...tera di sesela gegas-gesa
Thursday, July 31, 2008
Pasar di Indonesian Idol
Aris dan Gisel bertempur di grandfinal "Indonesian Idol". Yang menang modal dan pasar.
Patudu, wakil Jawa Tengah itu, gugur dalam sebuah pertarungan yang tak adil. Pertarungan yang dipersiapkan dengan skema bahwa dia harus jadi pecundang. Ketidakadilan yang lahir dari analisa Indra Lesmana, satu hari sebelum kontes dimulai. "Terlepas dari kualitasnya, saya ragu kalau Patudu bisa lolos dua besar. Dia nggak punya pasar yang jelas seperti Gisel dan Aris."
"Indonesian Idol" adalah kontes suara, dan Indra, juri utama, justru menilai Patudu "terlepas dari kualitasnya". Indra berubah jadi pedagang, dan memasukkan pertimbangan pasar. Indra hanya melihat Patudu sebagai komoditas, satuan barang dengan nilai nominalnya, yang dapat berharga atau pantas dibuang.
Sebab Aris, di mata Indra, cocok menjadi ikon anak jalanan. Sebab Gisel, telah cocok jadi ikon gadis zaman sekarang. "Kalau Patudu, saya bingung. Dia itu mewakili siapa, dan condong ke mana, saya tidak tahu. Jadi dia itu belum jelas mempunyai pasar kalau jadi Idol," tambah Indra. Dan sebelum Patudu diadu, Indra telah berbisik ragu.
RCTI menangkap keraguan pasar seperti yang dibisikkan Indra itu.
Namun, dalam sebuah tayangan reality show, keraguan, prediksi, tak selalu bergulir jadi kenyataan. Telah beberapa kali Patudu diramalkan juri akan terbuang. Anang dan juga Titi, telah dua kali menyatakan Patudu pantas pulang. Tapi kenyataan bicara lain, Patudu selalu kembali, bahkan ketika berada dalam penampilan terburuk. SMS untuk pria Batak ini selalu cukup, dia punya pendukung yang luas, dari Jawa Tengah, dan Medan, asal puaknya. Lebih dari itu, Patudu adalah "kontestan lelaki yang paling stabil penampilannya," puji Indra. Dalam diri Patudu tersedia dua hal, kualitas suara dan dukungan pemirsa. Keduanya akan dapat mengalahkan keraguan pasar Indra.
RCTI pun merasa takut. Pertarungan yang adil seperti sebelumnya tak bisa dilakukan lagi. Harus ada skema, cara, yang bisa "mengacaukan" perebutan suara pemirsa. RCTI ingat satu nama, Titiek Puspa.
Maka, dalam pertarungan tiga besar itu, tiba-tiba Titiek Puspa hadir. Sendiri.
Sebelum Titiek Puspa, telah pernah hadir Audi, juga Rossa. Mereka acap menjadi suara alternatif di luar juri, yang mengomentari penampilan kontestan. Sebagai suara alternatif, mereka menilai semua, berada di antara penonton dalam "sudut netral". Terkadang membenarkan penilaian juri, meski lebih sering membantah. Tapi Titiek Puspa hadir bukan sebagai suara alternatif. Titiek Puspa datang untuk memilihkan pemenang. Itulah sebabnya, dia tidak berada di zona netral bersama penonton, tapi duduk dalam apitan Ibu dan istri Aris. Di zona terlibat itu, kamera berkali-kali menampakkan Titiek yang ikut berdendang dan mengacungkan jari atas penampilan Aris.
Di sisi lain, di pusaran pendukung Patudu, tak ada satu artis pun. Tak ada kamera yang betah menayangkannya, hanya sekelebatan.
Dan apa kata Titiek Puspa? "Wes, sing baju kuning itu pasti masuk grandfinal." Aris memang memakai jas kuning.
"Merinding awakku mendengar suaranya," tambah Titiek Puspa. Cukup? Belum. "Sudah lama saya suka sama yang baju kuning itu. Banyak orang yang punya suara seperti kamu. Tapi cuma kamu yang punya soul, karakter. Pokoke, komplet!"
Titiek tak mengomentari yang lain, tak menilai yang lain. Kehadirannya hanya punya satu tujuan, menciptakan panggung grandfinal untuk Aris. Titiek dihadirkan untuk menjadi pemulung suara (vote getter) bagi Aris. Di panggung itu, Titiek memainkan perannya seperti artis di dunia politik, mengajak orang untuk memilih seperti pilihannya. Hasilnya? Efektif. Aris meraih suara terbanyak. Patudu, yang tak "punya pasar" itu, terbuang.
"Aku bangga sama kamu," bisik Titiek ketika Aris merangkulnya, usai perhelatan yang tak menarik itu. Barangkali, Titiek bangga pada dirinya sendiri, yang kembali mampu menaikkan "pamor" Aris, seperti pada Inul, yang pernah dia lakukan dulu.
Lalu, dalam pertarungan yang tak adil itu, Ariskah yang menang? Titiek Puspa atau Indra Lesmana, dengan prediksi saudagarnya? Tidak. Yang menang adalah modal dan pasar. Dalam ajang itu, intervensi modal dan pasar telah membuat kualitas bukan lagi yang utama. Penghambaan pada pasar telah membuat seluruh aspek pertunjukan "Indonesian Idol" yang di babak audisi penuh dengan citraan pencarian talenta berbakat dalam bidang tariksuara, runtuh begitu saja. Perdebatan-pertengkaran Titi, Anang, Indra, tentang musikalitas suara seorang peserta tak lagi punya gema. Karena di babak akhir, Indra justru menciderai musikalitas itu.
Menempatkan pasar sebagai ukuran tertinggi di dalam berkesenian adalah dosa terbesar bagi kreativitas. Karena pasar juga adalah setan yang selalu menggoda iman berkesenian. Dan di Jumat malam (18/7) itu, iman berkesenian "Indonesian Idol" telah padam.
Tapi, apakah salah jika sebuah kontes, seorang juri, mempertimbangkan pasar? Salah, jika pasar ditempatkan sebagai sebuah kekuatan yang tak terlawan. Karena sesungguhnya, pasar selalu bisa dinegosiasi. Pasar bukanlah sebuah medan yang tetap dan ajek, melainkan bergerak dan mengalir, menerima setiap anasir untuk memperkaya. Pasar adalah sebuah muara, yang sebenarnya dapat dikendalikan dan dibentuk siapa saja. Pasar bukanlah areal seteril, melainkan wilayah yang bisa dipengaruhi, bahkan dikejutkan. Pasar adalah sebuah anomali, dan dengan demikian, sepertinya dia bisa diduga, padahal tidak, seakan bisa dikendalikan, tapi juga bukan. Pasar adalah dunia yang, meminjam Amir Hamzah, "bertukar tangkap dengan lepas."
Indra dan RCTI barangkali lupa akan hal itu. Dan mereka "membuang" Patudu, karena yakin, tak ada pasar yang jelas untuk anak yang audisi dari Brebes itu. Padahal, ketika "Indonesian Idol" memenangkan Mike dan juga Ihsan, dengan asumsi yang sama, bukankah pasar "menolaknya"? Mike dan Ihsan tak pernah diterima pasar dengan sempurna, kaset dan CD mereka tak pernah meraih hasil seperti yang dikira. Karena itu Indra, janganlah percaya kepada pasar sebagai sesuatu yang tak terlawan. Begitu engkah percaya, pasar akan membuat engkau kecewa. Cukuplah sudah sampai pada Patudu saja.
( t.i.l.i.k ! )
Patudu, wakil Jawa Tengah itu, gugur dalam sebuah pertarungan yang tak adil. Pertarungan yang dipersiapkan dengan skema bahwa dia harus jadi pecundang. Ketidakadilan yang lahir dari analisa Indra Lesmana, satu hari sebelum kontes dimulai. "Terlepas dari kualitasnya, saya ragu kalau Patudu bisa lolos dua besar. Dia nggak punya pasar yang jelas seperti Gisel dan Aris."
"Indonesian Idol" adalah kontes suara, dan Indra, juri utama, justru menilai Patudu "terlepas dari kualitasnya". Indra berubah jadi pedagang, dan memasukkan pertimbangan pasar. Indra hanya melihat Patudu sebagai komoditas, satuan barang dengan nilai nominalnya, yang dapat berharga atau pantas dibuang.
Sebab Aris, di mata Indra, cocok menjadi ikon anak jalanan. Sebab Gisel, telah cocok jadi ikon gadis zaman sekarang. "Kalau Patudu, saya bingung. Dia itu mewakili siapa, dan condong ke mana, saya tidak tahu. Jadi dia itu belum jelas mempunyai pasar kalau jadi Idol," tambah Indra. Dan sebelum Patudu diadu, Indra telah berbisik ragu.
RCTI menangkap keraguan pasar seperti yang dibisikkan Indra itu.
Namun, dalam sebuah tayangan reality show, keraguan, prediksi, tak selalu bergulir jadi kenyataan. Telah beberapa kali Patudu diramalkan juri akan terbuang. Anang dan juga Titi, telah dua kali menyatakan Patudu pantas pulang. Tapi kenyataan bicara lain, Patudu selalu kembali, bahkan ketika berada dalam penampilan terburuk. SMS untuk pria Batak ini selalu cukup, dia punya pendukung yang luas, dari Jawa Tengah, dan Medan, asal puaknya. Lebih dari itu, Patudu adalah "kontestan lelaki yang paling stabil penampilannya," puji Indra. Dalam diri Patudu tersedia dua hal, kualitas suara dan dukungan pemirsa. Keduanya akan dapat mengalahkan keraguan pasar Indra.
RCTI pun merasa takut. Pertarungan yang adil seperti sebelumnya tak bisa dilakukan lagi. Harus ada skema, cara, yang bisa "mengacaukan" perebutan suara pemirsa. RCTI ingat satu nama, Titiek Puspa.
Maka, dalam pertarungan tiga besar itu, tiba-tiba Titiek Puspa hadir. Sendiri.
Sebelum Titiek Puspa, telah pernah hadir Audi, juga Rossa. Mereka acap menjadi suara alternatif di luar juri, yang mengomentari penampilan kontestan. Sebagai suara alternatif, mereka menilai semua, berada di antara penonton dalam "sudut netral". Terkadang membenarkan penilaian juri, meski lebih sering membantah. Tapi Titiek Puspa hadir bukan sebagai suara alternatif. Titiek Puspa datang untuk memilihkan pemenang. Itulah sebabnya, dia tidak berada di zona netral bersama penonton, tapi duduk dalam apitan Ibu dan istri Aris. Di zona terlibat itu, kamera berkali-kali menampakkan Titiek yang ikut berdendang dan mengacungkan jari atas penampilan Aris.
Di sisi lain, di pusaran pendukung Patudu, tak ada satu artis pun. Tak ada kamera yang betah menayangkannya, hanya sekelebatan.
Dan apa kata Titiek Puspa? "Wes, sing baju kuning itu pasti masuk grandfinal." Aris memang memakai jas kuning.
"Merinding awakku mendengar suaranya," tambah Titiek Puspa. Cukup? Belum. "Sudah lama saya suka sama yang baju kuning itu. Banyak orang yang punya suara seperti kamu. Tapi cuma kamu yang punya soul, karakter. Pokoke, komplet!"
Titiek tak mengomentari yang lain, tak menilai yang lain. Kehadirannya hanya punya satu tujuan, menciptakan panggung grandfinal untuk Aris. Titiek dihadirkan untuk menjadi pemulung suara (vote getter) bagi Aris. Di panggung itu, Titiek memainkan perannya seperti artis di dunia politik, mengajak orang untuk memilih seperti pilihannya. Hasilnya? Efektif. Aris meraih suara terbanyak. Patudu, yang tak "punya pasar" itu, terbuang.
"Aku bangga sama kamu," bisik Titiek ketika Aris merangkulnya, usai perhelatan yang tak menarik itu. Barangkali, Titiek bangga pada dirinya sendiri, yang kembali mampu menaikkan "pamor" Aris, seperti pada Inul, yang pernah dia lakukan dulu.
Lalu, dalam pertarungan yang tak adil itu, Ariskah yang menang? Titiek Puspa atau Indra Lesmana, dengan prediksi saudagarnya? Tidak. Yang menang adalah modal dan pasar. Dalam ajang itu, intervensi modal dan pasar telah membuat kualitas bukan lagi yang utama. Penghambaan pada pasar telah membuat seluruh aspek pertunjukan "Indonesian Idol" yang di babak audisi penuh dengan citraan pencarian talenta berbakat dalam bidang tariksuara, runtuh begitu saja. Perdebatan-pertengkaran Titi, Anang, Indra, tentang musikalitas suara seorang peserta tak lagi punya gema. Karena di babak akhir, Indra justru menciderai musikalitas itu.
Menempatkan pasar sebagai ukuran tertinggi di dalam berkesenian adalah dosa terbesar bagi kreativitas. Karena pasar juga adalah setan yang selalu menggoda iman berkesenian. Dan di Jumat malam (18/7) itu, iman berkesenian "Indonesian Idol" telah padam.
Tapi, apakah salah jika sebuah kontes, seorang juri, mempertimbangkan pasar? Salah, jika pasar ditempatkan sebagai sebuah kekuatan yang tak terlawan. Karena sesungguhnya, pasar selalu bisa dinegosiasi. Pasar bukanlah sebuah medan yang tetap dan ajek, melainkan bergerak dan mengalir, menerima setiap anasir untuk memperkaya. Pasar adalah sebuah muara, yang sebenarnya dapat dikendalikan dan dibentuk siapa saja. Pasar bukanlah areal seteril, melainkan wilayah yang bisa dipengaruhi, bahkan dikejutkan. Pasar adalah sebuah anomali, dan dengan demikian, sepertinya dia bisa diduga, padahal tidak, seakan bisa dikendalikan, tapi juga bukan. Pasar adalah dunia yang, meminjam Amir Hamzah, "bertukar tangkap dengan lepas."
Indra dan RCTI barangkali lupa akan hal itu. Dan mereka "membuang" Patudu, karena yakin, tak ada pasar yang jelas untuk anak yang audisi dari Brebes itu. Padahal, ketika "Indonesian Idol" memenangkan Mike dan juga Ihsan, dengan asumsi yang sama, bukankah pasar "menolaknya"? Mike dan Ihsan tak pernah diterima pasar dengan sempurna, kaset dan CD mereka tak pernah meraih hasil seperti yang dikira. Karena itu Indra, janganlah percaya kepada pasar sebagai sesuatu yang tak terlawan. Begitu engkah percaya, pasar akan membuat engkau kecewa. Cukuplah sudah sampai pada Patudu saja.
( t.i.l.i.k ! )
Wednesday, July 23, 2008
Ketika Rok Prisia Tersingkap
Dapatkah seorang aktris menafikan kehadiran orang lain ketika dia dituntut untuk merasa sendiri? Prisia Nasution akan menjawab, "Tidak." Bermain dalam Gala Sinema SCTV "Cinta tak Pernah Salah", Selasa (15/7) malam, Prisia tak pernah mampu merasa sendiri.
Sehabis menyaksikan kekasihnya bermesraan dengan Mala, dan diamuk cemburu, dia bergegas pulang. Dengan wajah menahan tangis, dia empaskan jenjang tubuhnya ke kasur. Empasan yang membuat roknya tersingkap, menampakkan gading pahanya. Tapi, dengan cepat gulungan rok itu dia turunkan, sekaligus merapikan kaos ketat yang sempat memamerkan tipis perutnya.
Di kamar itu tak ada sesiapa. Selebar apa pun singkapan rok, dan seterpampang apa pun paha, tak akan ada mata yang melahapnya. Tapi, Prisia menyadari, dia sepenuhnya tak sendiri. Ada sutradara dan beberapa kru hadir di sana, juga penonton yang, kelak, dapat melihatnya melalui kamera. Dia pun terambing antara dua dunia, peranan dan kenyataan. Prisia, sesaat, memilih kembali ke kenyataan.
"Kesadaran akan ruang". Itulah yang dialami Prisia, sebentuk ingatan yang datang dari peran yang gagal merasuk. Dalam akting tadi, dia tak berhasil "mengambil" kamar itu sebagai ruang pribadi, ketika ketersingkapan rok, bahkan ketelanjangan pun, adalah sesuatu yang wajar, dan bukan "kesalahan". Kesadaran akan ruang, juga kehadiran orang lain, menunjukkan betapa lemahnya penghayatan atas peranan. Dan di Indonesia, kesadaran akan ruang ini sudah menjadi penyakit yang luar biasa.
Mekanisme Senyap
Bunga Zainal dalam sinetron Suci juga acap menyadari "ruang" yang tidak steril itu. Dalam adegan pingsan --dan ini tipikalitas yang juga dilakukan semua aktris--, dia digendong Denis. Namun, kepingsanan itu tak membuat tangannya abai untuk membenahi roknya yang menjuntai. Lucu.
Adegan bangun tidur apalagi. Nyaris semua aktris akan merapikan rok atau piyamanya di bawah selimut, sebelum keluar dari pembaringan. Adegan mandi pun, atau jatuh bergulingan, menjadi demikian "sopan" di sinetron Indonesia. Setiap aktris telah selalu mempersiapkan celana pendek ketat di balik roknya. Pemain selalu menyadari banyak mata yang dapat melihat tubuh mereka, bahkan ketika adegan itu "berkata" tak ada siapa-siapa.
Akting adalah melepaskan dunia nyata, dan masuk ke dalam dunia bentukan. Kemerasukan itu menuntut pengalpaan pada identitas diri, pada sekitar. Billy Chapel dalam film For Love of the Game menyebutnya sebagai "mekanisme senyap", ketika realitas dan diri asali tak hanya menciut, tapi juga lenyap. Yang hidup adalah diri dalam peranan, dalam dunia bentukan.
Karena itu, teriakan "action!" dari sutradara bukan saja tanda dimulainya sebuah adegan, tapi juga perintah bagi setiap aktris untuk menutup kenyataan dan diri asali, masuk ke gerbang peranan. Dan di Indonesia, tak banyak aktris yang bisa demikian. Maruli Ara hanya menyebut satu nama, Surya Saputra. "Begitu 'Action!' diteriakkan, dia akan segera menjadi orang lain, masuk ke perannya. Cepat sekali, seperti otomatis," puji sutradara sinetron Dunia Tanpa Koma itu. Dan harus diakui, akting Surya sebagai Jendra Aditya di sinetron itu memang memukau.
Akting adalah kemerasukan. Teriakan "Cut!" adalah mantra untuk meluruhkan kerasukan tersebut. Meski kadang, sebengis apa pun teriakan itu, acap gagal untuk "mengembalikan" pemain yang larut ke dunia asalinya. Uli Edel, sutradara film Body of Evidence, harus meneriakkan "Cut" lebih dari tujuh kali, sebelum Madonna menyadari kalau pengadeganan sudah selesai. Madonna terseret pada perannya, masuk pada karakternya, dan susah disadarkan, demikian juga lawan mainnya. Sayangnya, untuk kasus Madonna, kemerasukan itu lebih khusus pada adegan bercinta.
Robert De Niro mengakui "Cut" memang menghentikan pengadeganan, tapi tidak "diri" yang dia perankan. "Beberapa hari setelah usai syuting, aku masih merasa diriku ini orang lain. Butuh waktu lama bagiku untuk keluar dari karakter yang aku perani. Kadang aku takut diriku tak pernah seutuhnya bisa kembali." Bagi De Niro, memerankan adalah mengizinkan dirinya "dibawa" watak lain, tanpa ada kepastian bisa kembali. Christine Hakim butuh waktu tiga bulan untuk benar-benar bisa bebas dari infiltrasi peran yang dia mainkan dalam sebuah film. Pengorbanan yang besar untuk akting yang memang selalu bersinar.
Dengan demikian, akting bukanlah perkara main-main, dan aktris tidak profesi gampangan. Ada pertaruhan di setiap peranan, kebersediaan untuk "melepaskan diri". Juga sebuah kesadaran, ketika "action!" diucapkan, realitas harus punah. Ruang yang baru pun hadir, dan dihidupi dalam "kesadaran" peranan.
Bagi Prisia, "Cut" mungkin adalah tanda lepasnya beban, usainya kerja, dan datangnya uang. Atau, beban baru, karena adegan yang sama, harus diulang. Bisa juga, "Cut" adalah jeda, untuk dapat berpindah ke adegan lain, di sinetron lain, di lokasi yang lain. Dengan demikian, aktris pun dimaknai sebagai profesi yang paling gampang untuk mengejar setoran. Uang. Dalam kesadaran semacam itulah, Prisia tak bisa masuk ke dalam suasana peranan. Ia pun selalu memerhatikan posisi duduk dan sibakan roknya, bahkan ketika dia tengah berada di kamar tidurnya. Prisia takut, di kamarnya, ada penonton yang dapat mengintip tubuhnya.
[Artikel ini telah dimuat di Harian Suara Merdeka, Minggu 20 Juli 2008]
( t.i.l.i.k ! )
Monday, July 07, 2008
Isyarat dan Kematian
Benarkah kematian datang tanpa rencana, selalu tiba-tiba? Widyawati barangkali akan menjawab, tidak. Mengingat kembali semua sikap Sophan Sophiaan, dia pasti tahu, kematian telah lama mendekati suaminya, memberi isyarat kepadanya.
Isyarat itu, berupa sikap tak biasa Sophan, tak dapat dia baca sebagai tanda, sinyal dari maut. Widyawati menikmatinya, larut.
Selama konvoi misalnya, Widya merasa Sophan tambah mesra, acap menatapnya, dan memeluk erat. "Jauh lebih hangat dan sering," kenang Widya, Jumat (23/5) sore.
Dan ini yang paling tak dia lupa, di Rembang, isyarat itu lebih kuat terasa. Sophan memintanya mengenang saat pertama berjumpa, dalam film Pengantin Remadja. Sophan tak hanya menyanyikan soundtrack film itu, tapi juga membacakan surat cinta. "Juli sayang, suatu saat kita akan berjumpa lagi," ucap lelaki tampan itu sambil menatap Widyawati.
Itulah isyarat, dan Widya tak menyadari. Meski, "Saya bengong menatapnya. Dia bisa hapal lirik lagu Romi dan Juli, bahkan isi surat cintanya."
Isyarat itu juga datang dari alam. Sepanjang Jakarta-Tuban, dalam konvoi berboncengan, Widyawati selalu melihat sepasang burung terbang di depan mereka. Hanya dia yang melihat. Terbersit rasa tanya, "Kok aneh, selalu ada sepasang. Saya sampai berpikir, jangan-jangan ngikutin saya. Tapi setiap mau ngomong sama Sophan, saya lupa terus," ingatnya.
Kematian memang tidak datang tiba-tiba, dia memberi isyarat, yang kelak akan jadi kenangan. Widyawati pun melihat isyarat itu di dalam kenangan, sebuah jalur ingatan yang membuat seseorang yang telah pergi tetap dapat selalu datang. Isyarat itu, kenangan itu, adalah keabadian yang dititipkan sang maut, sebagai tanda, kematian tak pernah utuh menjemput. Ada yang tetap ditinggalkannya untuk yang hidup, sebagai kawan duka, bahwa memang ada yang pergi, tapi tidak selamanya. Ada yang berpulang, tapi bukan tidak kembali. Kenangan akan terus memanasi ingatan, membuat yang tiada kembali menjadi ada. "Saya sering lupa kalau Sophan sudah meninggal," bisiknya.
"Malam itu, saya mendengar langkah Bapak mendatangi kamar saya. Saya heran, kan Bapak di Surabaya. Saya pikir Bapak pasti sedang kangen," cerita Romi.
Sophan berada di Surabaya, tapi Romi merasakan langkahnya di Jakarta. Bagaimana menerangkan hal ini?
"Kematian itu tidak ada. Yang terjadi hanyalah perubahan energi. Jadi, sebagai energi, yang mati itu tetap dapat terhubung dengan kita kembali," terang Eckhart Tolle, penulis buku A New Earth, dalam acara "Oprah Winfrey Show".
"Langkah" Sophan itu juga isyarat, "energi" yang tak mau pergi. Energi yang bisa berpulang, bahkan dipanggil, melalui mekanisme ingatan.
Kematian, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang jauh. Dia dekat, dan dapat diamati, dicatat, jika kita cermat menangkap isyarat. Kematian, meminjam Subagyo Sastrowardoyo, seakan kawan berkelakar yang mengajak tertawa -itu bahasa semesta yang dimengerti. Dan karena akrab, kematian tidak menjaraki yang hidup dan mati. Lihat, tak ada batas antara kita. Aku masih terikat kepada dunia/ karena janji/ karena kenangan// Kematian hanya selaput gagasan yang gampang diseberangi/ Tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua pulih/ juga angan-angan dan selera keisengan.
Widyawati memang telah ditinggalkan, tapi dia tak akan pernah sendiri. Ada "energi" Sophan yang akan terus menemaninya. Karena, semua tahu, hanya cinta yang dapat mengalahkan, menyeberangi kematian. Dan soal cinta, untuk Widyawati dan Sophan, kita tak pantas lagi membicarakannya....
[Artikel di atas diterbitkan sebagai "Tajuk" di Tabloid Cempaka, Kamis 29 Mei 2008]
( t.i.l.i.k ! )
Tuesday, June 24, 2008
Irasionalitas Bangsa
Di televisi, irasionalitas bangsa ini ditunjukkan dengan jelas sekali. Irasionalitas yang justru diakui dan ditulari mereka yang menyandang gelar akedemik tinggi. Memprihatinkan sekali.
"Akhirnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melaporkan Djoko Suprapto terkait kasus penipuan pembangkit listrik Jodhipati dan energi alternatif Banyugeni."
Itulah narasi yang tayang di "Buletin Malam" RCTI, Selasa (17/6) malam. Dalam tayangan itu tampak proses pembongkaran pembangkit listrik mandiri Jodhipati, berupa cor-coran semen tebal, dengan beragam kabel yang terurai. Dan "pembangkit" itu diakui tim ahli dari UMY, tidak akan mungkin dapat menghasilkan energi listrik. Padahal, untuk proyek itu, UMY telah setuju mengeluarkan dana Rp 1,34 miliar. Angka yang luar biasa. Saya menggelengkan kepala.
Pindah saluran ke Anteve, di acara ulangan "Perspektif Wimar", tampil Menristek Kusmayanto Kadiman, yang menjelaskan tentang blue energi. Berkali-kali Wimar menggoda Kusmayanto, sebagai pencuci piring dari atasannya, SBY. Wimar menilai SBY begitu panik dengan krisis energi, dan menempuh cara yang tak lazim.
Namun Kusmayanto membantah. "Menurut Einstein, seorang dinilai ilmuwan jika memulai sesuatu dengan ide yang paling gila sekalipun."
Wimar tertawa. "Iya, tapi kan Presiden tidak boleh punya ide gila, Pak." Meisya Siregar, co-host Wimar, tergelak. Saya juga, menggelengkan kepala melihat kecerdasan Wimar memasukkan "perspektifnya".
Ketika jeda iklan, saya kembali ke RCTI, ternyata juga iklan. Tertayang Mama Lauren. "Nasib tak dapat diubah, tapi saya..." Bosan ah! Saya kembali ke Anteve. Walah! Sama saja. Tayang iklan Mbah Roso. "Ketik REG sepasi MANJUR, kirim ke 98..." Segera saya pindah saluran, memilih TVOne. Lho, siapa yang gondrong itu? Oalah, Ki Joko Bodo, yang meminta pemirsa mengirim SMS. "Ketik REG spasi MANTRA, kirim ke..."
Ya Tuhan...
"Tundukkanlah hatimu ketika malam, bersama embun yang turun perlahan. Renungkan hari yang telah kau jalani. Dalam letih tubuh, rasa akan lebih mampu merasa. Pikiran akan lebih jernih mencerna." Saya lupa, di mana membaca ucapan Gde Prama itu. Intinya, malam adalah "ruang" yang tercipta untuk menemukan terang dan cahaya. Tapi, melihat "nasib" saya ketika mengubah saluran teve, saya justru seperti didudukkan dalam kelam. Tanpa sengaja, saya melihat kaitan yang luar biasa dari perpindahan acara dan iklan di berbagai stasiun itu. Sepanjang Selasa malam itu, sedari pukul 23.00, saya melihat lebih dari 6 kali iklan Ki Joko Bodo, lebih dari 5 kali iklan Mbah Roso dan Mama Lauren. Semuanya berjenis ramalan, mulai dari primbon, sampai telaah wong sinthing. Malam itu memang hanya tayang tiga jenis iklan, tapi saya tahu, jauh sebelumnya telah ada Madame Sahara, Dedy Corbuzier, sampai Safir Senduk. Ramalan atau motivasi yang diiklankan mampu untuk mengubah nasib atau kondisi keuangan seseorang.
Dan iklan itu sukses. Ketika awal-awal tayang, "Ada 70.000 SMS dalam dua minggu. Sehari tayang di lima stasiun televisi," ujar Ki Joko Bodo. Artinya, selama dua pekan, dari iklan itu terhimpun dana Rp 140 juta! Jadi, ramalam itu secara pasti bukan mengubah nasib pengirim SMS, melainkan peramalnya.
Ramainya peminat Ki Joko Bodo, --apalagi jika menghitung SMS untuk Mama Lauren, Madame Sahara, Mbah Roso-- menunjukkan masih kuatnya alam mitis berkuasa di kepala masyarakat kita. Sebuah ironi, terutama jika melihat bagaimana kemitisan dan keirasionalan itu, masuk dan merasuk, melalui teknologi. Barangkali, inilah wujud kekalahan yang paling utama teknologi melawan mitologi. Sebagai produk "kerasionalan", teknologi justru tunduk dan menjadi penyebar dari keirasionalan. Aneh bin ajaib.
Lebih ajaib bin muskil lagi, ketaklukan itu juga sampai kepada para penemu teknologi, mereka yang menghabiskan hidupnya dalam "jajahan" rasionalitas. Proyek Banyugeni di UMY misalnya, melibatkan sekian ahli hanya untuk mengamini "mimpi" Djoko Suprapto, mengubah air menjadi api. Rektor UMY Dr Khoiruddin Bashori bahkan pernah begitu bangga dengan proyek ini, sampai mematenkan, dan "memainkan" berbagai ayat al-Quran, untuk pembenaran, "At-Thur ayat 6, yang berbunyi, 'perhatikan laut yang berapi'. Al-Anbiya’ ayat 30, 'dan Kami jadikan dari air segala sesuatu hidup', dan At-Takwir ayat 6, 'dan apabila laut dipanaskan'." Tuhanku....
Kampus, tempat seharusnya rasionalitas ditegakkan, justru menjadi ajang promosi irasionalitas dan kemuskilan. Mengamini dan membiayai "mimpi" tanpa pengedepanan sikap ilmuwan. Itu sudah menjadi kiamat kecil untuk jagad keilmuwanan. Tapi, kiamat besar itu juga datang, ketika Presiden SBY, dengan bangga, menerima Tim Blue Energy yang telah melakukan perjalanan darat Jakarta-Denpasar sepanjang 1.225,7 km dengan lima kendaraan berbahan bakar energi alternatif "blue energy", di Nusa Dua, Bali, tempat United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. Tim itu diketuai Heru Lelono, Staff Khusus Presiden SBY, dan "pabrik" energi "khayal" Djoko Suprapto itu didirikan di Cikeas, dekat rumah SBY. Artinya, keirasionalan itu bahkan sudah memasuki dan mendapat promosi kelembagaan negara yang tertinggi. Mengerikan sekali. Apalagi, ketika Kusmayanto sempat tidak setuju dan mempertanyakan "blue energi" itu, oleh Presiden, sebagaimana dicatat Tempo, dia malah diminta diam. Dan menteri yang pernah menjadi rektor ITB itu, yang diminta diam itu, kini harus menjelaskan atau "merasionalisasikan" keirasionalan pimpinannya. "Anda bagian cuci-cuci piring, ya?" sindir Wimar.
Selasa malam itu, setelah melihat semua yang tayang di televisi, saya menjadi takut, jangan-jangan, bangsa ini tak bisa diselamatkan lagi.
[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 22 Juni 2008]
( t.i.l.i.k ! )
"Akhirnya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta melaporkan Djoko Suprapto terkait kasus penipuan pembangkit listrik Jodhipati dan energi alternatif Banyugeni."
Itulah narasi yang tayang di "Buletin Malam" RCTI, Selasa (17/6) malam. Dalam tayangan itu tampak proses pembongkaran pembangkit listrik mandiri Jodhipati, berupa cor-coran semen tebal, dengan beragam kabel yang terurai. Dan "pembangkit" itu diakui tim ahli dari UMY, tidak akan mungkin dapat menghasilkan energi listrik. Padahal, untuk proyek itu, UMY telah setuju mengeluarkan dana Rp 1,34 miliar. Angka yang luar biasa. Saya menggelengkan kepala.
Pindah saluran ke Anteve, di acara ulangan "Perspektif Wimar", tampil Menristek Kusmayanto Kadiman, yang menjelaskan tentang blue energi. Berkali-kali Wimar menggoda Kusmayanto, sebagai pencuci piring dari atasannya, SBY. Wimar menilai SBY begitu panik dengan krisis energi, dan menempuh cara yang tak lazim.
Namun Kusmayanto membantah. "Menurut Einstein, seorang dinilai ilmuwan jika memulai sesuatu dengan ide yang paling gila sekalipun."
Wimar tertawa. "Iya, tapi kan Presiden tidak boleh punya ide gila, Pak." Meisya Siregar, co-host Wimar, tergelak. Saya juga, menggelengkan kepala melihat kecerdasan Wimar memasukkan "perspektifnya".
Ketika jeda iklan, saya kembali ke RCTI, ternyata juga iklan. Tertayang Mama Lauren. "Nasib tak dapat diubah, tapi saya..." Bosan ah! Saya kembali ke Anteve. Walah! Sama saja. Tayang iklan Mbah Roso. "Ketik REG sepasi MANJUR, kirim ke 98..." Segera saya pindah saluran, memilih TVOne. Lho, siapa yang gondrong itu? Oalah, Ki Joko Bodo, yang meminta pemirsa mengirim SMS. "Ketik REG spasi MANTRA, kirim ke..."
Ya Tuhan...
"Tundukkanlah hatimu ketika malam, bersama embun yang turun perlahan. Renungkan hari yang telah kau jalani. Dalam letih tubuh, rasa akan lebih mampu merasa. Pikiran akan lebih jernih mencerna." Saya lupa, di mana membaca ucapan Gde Prama itu. Intinya, malam adalah "ruang" yang tercipta untuk menemukan terang dan cahaya. Tapi, melihat "nasib" saya ketika mengubah saluran teve, saya justru seperti didudukkan dalam kelam. Tanpa sengaja, saya melihat kaitan yang luar biasa dari perpindahan acara dan iklan di berbagai stasiun itu. Sepanjang Selasa malam itu, sedari pukul 23.00, saya melihat lebih dari 6 kali iklan Ki Joko Bodo, lebih dari 5 kali iklan Mbah Roso dan Mama Lauren. Semuanya berjenis ramalan, mulai dari primbon, sampai telaah wong sinthing. Malam itu memang hanya tayang tiga jenis iklan, tapi saya tahu, jauh sebelumnya telah ada Madame Sahara, Dedy Corbuzier, sampai Safir Senduk. Ramalan atau motivasi yang diiklankan mampu untuk mengubah nasib atau kondisi keuangan seseorang.
Dan iklan itu sukses. Ketika awal-awal tayang, "Ada 70.000 SMS dalam dua minggu. Sehari tayang di lima stasiun televisi," ujar Ki Joko Bodo. Artinya, selama dua pekan, dari iklan itu terhimpun dana Rp 140 juta! Jadi, ramalam itu secara pasti bukan mengubah nasib pengirim SMS, melainkan peramalnya.
Ramainya peminat Ki Joko Bodo, --apalagi jika menghitung SMS untuk Mama Lauren, Madame Sahara, Mbah Roso-- menunjukkan masih kuatnya alam mitis berkuasa di kepala masyarakat kita. Sebuah ironi, terutama jika melihat bagaimana kemitisan dan keirasionalan itu, masuk dan merasuk, melalui teknologi. Barangkali, inilah wujud kekalahan yang paling utama teknologi melawan mitologi. Sebagai produk "kerasionalan", teknologi justru tunduk dan menjadi penyebar dari keirasionalan. Aneh bin ajaib.
Lebih ajaib bin muskil lagi, ketaklukan itu juga sampai kepada para penemu teknologi, mereka yang menghabiskan hidupnya dalam "jajahan" rasionalitas. Proyek Banyugeni di UMY misalnya, melibatkan sekian ahli hanya untuk mengamini "mimpi" Djoko Suprapto, mengubah air menjadi api. Rektor UMY Dr Khoiruddin Bashori bahkan pernah begitu bangga dengan proyek ini, sampai mematenkan, dan "memainkan" berbagai ayat al-Quran, untuk pembenaran, "At-Thur ayat 6, yang berbunyi, 'perhatikan laut yang berapi'. Al-Anbiya’ ayat 30, 'dan Kami jadikan dari air segala sesuatu hidup', dan At-Takwir ayat 6, 'dan apabila laut dipanaskan'." Tuhanku....
Kampus, tempat seharusnya rasionalitas ditegakkan, justru menjadi ajang promosi irasionalitas dan kemuskilan. Mengamini dan membiayai "mimpi" tanpa pengedepanan sikap ilmuwan. Itu sudah menjadi kiamat kecil untuk jagad keilmuwanan. Tapi, kiamat besar itu juga datang, ketika Presiden SBY, dengan bangga, menerima Tim Blue Energy yang telah melakukan perjalanan darat Jakarta-Denpasar sepanjang 1.225,7 km dengan lima kendaraan berbahan bakar energi alternatif "blue energy", di Nusa Dua, Bali, tempat United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. Tim itu diketuai Heru Lelono, Staff Khusus Presiden SBY, dan "pabrik" energi "khayal" Djoko Suprapto itu didirikan di Cikeas, dekat rumah SBY. Artinya, keirasionalan itu bahkan sudah memasuki dan mendapat promosi kelembagaan negara yang tertinggi. Mengerikan sekali. Apalagi, ketika Kusmayanto sempat tidak setuju dan mempertanyakan "blue energi" itu, oleh Presiden, sebagaimana dicatat Tempo, dia malah diminta diam. Dan menteri yang pernah menjadi rektor ITB itu, yang diminta diam itu, kini harus menjelaskan atau "merasionalisasikan" keirasionalan pimpinannya. "Anda bagian cuci-cuci piring, ya?" sindir Wimar.
Selasa malam itu, setelah melihat semua yang tayang di televisi, saya menjadi takut, jangan-jangan, bangsa ini tak bisa diselamatkan lagi.
[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 22 Juni 2008]
( t.i.l.i.k ! )
Friday, June 06, 2008
Poligami, Musik, dan Imagologi
Agama industri hiburan, dan juga politik, adalah uang!
"Saya jengkel dengan sinetron Munajah Cinta, meniru habis film Ayat-ayat Cinta. Sudah pemainnya sama, sejak awal, cerita sinetron itu pun sudah mengampanyekan poligami. Saya takut, nanti poligami itu akan jadi kewajaran dan diterima oleh masyarakat kita. Mas Aulia mbok sesekali membahas soal itu."
Kutipan di atas adalah petikan e-mail dari Ibu (?) Indah. Sudah agak lama e-mail itu terdiam di inbox, terbiarkan karena saya belum memikirkan bagaimana menjawabnya. Jujur saja, Munajah Cinta belum mampu membuat saya berdiam lama di teve untuk menontonnya, apalagi membahasnya. Karena tak ada hal baru dari sinetron ini, baik dari segi cerita, penyutradaraan, akting, bahkan pemotongan antar-adegan sebelum bersambung. Namun, kekawatiran dari Indah membuat saya berpikir, apakah benar, jika sebuah tayangan menawarkan "sikap" tentang poligami, sinetron itu patut dikhawatirkan? Apakah sebuah nilai yang dipajang bisa langsung "menginfeksii" penonton, menulari dengan cepat seperti virus?
Penonton tentu saja bukan kertas kosong, dan teve menjadi pensil yang akan segera menggarisi kekosongan itu. Pemirsa selalu membawa "bekal" ketika melihat sebuah tayangan. Bekal itulah yang nanti akan "memilihkan" posisi penonton di hadapan "nilai" yang ditawarkan teve. Penonton mungkin saja mengadopsi nilai itu, karena merasa sejalur dan sepaham. Tapi mungkin juga menegasi, menolak, karena "bekal" yang penonton "bawa" merasakan nilai itu sebagai ancaman. Dan tersedia "posisi" ketiga, menegosiasi nilai itu, mengadaftasi, menyaring, mana yang mungkin dan mana yang tidak. Dan menyangkut "tawaran" poligami dalam Munajah Cinta, sikap penonton pasti berada dalam salah satu dari tiga posisi itu.
Jadi Indah, tampaknya tak perlu khawatir. Apalagi, kian hari, saya menyadari industri sebenarnya tidak "berurusan" dengan pemasaran nilai-nilai. Nilai yang dikenal industri adalah nominal dalam bentuk uang. Dan penonton pun, pelan tapi pasti, memandang industri hiburan dalam kerangka semacam itu. Dunia musik adalah contoh terbaik.
Cuma Citra
Dyta kecewa. Malam itu, bersama tiga temannya, dia gagal menemui The Changcuters yang manggung di Surabaya. Padahal, tart sudah mereka bawa, untuk Alda yang berulang tahun. Mereka pun sudah berpakaian ala "Changcuters Angel", dan antre di depan tenda tempat istrahat band itu. Mengiba, memohon, izin tak juga dapat. Ketika mobil yang membawa Tria dan lainnya melaju, Dyta cuma terpaku. Ada yang meleleh di matanya.
Semua ekspresi Dyta tertayang jelas di acara "Fans" TransTV, Minggu (1/6) sore. Juga kerumun fans lain, yang berloncatan di sisi panggung, ketika Tria, dengan gaya dan dandanan khasnya, bernyanyi. Lihatlah, ketika lagu "Racun Dunia" membahana, penonton histeris. Di barisan paling depan, di sisi panggung, sembari meneriakkan nama Tria, puluhan penonton wanita yang tertangkap kamera, ikut mendendangkan lagu itu. Racun...racun...racun/ Hilang akal sehatku 3x/ Memang kau racun // Wanita racun dunia/ Karna dia butakan semua/ Wanita racun dunia/ Apa daya itu adanya.
Ajaib! Dyta dan puluhan penggemar lain, yang juga wanita, justru menikmati lagu itu. Mereka berjejingkrak, bersesorak, seakan menjadi bagian dari "racun" yang diteriakkan Tria.
Apakah The Changcuters menawarkan "nilai" dengan lagu itu? Apakah Dyta dan puluhan fans lainnya, terutama yang wanita, mengakui dan mengadopsi "tawaran" Tria itu?
Tentu tidak.
Kegembiraan mereka adalah ungkapan keterlibatan emosi atas citra yang dibawa The Changcuters. Sekali lagi, keterlibatan emosi!, yang akhirnya menjadi ketersambungan imaji. Jadi, imaji personal Changcuters-lah yang membuat fans itu bergerak. Lagu Changcuters pun adalah bagian dari imaji mereka, termasuk "Racun Dunia". Sebagai bagian dari imaji, syair lagu "Racun Dunia" tidak lagi "bicara", tidak membawa pesan khusus, tergerus dalam keseluruhan citraan kejadulan band itu. "Racun Dunia" bahkan adalah kejadulan itu sendiri, yang dirayakan, dinyanyikan, dalam ketakbermaknaan (meaningless). Sebagai kejadulan, kelampauan, "Racun Dunia" adalah kenangan, juga kerinduan; selebihnya perayaan, selebrasi. Seperti lagu "Begadang" Rhoma Irama, yang berisi larangan begadang, tapi justru lebih sering dinyanyikan mereka yang tengah begadang. Jadi, masihkah kita bisa mendapatkan nilai, mempersoalkan pesan?
Ya, begitulah industri. Sangat mungkin, industri hiburan mengaku memajang nilai, mewartakan kebaikan, menawarkan sebuah ideologi. Tapi saya percaya, pengakuan itu tak lebih hanya kiat pemasaran. Ideologi, dalam industri hiburan, --dan kini masuk ke ranah politik-- telah lama menjadi imagologi, penguatan atas imaji. Hanya dengan kemampuan mempermainkan imaji, industri hiburan, dan juga politik, dengan segenap pelakunya dapat terus bertahan. Imajilah yang mereka jual, dan terus mereka ubah. Seperti Mulan, dari Kwok ke Jameela, dari China ke Arabia. Semua cuma soal citra, dan tentu, nilai uang juga.
Jadi Indah, soal Munajah Cinta itu, tak perlu cemas ya? Poligami itu saat ini hanya citraan yang tengah laku. Imaji, dan bukan ideologi, yang ditunggangi industri. Nikmati saja selagi bisa, hitung-hitung sebagai pelipur lara, di tengah harga kebutuhan yang melambung tak terkira, yang bisa membuat kita gila.
[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 8 Juni 2008]
( t.i.l.i.k ! )
"Saya jengkel dengan sinetron Munajah Cinta, meniru habis film Ayat-ayat Cinta. Sudah pemainnya sama, sejak awal, cerita sinetron itu pun sudah mengampanyekan poligami. Saya takut, nanti poligami itu akan jadi kewajaran dan diterima oleh masyarakat kita. Mas Aulia mbok sesekali membahas soal itu."
Kutipan di atas adalah petikan e-mail dari Ibu (?) Indah. Sudah agak lama e-mail itu terdiam di inbox, terbiarkan karena saya belum memikirkan bagaimana menjawabnya. Jujur saja, Munajah Cinta belum mampu membuat saya berdiam lama di teve untuk menontonnya, apalagi membahasnya. Karena tak ada hal baru dari sinetron ini, baik dari segi cerita, penyutradaraan, akting, bahkan pemotongan antar-adegan sebelum bersambung. Namun, kekawatiran dari Indah membuat saya berpikir, apakah benar, jika sebuah tayangan menawarkan "sikap" tentang poligami, sinetron itu patut dikhawatirkan? Apakah sebuah nilai yang dipajang bisa langsung "menginfeksii" penonton, menulari dengan cepat seperti virus?
Penonton tentu saja bukan kertas kosong, dan teve menjadi pensil yang akan segera menggarisi kekosongan itu. Pemirsa selalu membawa "bekal" ketika melihat sebuah tayangan. Bekal itulah yang nanti akan "memilihkan" posisi penonton di hadapan "nilai" yang ditawarkan teve. Penonton mungkin saja mengadopsi nilai itu, karena merasa sejalur dan sepaham. Tapi mungkin juga menegasi, menolak, karena "bekal" yang penonton "bawa" merasakan nilai itu sebagai ancaman. Dan tersedia "posisi" ketiga, menegosiasi nilai itu, mengadaftasi, menyaring, mana yang mungkin dan mana yang tidak. Dan menyangkut "tawaran" poligami dalam Munajah Cinta, sikap penonton pasti berada dalam salah satu dari tiga posisi itu.
Jadi Indah, tampaknya tak perlu khawatir. Apalagi, kian hari, saya menyadari industri sebenarnya tidak "berurusan" dengan pemasaran nilai-nilai. Nilai yang dikenal industri adalah nominal dalam bentuk uang. Dan penonton pun, pelan tapi pasti, memandang industri hiburan dalam kerangka semacam itu. Dunia musik adalah contoh terbaik.
Cuma Citra
Dyta kecewa. Malam itu, bersama tiga temannya, dia gagal menemui The Changcuters yang manggung di Surabaya. Padahal, tart sudah mereka bawa, untuk Alda yang berulang tahun. Mereka pun sudah berpakaian ala "Changcuters Angel", dan antre di depan tenda tempat istrahat band itu. Mengiba, memohon, izin tak juga dapat. Ketika mobil yang membawa Tria dan lainnya melaju, Dyta cuma terpaku. Ada yang meleleh di matanya.
Semua ekspresi Dyta tertayang jelas di acara "Fans" TransTV, Minggu (1/6) sore. Juga kerumun fans lain, yang berloncatan di sisi panggung, ketika Tria, dengan gaya dan dandanan khasnya, bernyanyi. Lihatlah, ketika lagu "Racun Dunia" membahana, penonton histeris. Di barisan paling depan, di sisi panggung, sembari meneriakkan nama Tria, puluhan penonton wanita yang tertangkap kamera, ikut mendendangkan lagu itu. Racun...racun...racun/ Hilang akal sehatku 3x/ Memang kau racun // Wanita racun dunia/ Karna dia butakan semua/ Wanita racun dunia/ Apa daya itu adanya.
Ajaib! Dyta dan puluhan penggemar lain, yang juga wanita, justru menikmati lagu itu. Mereka berjejingkrak, bersesorak, seakan menjadi bagian dari "racun" yang diteriakkan Tria.
Apakah The Changcuters menawarkan "nilai" dengan lagu itu? Apakah Dyta dan puluhan fans lainnya, terutama yang wanita, mengakui dan mengadopsi "tawaran" Tria itu?
Tentu tidak.
Kegembiraan mereka adalah ungkapan keterlibatan emosi atas citra yang dibawa The Changcuters. Sekali lagi, keterlibatan emosi!, yang akhirnya menjadi ketersambungan imaji. Jadi, imaji personal Changcuters-lah yang membuat fans itu bergerak. Lagu Changcuters pun adalah bagian dari imaji mereka, termasuk "Racun Dunia". Sebagai bagian dari imaji, syair lagu "Racun Dunia" tidak lagi "bicara", tidak membawa pesan khusus, tergerus dalam keseluruhan citraan kejadulan band itu. "Racun Dunia" bahkan adalah kejadulan itu sendiri, yang dirayakan, dinyanyikan, dalam ketakbermaknaan (meaningless). Sebagai kejadulan, kelampauan, "Racun Dunia" adalah kenangan, juga kerinduan; selebihnya perayaan, selebrasi. Seperti lagu "Begadang" Rhoma Irama, yang berisi larangan begadang, tapi justru lebih sering dinyanyikan mereka yang tengah begadang. Jadi, masihkah kita bisa mendapatkan nilai, mempersoalkan pesan?
Ya, begitulah industri. Sangat mungkin, industri hiburan mengaku memajang nilai, mewartakan kebaikan, menawarkan sebuah ideologi. Tapi saya percaya, pengakuan itu tak lebih hanya kiat pemasaran. Ideologi, dalam industri hiburan, --dan kini masuk ke ranah politik-- telah lama menjadi imagologi, penguatan atas imaji. Hanya dengan kemampuan mempermainkan imaji, industri hiburan, dan juga politik, dengan segenap pelakunya dapat terus bertahan. Imajilah yang mereka jual, dan terus mereka ubah. Seperti Mulan, dari Kwok ke Jameela, dari China ke Arabia. Semua cuma soal citra, dan tentu, nilai uang juga.
Jadi Indah, soal Munajah Cinta itu, tak perlu cemas ya? Poligami itu saat ini hanya citraan yang tengah laku. Imaji, dan bukan ideologi, yang ditunggangi industri. Nikmati saja selagi bisa, hitung-hitung sebagai pelipur lara, di tengah harga kebutuhan yang melambung tak terkira, yang bisa membuat kita gila.
[Artikel ini telah terbit di Harian Suara Merdeka, Minggu 8 Juni 2008]
( t.i.l.i.k ! )