...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, April 12, 2007
Uang Sebagai Mata Ketiga
Uang adalah solusi sekaligus masalah tanpa henti.
Di depan 500 juta kita barangkali sulit untuk tertawa. Tapi Jack melakukan itu. Dia tertawa, bahunya berguncang, ketika rivalnya, Richard, menahan mual memakan senampan kecil keju, sesuap-suap. Di sampingnya, Mandy, juga rivalnya, memegangi perut dengan wajah pucat, menahan muntah. Hanya Joe Rogan, pembawa acara, yang juga mengumbar senyum, meski alisnya sesekali terangkat, mengusir rasa jijik.
Richard memang menderita. Keju itu, yang dideskripsikan Joe dengan, "dicampur bola mata dan limpa sapi, dan disimpan selama dua tahun, sehingga belatung muncul dan bersarang di dalamnya," terasa begitu menyiksa. Airmata Richard menetes, berkali-kali dia terbatuk dan nyaris muntah, tubuhnya limbung. Tapi, keju menjijikkan itu tetap dia masukkan, sejumput, terus, dimotivasi Joe yang selalu mengingatkan jumlah uang yang akan dia raih jika berhasil menyelesaikan sesi kedua itu. Joe juga memarahi Jack yang seperti mengejek. "Nanti baru kau rasakan ketika giliranmu tiba." Jack tetap tertawa.
Richard memang berhasil. Senampan keju itu pun tandas. Dia lalu berjalan ke luar arena, mengorek mulutnya dengan jari, dan memuntahkan seluruh keju busuk itu. Jack tetap tertawa. "Sekarang, 50 ribu dollar makin dekat ke Richard," puji Joe. "Giliranmu Jack. Semoga kau masih bisa tertawa."
Jack tersenyum, dengan ringan berjalan ke meja, mengambil nampan keju jatahnya. Dilihatnya Richard, Mandy, Joe yang menunggu suapan pertamanya. Tapi, tiba-tiba, Jack membanting nampan itu ke lantai. "Ini sinting! Aku tidak akan pernah mau makan ini. Dan kau Richard, kau orang paling bodoh yang pernah kulihat mau merendahkan harga diri hanya karena uang. Aku jijik berada di sini, aku jijik bersama kalian yang karena uang mau melakukan apa pun!" Berbalik badan, Jack pergi.
Joe terdiam. Itu reaksi yang tidak pernah dia bayangkan. Richard, Mandy, mematung beberapa saat. Ucapan Jack barangkali lebih terasa menyakitkan daripada keju busuk itu. Tapi Joe tak boleh membiarkan kesadaran itu menyusup terlalu dalam. Dia segera mencairkan suasana, bertepuk tangan, dengan lugas berkata, "Yeah, kita tidak tahu apa yang ada di kepala Jack. Dia terlalu serius dengan hidupnya. Apa pun itu, dia telah gagal, dan 50 ribu dolar kini tinggal kalian berdua yang akan mendapatkannya. Mandy, giliranmu...."
Joe mungkin benar, Jack terlalu serius memaknai "permainan" itu. Bagi Joe yang telah mengampu ratusan episode "Fear Factor", sikap Jack adalah sebuah anomali. Telah dia saksikan puluhan orang yang meski terbatuk, muntah, mual berat sampai meneteskan liur dan airmata, tetap "menikmati" permainan itu. Telah ratusan orang berhasil dia motivasi untuk dapat memakan keju busuk, jus limpa babi busuk berbelatung, dan bola mata sapi, sampai bubur dari campuran empedu ular, isi perut ikan dan zakar sapi. Semuanya berhasil. 50 ribu dolar terlalu sayang untuk hilang hanya karena makanan busuk itu. Joe berbicara atas dasar pengalaman, Jack bukan bagian dari itu. Tawa Jack jadi sebuah keseriusan di matanya.
Cermin Uang
"Fear Factor" memang cermin tentang sikap manusia yang tak bisa tertawa di depan uang. Sikap yang juga pernah kita temukan dalam "Tantangan" di Indosiar, dan "Fear Factor Indonesia" Di RCTI. Ketika makan kepingan pisau silet, jus cacing tanah-otak sapi mentah, atau jus cabai-cacing, menjadi hal ringan. Tiga juta rupiah di "Tantangan" dan 50 juta rupiah di "Fear Faktor Indonesia" membuat mulut dan perut jadi mungkin mengunyah segalanya. Uang, dengan kekuatan sihirnya, membuat sesuatu yang semula tak terbayangkan dapat dimakan, dengan enteng dikunyah, dimamah. Selebihnya terselip juga rasa bangga, mungkin prestasi.
Memaknai hal di atas sebagai prestasi dilakukan dengan cerdas oleh "Gong Show" yang tayang setiap Sabtu-Minggu di TransTV. Di acara itu, melukis dengan lidah, menelan berpuluh telur mentah, memotong rambut dengan api, atau menguyah cabai rawit satu gelas, disambut dengan tepukan dan rasa puas. Ada Arie K Untung yang memandu, detik yang mencatat, dan gong yang menghentikan aksi. Waktu yang tercatat adalah ukuran uang yang didapat. Satu menit mengunyah cabai rawit bernilai Rp 1,2 juta ketika Komeng memukulkan palu ke gong. 42 detik adalah ratusan ribu rupiah, ketika Anya Dwinov atau Ulfa memukul gong. Uang adalah hasil akhir, tujuan. Pepatah waktu adalah uang, termanifestasikan dengan tepat di acara ini.
Waktu adalah uang, prestasi maknanya pun harus uang. Itulah roh zaman. Penyair Jerman Goethe pun mengakuinya dengan mengatakan, "Kini, uang adalah dewa dunia." Goethe memakai kata "kini" karena dia tahu, pernah dulu, uang bukanlah apa-apa, hanya sekadar alat tukar, sebuah instrumen yang diciptakan untuk membantu dan memudahkan aktivitas manusia. Sebagai alat, uang adalah solusi, penyelesai masalah.
Kini, peran uang berubah secara drastis, menjadi aktor utama di dalam kehidupan manusia. Uang menjadi roda ekonomi. Perputaran ekonomi diukur dari perputaran uang. Bahkan, kini dunia pun berputar dan berporos dari uang. Tak heran kalau sosiolog Jerman Georg Simmel melihat uang sebagai manifestasi totalitas kehidupan manusia. Melalui buku The Philosophy of Money, Simmel melihat uang berimplikasi pada kehidupan manusia secara luas, membentuk dan mempengaruhi budaya. Jika ketika hanya berfungsi sebagai alat tukar uang adalah solusi, kini sebaliknya. Uang yang telah menjadi tujuan hidup, lebih disarati masalah. Uang sebagai tujuan mengubah pola pandang masyarakat, mengubah struktur pergaulan, pola komunikasi, dan nilai-nilai. Nilai pertemanan bahkan dapat diukur dari uang yang seseorang rela utangkan. Uang adalah mata ketiga, yang membuat kita dapat melihat realitas yang semula tak terbayangkan. Hidup yang mungkin tempak jadi lebih indah, atau mengerikan. Uang membuat waktu terasa lebih cepat, dan hidup menjadi begitu padat, ringkas, sekaligus serius. Itulah sebabnya, sulit mencari orang yang seperti Jack, yang dapat tertawa di depan uang, dapat menampiknya dengan ringan.
Jack adalah contoh watak yang tak mau diringkus oleh pesona uang. Uang memang penting, tapi bukan segalanya. Uang mungkin dapat membeli apa pun, tapi tidak harga dirinya. Jack adalah contoh sedikit orang yang masih percaya, bahwa manusia lebih berkuasa di depan uang. Itulah sebabnya dia tertawa. Karena dia tahu, di depan uang, manusia bisa memilih untuk tetap menjadi manusia atau berubah jadi seonggok campuran keju busuk berbelatung. Jack memilih mengedepankan akal budinya, tak runduk, tak tunduk. Uang adalah godaan yang dia usir dengan tawa. Sungguh, sebuah sikap yang "aneh" di zaman ini. Watak yang sulit dicari, yang diam-diam juga kita rindui....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 15 April 2007]
Di depan 500 juta kita barangkali sulit untuk tertawa. Tapi Jack melakukan itu. Dia tertawa, bahunya berguncang, ketika rivalnya, Richard, menahan mual memakan senampan kecil keju, sesuap-suap. Di sampingnya, Mandy, juga rivalnya, memegangi perut dengan wajah pucat, menahan muntah. Hanya Joe Rogan, pembawa acara, yang juga mengumbar senyum, meski alisnya sesekali terangkat, mengusir rasa jijik.
Richard memang menderita. Keju itu, yang dideskripsikan Joe dengan, "dicampur bola mata dan limpa sapi, dan disimpan selama dua tahun, sehingga belatung muncul dan bersarang di dalamnya," terasa begitu menyiksa. Airmata Richard menetes, berkali-kali dia terbatuk dan nyaris muntah, tubuhnya limbung. Tapi, keju menjijikkan itu tetap dia masukkan, sejumput, terus, dimotivasi Joe yang selalu mengingatkan jumlah uang yang akan dia raih jika berhasil menyelesaikan sesi kedua itu. Joe juga memarahi Jack yang seperti mengejek. "Nanti baru kau rasakan ketika giliranmu tiba." Jack tetap tertawa.
Richard memang berhasil. Senampan keju itu pun tandas. Dia lalu berjalan ke luar arena, mengorek mulutnya dengan jari, dan memuntahkan seluruh keju busuk itu. Jack tetap tertawa. "Sekarang, 50 ribu dollar makin dekat ke Richard," puji Joe. "Giliranmu Jack. Semoga kau masih bisa tertawa."
Jack tersenyum, dengan ringan berjalan ke meja, mengambil nampan keju jatahnya. Dilihatnya Richard, Mandy, Joe yang menunggu suapan pertamanya. Tapi, tiba-tiba, Jack membanting nampan itu ke lantai. "Ini sinting! Aku tidak akan pernah mau makan ini. Dan kau Richard, kau orang paling bodoh yang pernah kulihat mau merendahkan harga diri hanya karena uang. Aku jijik berada di sini, aku jijik bersama kalian yang karena uang mau melakukan apa pun!" Berbalik badan, Jack pergi.
Joe terdiam. Itu reaksi yang tidak pernah dia bayangkan. Richard, Mandy, mematung beberapa saat. Ucapan Jack barangkali lebih terasa menyakitkan daripada keju busuk itu. Tapi Joe tak boleh membiarkan kesadaran itu menyusup terlalu dalam. Dia segera mencairkan suasana, bertepuk tangan, dengan lugas berkata, "Yeah, kita tidak tahu apa yang ada di kepala Jack. Dia terlalu serius dengan hidupnya. Apa pun itu, dia telah gagal, dan 50 ribu dolar kini tinggal kalian berdua yang akan mendapatkannya. Mandy, giliranmu...."
Joe mungkin benar, Jack terlalu serius memaknai "permainan" itu. Bagi Joe yang telah mengampu ratusan episode "Fear Factor", sikap Jack adalah sebuah anomali. Telah dia saksikan puluhan orang yang meski terbatuk, muntah, mual berat sampai meneteskan liur dan airmata, tetap "menikmati" permainan itu. Telah ratusan orang berhasil dia motivasi untuk dapat memakan keju busuk, jus limpa babi busuk berbelatung, dan bola mata sapi, sampai bubur dari campuran empedu ular, isi perut ikan dan zakar sapi. Semuanya berhasil. 50 ribu dolar terlalu sayang untuk hilang hanya karena makanan busuk itu. Joe berbicara atas dasar pengalaman, Jack bukan bagian dari itu. Tawa Jack jadi sebuah keseriusan di matanya.
Cermin Uang
"Fear Factor" memang cermin tentang sikap manusia yang tak bisa tertawa di depan uang. Sikap yang juga pernah kita temukan dalam "Tantangan" di Indosiar, dan "Fear Factor Indonesia" Di RCTI. Ketika makan kepingan pisau silet, jus cacing tanah-otak sapi mentah, atau jus cabai-cacing, menjadi hal ringan. Tiga juta rupiah di "Tantangan" dan 50 juta rupiah di "Fear Faktor Indonesia" membuat mulut dan perut jadi mungkin mengunyah segalanya. Uang, dengan kekuatan sihirnya, membuat sesuatu yang semula tak terbayangkan dapat dimakan, dengan enteng dikunyah, dimamah. Selebihnya terselip juga rasa bangga, mungkin prestasi.
Memaknai hal di atas sebagai prestasi dilakukan dengan cerdas oleh "Gong Show" yang tayang setiap Sabtu-Minggu di TransTV. Di acara itu, melukis dengan lidah, menelan berpuluh telur mentah, memotong rambut dengan api, atau menguyah cabai rawit satu gelas, disambut dengan tepukan dan rasa puas. Ada Arie K Untung yang memandu, detik yang mencatat, dan gong yang menghentikan aksi. Waktu yang tercatat adalah ukuran uang yang didapat. Satu menit mengunyah cabai rawit bernilai Rp 1,2 juta ketika Komeng memukulkan palu ke gong. 42 detik adalah ratusan ribu rupiah, ketika Anya Dwinov atau Ulfa memukul gong. Uang adalah hasil akhir, tujuan. Pepatah waktu adalah uang, termanifestasikan dengan tepat di acara ini.
Waktu adalah uang, prestasi maknanya pun harus uang. Itulah roh zaman. Penyair Jerman Goethe pun mengakuinya dengan mengatakan, "Kini, uang adalah dewa dunia." Goethe memakai kata "kini" karena dia tahu, pernah dulu, uang bukanlah apa-apa, hanya sekadar alat tukar, sebuah instrumen yang diciptakan untuk membantu dan memudahkan aktivitas manusia. Sebagai alat, uang adalah solusi, penyelesai masalah.
Kini, peran uang berubah secara drastis, menjadi aktor utama di dalam kehidupan manusia. Uang menjadi roda ekonomi. Perputaran ekonomi diukur dari perputaran uang. Bahkan, kini dunia pun berputar dan berporos dari uang. Tak heran kalau sosiolog Jerman Georg Simmel melihat uang sebagai manifestasi totalitas kehidupan manusia. Melalui buku The Philosophy of Money, Simmel melihat uang berimplikasi pada kehidupan manusia secara luas, membentuk dan mempengaruhi budaya. Jika ketika hanya berfungsi sebagai alat tukar uang adalah solusi, kini sebaliknya. Uang yang telah menjadi tujuan hidup, lebih disarati masalah. Uang sebagai tujuan mengubah pola pandang masyarakat, mengubah struktur pergaulan, pola komunikasi, dan nilai-nilai. Nilai pertemanan bahkan dapat diukur dari uang yang seseorang rela utangkan. Uang adalah mata ketiga, yang membuat kita dapat melihat realitas yang semula tak terbayangkan. Hidup yang mungkin tempak jadi lebih indah, atau mengerikan. Uang membuat waktu terasa lebih cepat, dan hidup menjadi begitu padat, ringkas, sekaligus serius. Itulah sebabnya, sulit mencari orang yang seperti Jack, yang dapat tertawa di depan uang, dapat menampiknya dengan ringan.
Jack adalah contoh watak yang tak mau diringkus oleh pesona uang. Uang memang penting, tapi bukan segalanya. Uang mungkin dapat membeli apa pun, tapi tidak harga dirinya. Jack adalah contoh sedikit orang yang masih percaya, bahwa manusia lebih berkuasa di depan uang. Itulah sebabnya dia tertawa. Karena dia tahu, di depan uang, manusia bisa memilih untuk tetap menjadi manusia atau berubah jadi seonggok campuran keju busuk berbelatung. Jack memilih mengedepankan akal budinya, tak runduk, tak tunduk. Uang adalah godaan yang dia usir dengan tawa. Sungguh, sebuah sikap yang "aneh" di zaman ini. Watak yang sulit dicari, yang diam-diam juga kita rindui....
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 15 April 2007]