sampai ke mancanegara, semua orang ingin jadi yang pertama tahu. Orang pun mau menonton langsung Maria hanya untuk dapat berkata, "Aku telah melihat langsung Maria Eva..." atau, "Ternyata Maria itu tidak seperti..."

Dunia hiburan menyadari mesin hasrat ini. Keaiban adalah magnit yang dapat menyedot kamera, popularitas dan uang. Itulah sebabnya, selalu ada yang mau mendekat mereka, berbagi sedan dan airmata. Selalu ada yang mau jadi pembela atau sebenarnya memanfaatkan "popularitas" mereka. Seperti Mulan Kwok yang tiba-tiba menjadi pembaca saritilawah di forum Ustad Jefri itu.


[Artikel ini sudah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 4 Maret 2007]